Warga Kelas Dua di Istana Sang Pengadil

Warga Kelas Dua di Istana Sang Pengadil

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 31 Mar 2016 08:47 WIB
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (ari/detikcom)
Jakarta - Reformasi 1998 melahirkan hakim yang berasal dari masyarakat karena Orde Baru menghasilkan putusan yang jauh dari rasa keadilan. Sayang, para hakim yang lahir dari masyarakat itu perlahan tersisih dan menjadi warga kelas dua di istananya sendiri, Mahkamah Agung (MA).

Salah satu hakim yang dilahirkan dari era reformasi ini adalah hakim agung non karier dan hakim yang khusus mengadili perkara korupsi atau biasa disebut hakim ad hoc. Hakim ad hoc ini ditempatkan di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding dan di tingkat kasasi.
Hakim ad hoc tipikor pada tingkat kasasi, Prof Dr Abdul Latif
"Ya memang itu, (kami) warga kelas dua," kata hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi, Prof Dr Abdul Latif saat berbincang dengan detikcom di ruangannya di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (31/3/2016).

Ikut dalam perbincangan itu kolega Latif, Syamsul Rakan Chaniago. Mereka berdua kerap satu majelis dan salah satu putusan fenomenal yang mereka ketok adalah menghukum terdakwa korupsi kasus proyek PLN yang dilakukan oleh Direktur PT Mapna Indonesia, M Bahalwan. Bersama hakim agung Salman Luthan, Latif dan Syamsul menghukum Bahalwan selama 14 tahun penjara serta merampas seluruh harta Bahalwan sebesar Rp 337 miliar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita dalam keprotokoleran tidak dipandang, tidak diperlakukan sama (dengan hakim agung lainnya) dalam hal acara resmi di MA maupun di daerah," ujar guru besar Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu.

Latief mencontohkan dalam Laporan Tahunan MA yang biasa digelar pada awal Maret tiap tahunannya. Latief dan koleganya hadir dalam acara tersebut sebagai undangan dan tidak diperkenankan memakai toga. Sementara para hakim agung memakai toga emas dan ikut pula para Ketua Pengadilan Tinggi memakai toga merah berkalung emas. Padahal mereka dalam memutus perkara duduk satu meja dengan yang lain dan laporan yang dibacakan Ketua MA adalah salah satunya hasil vonis yang dibuat para hakim ad hoc itu.

Selain itu, fasilitas lain juga selalu dibedakan dengan hakim agung atau hakim karier.
Hakim ad oc perkara tipikor di tingkat kasasi, Syamsul Rakan Chaniago menunjukkan kartu anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi).
"Padahal, di satu sisi kita diakui sebagai hakim dan diakui sebagai anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Komisi Yudisial (KY) juga ikut mengawasi kami," ucap Latief sambil menarik nafas dalam-dalam.

Vonis yang diketok Latif yang paling menarik perhatian publik paling belakangan yaitu kala menjadi hakim anggota kasus Udar Pristono bersama Prof Dr Krisna Harahap dan hakim agung Dr Artidjo Alkostar. Dalam putusan yang diketok pada Kamis (25/3) lalu, majelis menghukum Udar selama 13 tahun penjara dan merampas seluruh aset Udar yang terdiri dari apartemen, kondominum, rumah hingga kios.

"Untuk kesehatan, kami tanggung sendiri," ucap Latif yang apabila sakit maka negara tidak menanggung.

Latif menyesalkan dengan sikap negara yang seakan abai terhadap keberadaan mereka. Padahal dalam konstitusi dan UUD 1945, mereka diberikan fungsi kekuasaan kehakiman yang berwenang mengadili dan memutus perkara.

"Terlepas dari ada embel-embel 'ad hoc' tapi kan fungsinya sama," cetus Latif.

Saat ini di MA terdapat 6 hakim yang khusus menangani perkara korupsi. KY tengah menyeleksi untuk menambah 3 lagi posisi hakim ad hoc. Di antara mereka, hakim ad hoc yang paling senior adalah MS Lumme yang menginjak usia 78 tahun. MS Lumme ikut dalam berbagai putusan yang menarik perhatian publik seperti terdakwa mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih yang divonis selama 12 tahun penjara hingga mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang divonis selama 14 tahun penjara.
"Saya semalam baru mematikan laptop pukul 00.00 WIB. Kami tidak punya staf, jadi semua berkas dibaca sendiri," ujar Syamsul yang lama menjadi pengacara dan aktivis jalanan di era Orde Baru itu.

Ruang kerja mereka tidak terlalu besar di lantai 3. Rak-rak besar diisi buku hukum sedangkan di atas meja berceceran berkas perkara. Sebagian berkas tidak muat dan ditaruh di lantai. Sebuah tas besar berada di sudut ruangan untuk membawa pulang berkas yang harus dibaca hingga dini hari. Sayup-sayup terdengar lagu Iwan Fals dari sudut ruangan.

"Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Kami muak, dengan ketidakpastian dan keserakahan

Oh oh ya oh oh ya oh ya bongkar..." (asp/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads