Dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Senin (4/1/2016), Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan sangat menyesalkan eksekusi mati massal yang dilakukan otoritas Saudi pada Sabtu (2/1) lalu. Salah satu yang dieksekusi mati ialah ulama Syiah terkemuka bernama Nimr al-Nimr.
Otoritas Prancis juga menyerukan kepada pemimpin di kawasan itu untuk melakukan apapun demi menghindari meluasnya ketegangan religius dan sektarian. Dalam komentarnya, Prancis menegaskan pihaknya menentang eksekusi mati di mana saja dan dalam situasi apapun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Inggris lebih berhati-hati dalam memberikan komentarnya demi menjaga hubungan investasi dan perdagangan dengan Saudi. Inggris hanya menekankan posisinya yang menentang segala bentuk hukuman mati, tanpa menyebut nama ulama Nimr secara langsung.
"Inggris menentang hukuman mati dalam situasi apapun dan di negara manapun," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Inggris, sembari menekankan bahwa Menteri Luar Negeri Philip Hammond secara rutin mengangkat isu HAM dalam pembahasan dengan berbagai negara termasuk Saudi.
Secara terpisah Menteri untuk wilayah Timur Tengah, Tobias Ellwood menyatakan otoritas Inggris telah menyampaikan kekecewaan atas eksekusi mati massal kepada Saudi. Di sisi lain, pengkritik otoritas Inggris mendorong Perdana Menteri David Cameron untuk menanggapi secara langsung isu ini. Kelompok HAM setempat, Reprieve menyatakan Inggris tidak seharusnya menutup sebelah mata terhadap kekejaman seperti ini.
Dalam pernyataan terkait eksekusi mati massal ini, Kementerian Dalam Negeri Saudi menyebut ulama Nimr yang berumur 56 tahun itu, sebagai penggerak gelombang demo pada tahun 2011 di wilayah Saudi timur. Di wilayah itu, warga minoritas Syiah mengklaim mengalami diskriminasi di negeri yang dipimpin penguasa Sunni tersebut.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini