Belum lama ini saya menghadiri sebuah forum diskusi tentang investasi Tiongkok di sektor mineral dan energi. Pertanyaan yang mengemuka saat itu sesungguhnya bukan hal baru. Veronica Lukito, dalam tulisannya di South China Morning Post baru-baru ini, juga mengajukan hal serupa: apakah kebangkitan Tiongkok membawa kebaikan bagi Asia?
Secara geopolitik, jawabannya cenderung positif. Dunia yang kian multipolar membuat Amerika Serikat dan Barat tak lagi bisa memperlakukan Asia, apalagi negara-negara Selatan, secara taken for granted. Memudarnya era unipolaritas AS membuka ruang baru.
Dalam ruang itu, mitra-mitra global lain, baik Tiongkok maupun Barat, dituntut untuk menyodorkan model kemitraan ekonomi yang lebih adil dan layak diterima negara-negara berkembang. Singkatnya, kebangkitan Tiongkok memberi peluang agar hubungan internasional menjadi lebih seimbang.
Pertanyaannya: apakah Indonesia siap memanfaatkan peluang dari perubahan besar ini?
Hilirisasi dan Paradoks Kesejahteraan
Salah satu pintu masuk untuk menjawab pertanyaan itu adalah kebijakan hilirisasi mineral, yang kini menjadi tulang punggung strategi pembangunan ekonomi nasional. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia.
Menurut IEEFA (2024), Indonesia menyumbang lebih dari separuh produksi tambang nikel global. Di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) saja, sekitar 85 ribu orang bekerja langsung (PT IMIP 2025). Ekspor feronikel melonjak dari 1,5 juta ton pada 2019 menjadi 5,7 juta ton pada 2022 (BPS dalam Kompas 2024).
Di permukaan, capaian ini mengesankan. Hilirisasi berhasil meningkatkan ekspor dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun di balik itu, ada paradoks yang sulit diabaikan.
Kunjungan singkat ke Morowali memberikan kesan getir: udara dan air tercemar, harga hunian melambung, nelayan kehilangan ruang hidup, dan sebagian besar manfaat ekonomi justru mengalir keluar daerah. Pertumbuhan memang hadir, tapi pemerataan tertinggal jauh di belakang.
Wijaya dan Jones (2025) menajamkan potret ini. Mereka menunjukkan bagaimana penetrasi modal Tiongkok dalam rantai nilai nikel sering difasilitasi oleh jaringan oligarki politik-bisnis dan lemahnya institusi negara.
Dalam kondisi itu, keputusan strategis tentang izin tambang, standar lingkungan, hingga arah hilirisasi lebih banyak diarahkan untuk memudahkan proyek-proyek besar dari Tiongkok ketimbang melindungi kepentingan publik.
Kualitas Lebih Penting daripada Kuantitas
Dari sini terlihat jelas: kebangkitan Tiongkok memang membawa peluang, tapi dampaknya bagi negara mitra sangat bergantung pada kapasitas negara tersebut.
Tanpa institusi yang kuat, investasi besar justru bisa memperlebar ketimpangan dan melemahkan kedaulatan ekonomi.
Diskusi yang saya ikuti menegaskan hal itu. Para peserta sepakat bahwa seleksi kualitas investasi masih lemah. Standar hijau kerap bersifat sukarela.
Kapasitas negara kalah oleh kepentingan oligarki. Konsultasi publik pun minim. Akibatnya, hilirisasi berjalan cepat tapi rapuh, mengejar angka namun tanpa arah yang jelas.
Konsentrasi ekspor memperparah situasi. Sebagian besar produk olahan nikel Indonesia masuk ke rantai nilai Tiongkok. Ketergantungan yang terlalu tinggi melemahkan posisi tawar dan membuka peluang race to the bottom: investasi dikejar demi kuantitas, tanpa peduli pada standar sosial maupun lingkungan.
Dalam konteks ini, relevan mengingatkan kembali gagasan Robert Wade dalam Governing the Market (1990). Wade menunjukkan bahwa keberhasilan Asia Timur dalam industrialisasi bukan ditentukan pasar bebas, melainkan kapasitas negara untuk mengarahkan investasi dan membentuk strategi jangka panjang.
Tanpa kapasitas semacam itu, negara mudah terseret kepentingan oligarki dan modal asing. Hasilnya, investasi besar tidak otomatis berubah menjadi nilai tambah yang inklusif.
Reindustrialisasi Hijau sebagai Jalan Keluar
Kesadaran ini seharusnya mendorong kita merancang ulang arah hilirisasi. Hilirisasi tidak boleh berhenti pada peningkatan angka ekspor, tetapi menjadi pintu masuk menuju reindustrialisasi hijau.
Setidaknya ada tiga syarat utama: pertama, transfer teknologi yang nyata; kedua, keterlibatan lokal yang besar dalam rantai pasok; dan ketiga, penerapan standar lingkungan serta sosial yang ketat.
Intinya bukan soal menolak investasi dari negara manapun. Yang kita perlukan adalah memastikan semua mitra berkompetisi dalam kualitas.
Logika race to the bottom harus digantikan dengan race, atau bahkan collaboration, to the top: siapa yang mampu membawa energi bersih, berbagi teknologi terbaik, mengembangkan rantai pasok yang inklusif, dan berkomitmen nyata pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Momentum multipolaritas dunia memberi peluang besar untuk itu. Bila negara-negara Barat sungguh ingin menyeimbangkan pengaruh Tiongkok di Asia dan Dunia Selatan, mereka harus datang dengan model kemitraan yang lebih baik dan realistis.
Indonesia dapat memanfaatkannya untuk memperketat standar investasi, mulai dari penggunaan energi terbarukan di kawasan industri, larangan pembuangan limbah ke laut, hingga kewajiban transfer teknologi.
Fokusnya bukan pada siapa benderanya, melainkan pada standar yang dibawa.
Penutup: Kapasitas Negara sebagai Penentu
Pengalaman di Morowali dan hasil forum yang saya ikuti menyiratkan satu pelajaran penting: tanpa kapasitas negara yang kuat, regulasi yang tegas, dan partisipasi publik yang bermakna, kebangkitan Tiongkok belum tentu otomatis menjadi berkah.
Sebagaimana disampaikan Veronica Lukito, kebangkitan Tiongkok secara prinsipil membawa keuntungan bagi Asia dan Dunia Selatan. Namun bagi Indonesia, manfaat itu tidak akan hadir dengan sendirinya. Ia baru akan terasa bila negara berani mengubah arsitektur hilirisasi menjadi proyek reindustrialisasi hijau dengan standar tinggi, energi bersih, nilai tambah di dalam negeri, dan kemitraan yang sungguh berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya, yang jadi ujian sesungguhnya bukanlah semata kebangkitan Tiongkok, melainkan, yang lebih penting lagi, adalah kesiapan kita sendiri untuk memastikan kebangkitan itu benar-benar membawa manfaat bagi bangsa ini.
Robie Kholilurrahman. Manajer Program Mineral Transisi dan Kebijakan Industri Hijau di INDEF.
Simak juga Video Airlangga Sebut Kondisi Ekonomi Baik, Investasi Tembus Rp 1.434 T
(rdp/imk)