Putusan itu kemudian menjadi jalan Wali Kota Solo dan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftarkan diri sebagai cawapres Prabowo Subianto. Meski begitu, putusan MK itu akhirnya dianggap bermasalah secara etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
"Cukuplah sekali yang kemarin, cukup. Itu mahal betul biaya psycological social-nya," ujar Sugeng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asosiasi Mahasiswa HTN: Problematik, Sarat Kepentingan Politik
Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Se-Indonesia (AMHTN-SI) mengkritik putusan MA tersebut. AMHTN-SI menilai putusan itu bermasalah.
"Putusan MA tentang perubahan syarat umur usia kepala daerah itu problematik dan sarat kepentingan politik," kata Koordinator Kajian Strategis dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi, dalam siaran pers, Jumat (31/5/2024).
![]() |
Rozi menyebut putusan yang mengubah klausul penghitungan umur syarat pencalonan kepala daerah itu sebagai bentuk rekayasa konstitusional yang terencana dan sistematis.
"Ini kedua kalinya rekayasa semacam ini menggejala dalam sistem pengadilan setelah putusan 90/PUU-XXI/2024 kemarin, rekayasanya sangat mirip dengan tragedi putusan yang terjadi di MK," katanya.
Menurut Rozi, terdapat dua persoalan yang problematik dalam putusan ini. Pertama, tidak ada isu konstitusional materiil pasal yang diuji dalam peraturan KPU. Tidak ada satu pun pasal undang-undang yang bisa menjadi alat ukur konstitusionalitas dari pasal yang diuji.
"Ini harusnya ditolak dan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, mengingat norma substantifnya tidak memiliki isu konstitusional di dalamnya," kata mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah ini.
Kedua, penghitungan syarat usia sejak pelantikan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal ini, menurut dia, karena posisi pelantikan tidak dapat dipastikan karena menyesuaikan dengan jadwal presiden.
Menurut dia, dalil gugatan dan pertimbangan hakim dalam putusan MA tersebut sangatlah tidak logis. Putusan itu, lanjutnya, lebih didominasi dengan kepentingan politis dan musiman. Sebab, dengan norma itu, KPU tentu tidak dapat mengidentifikasi apakah suatu calon kepala daerah memenuhi syarat formil atau tidak jika metode penghitungannya disandarkan pada kondisi yang tidak pasti.
(aud/aud)