×
Ad

Kolom

Perdamaian Trump di Palestina: Diplomasi atau Komoditas Geopolitik

Aji Cahyono - detikNews
Jumat, 21 Nov 2025 11:51 WIB
Foto: Donald Trump (DW (News)
Jakarta -

Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ke Asia pada awal pekan lalu kembali memantik diskusi bagaimana narasi "perdamaian" dimunculkan, diproduksi, dan dipasarkan dalam politik global. Melalui pidatonya, Trump memuji beberapa negara di Asia dan Timur Tengah terlibat dalam upaya mengakhiri perang Hamas-Israel secara permanen.

Di sisi lain, survei Pew Research Centre (2024) menunjukkan bahwa dukungan internasional terhadap kebijakan militer Israel semakin terpecah, terutama di kalangan generasi muda.

Di sini, muncul wacana konflik, apakah "perdamaian" yang digagas Trump merupakan jalan keluar atau justru pembentukan opini baru untuk melegitimasi dominasi geopolitik AS di kawasan tersebut.

Narasi perdamaian ala Trump nampak sederhana di permukaan-seperti hentikan tembakan, buka jalur diplomasi dan pasokan pangan, dan bentuk kesepakatan baru. Kenyataannya, pendekatan tersebut menempatkan "perdamaian" sebagai komoditas politik yang dinegosiasikan dalam meja perjanjian ekonomi dan aliansi militer.

Dengan kata lain, perdamaian bukan dipahami sebagai penghentian kekerasan berpihak pada kemanusiaan, melainkan demi stabilitas geopolitik yang menguntungkan pihak pemilik kekuatan dan kekuasaan terbesar.

Persoalan utama, Trump serius atau tidaknya mengupayakan damai bersifat permanen atau sementara, berada pada kerangka berpikir ia gunakan. Dalam tradisi politik luar negeri AS, sejak Perang Dingin, "perdamaian" selalu dimaknai sebagai keamanan negara dan kepentingan strategis, bukan keadilan bagi rakyat yang terdampak.

Timur Tengah, terlihat jelas pola berawal dari dukungan militer, pengendalian sumber daya, stabilitas politik ala Washington, hingga bermuara pada narasi perdamaian.

Narasi ini memposisikan konflik sebagai sesuatu yang harus dikelola, bukan diselesaikan. Pihak yang terdampak paling utama adalah kelompok rentan-seperti warga sipil, pengungsi, perempuan, serta anak-anak.

Dalam kerangka tersebut, penderitaan manusia hanya "detail sampingan" dari objek permainan kekuasaan. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu berkaca pada Trump membangun narasi dan kebijakannya terhadap Timur Tengah.

Pada periode kepresidenannya (2017-2021), tiga kepentingan Trump diantaranya: Pertama, mendorong Abraham Accords melalui kesepakatan untuk normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko; Kedua, mengurangi bantuan ke Palestina dan memindahkan kedutaan besar AS, dari Tel Aviv ke Yerusalem; Ketiga, mendefinisikan Iran sebagai ancaman utama di kawasan.

Abraham Accords kerap dipuji sebagai capaian diplomatik besar, karena menghasilkan penurunan tensi diplomatik antar negara. Banyak analis menilai bahwa normalisasi tersebut tidak menyelesaikan akar konflik Palestina, yakni pendudukan wilayah, status Yerusalem, dan hak kembali pengungsi.

Sejarawan Timur Tengah, Rashid Khalidi menegaskan bahwa kesepakatan tersebut bukan soal "perdamaian", melainkan menyatukan koalisi strategis melawan Iran dan mengamankan kepentingan ekonomi. (The Hundred Years' War on Palestine, 2020) Dengan kata lain, narasi "perdamaian" digunakan sebagai bungkus diplomasi dan geopolitik.

Situasi semakin kompleks, ketika narasi bersinggungan dengan opini publik global. Di era media sosial, persepsi tentang konflik bergerak sangat cepat, karena paling emosional dan sering diulang lebih mudah menempel dalam kesadaran publik.

Trump memahami ini dengan baik. Tak hanya piawai sebagai politisi, ia merupakan seorang communicator lincah memainkan emosi publik, simpati, nostalgia, dan antagonisme melalui bahasa yang sederhana dan langsung.

"Peace throught strenghy" (perdamaian melalui kekuatan) retorika sering digunakan berangkat dari filosofi klasik sejak berabad lalu oleh tokoh sejarah seperti Alexander Agung. Namun narasi tersebut untuk mencapai perdamaian dan keamanan melalui kekuatan militer yang unggul.

Sehingga cara-cara militer digunakan Trump untuk menghentikan semua perang yang terjadi. Dalam konflik Israel-Palestina, narasi ini digunakan oleh militan Hamas sebagai perlawanan Palestina hadapi ancaman, bukan sebagai perjuangan terhadap pendudukan yang diakui oleh banyak resolusi PBB.

Selain itu, Trump mencitrakan "perdamaian" dengan pendekatan pragmatis dan transaksional-melalui retorika yang berfokus pada kepentingan nasional (American First) dan kesepakatan bilateral, berbeda dengan multilateralisme dan tata kelola global. Framing Trump berperan besar untuk membangun wacana global.

Misalnya Israel digambarkan sebagai "demokrasi yang harus membela diri", Palestina digambarkan sebagai "masalah keamanan", AS digambarkan sebagai "penengah yang rasional". Meskipun realitasnya jauh lebih tidak simetris dari itu.

Narasi ini beresonansi berbeda, dalam konteks publik Indonesia melihat penderitaan warga Palestina sebagai persoalan kemanusiaan dan kolonialisme, bukan konflik agama.

Solidaritas Palestina di Indonesia mempunyai sejarah panjang yang berhubungan dengan gagasan anti-imperialisme dan warisan diplomasi Bung Karno dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Ranah digital memberikan ruang solidaritas melalui kampanye publik, penggalangan dana, dan advokasi internasional.

Sayangnya, wacana publik kita rentan terjebak narasi yang menyederhanakan masalah menjadi soal identitas agama. Cara paling tepat membaca persoalan ini adalah melalui perspektif hak asasi manusia, sejarah okupasi dan keadilan geopolitik. Jika kita membangun narasi perdamaian yang berpihak pada kemanusiaan, maka beberapa hal penting yang dapat dilakukan:

Pertama, narasi perdamaian dimulai dari pengakuan penderitaan korban. Tidak ada perdamaian tanpa penghentian kekerasan terhadap warga sipil dan pengakuan hak-hak mereka.

Kedua, perdamaian harus menghormati keadilan sejarah. Kasus Palestina menjadi pembahasan serius soal pendudukan, pemblokiran ekonomi dan status pengungsi;

Ketiga, diplomasi mengedepankan prinsip kesetaraan, bukan penyerahan sepihak dalam konteks kesepakatan yang hanya menguntungkan blok kekuasaan tertentu.

Sehingga perdamaian bukan hanya menyoal "stabilitas politik" menguntungkan negara kuat, melainkan kondisi sosial dimana rakyat Palestina bisa hidup aman dan bermartabat.

Narasi perdamaian ala Trump memberikan pembelajaran penting bagi kita, bahwa siapa yang mengendalikan narasi, dialah yang mengendalikan makna sebuah konflik.

Oleh karena itu, kita tidak boleh menerima istilah "perdamaian" begitu saja tanpa menelaah secara kritis apa yang dikorbankan untuk mencapainya, siapa yang memantik keuntungan, dan siapa yang harus membayar harga penderitaan.

Pada akhirnya, perdamaian sejati tidak bisa dibangun dengan tekanan, normalisasi yang timpang atau diplomasi yang mengabaikan penderitaan rakyat.

Perdamaian hanya mungkin lahir, jika keadilan ditegakkan terlebih dahulu. Keadilan tidak pernah lahir dari kekuasaan yang ingin mengatur dunia hanya melalui sudut pandangnya sendiri.


Aji Cahyono. Founder dan Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tonton juga video "Trump Tantrum Ditanya Jeffrey Epstein, Sebut Jurnalis 'Babi'"




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork