Kolom

Menatap Masa Depan Pesantren

Abdurrahman Ad Dakhil - detikNews
Rabu, 22 Okt 2025 15:21 WIB
Foto: Ilustrasi pesantren (Getty Images/iStockphoto/DistinctiveImages)
Jakarta -

Nasib pesantren belakangan ini menjadi bulan-bulanan publik karena isu-isu negatif yang sebenarnya tidak sebanding dengan peran besar pesantren bagi Indonesia. Pesantren telah hadir menjadi saksi sekaligus pendorong kemerdekaan Indonesia, baik melalui gerakan perlawanan maupun pendidikan.

Mari kita lihat jejak historisnya. Rahmah El Yunusiyah merupakan seorang pahlawan perempuan asal Minang yang mendirikan sekolah Islam bagi perempuan pertama di Indonesia bernama Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang.

Dia tercatat sebagai santri Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka. Dia selanjutnya mencetak pejuang hebat seperti Rasuna Said melalui sekolah yang didirikannya.

Selanjutnya, sastrawan Raden Ronggowarsito dan H.O.S Tjokroaminoto termasuk santri Kyai Besari di Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Dari H.O.S Tjokroaminoto, masyarakat Indonesia kala itu mendapatkan kesadaran melakukan pergerakan secara sistematis dan modern melalui Sarekat Islam. Dia juga termasuk guru dari Bung Karno.

Sementara itu, pendirian pesantren atau surau pada masa silam merupakan inisiatif dari kiai atau tuan guru yang berasal dari kepedulian terhadap proses pendidikan santri agar tertampung dan diawasi dengan baik. Hampir seluruh pesantren yang didirikan itu dibangun atas dana pribadi (wakaf) tanpa mengajukan proposal ke pihak lain.

Kemandirian pendirian pesantren jarang disorot oleh masyarakat saat ini. Masyarakat hanya mengetahui bangunan pesantren sudah berdiri megah. Mereka yang tidak memahami sejarah pendirian pesantren akan menilai sepak terjang pesantren belakangan. Terlebih ketika pesantren mengalami musibah, seperti yang terjadi di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo.

Pesantren dan masyarakat tidak akan pernah bisa terpisahkan. Menurut Zamakhsyari Dhofir (1982), sosok kiai dalam pesantren tidak sebatas figur keagamaan. Kiai memiliki cara pandang yang berbeda dari guru pada umumnya. Mereka melihat umat dengan kasih sayang dan penuh optimisme. Dengan kata lain, kiai dan pesantren menjadi poros sosial beragama masyarakat sekitar.

Di era digital, pesantren di mata media yang tidak berimbang akan dianggap sebagai sarang feodalisme dan kiai hidup mewah dari amplop santri atau masyarakat. Pemberitaan demikian menjadi fakta yang pincang, meski ada sebagian oknum yang memanfaatkan pesantrennya sebagaimana yang disebutkan.

Dalam kehidupan pesantren, santri dan kiai yang hidup 7x24 jam di satu lingkungan tanpa ada sekat menjadi wajar ketika interaksi guru dan murid tersebut bisa setingkat orang tua dan anak. Namun demikian, masing-masing pesantren memiliki cara mendidik adab yang berbeda.

Konteks budaya penghormatan kepada guru (takzhim) antara pesantren modern dan pesantren tradisional sedikit berbeda, tetapi esensi "adab didahulukan sebelum ilmu" tetap sama.

Kebiasaan seperti itu mungkin terasa asing bagi masyarakat yang tidak terbiasa melakukannya. Justru ironi ketika ada sebagian orang yang menentang praktik adab tersebut, sedangkan dirinya tidak pernah dibiasakan menghormati orang tua atau guru. Praktik yang tidak berlebihan tidak bisa dikategorikan sebagai feodalisme.

Evaluasi Diri

Menurut laporan Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo (7/10/2025), hanya 51 pesantren yang memiliki izin pendirian bangunan dari jumlah seluruh pesantren di Indonesia yang mencapai lebih dari 42 ribu.

Angka ini menunjukkan lemahnya jaminan keselamatan dan kenyamanan santri sebagaimana yang dicita-citakan para kiai terdahulu ketika mendirikan pesantren.

Secara hukum, pesantren telah diatur jelas dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Namun, aturan tersebut tidak menyatakan dengan tegas spesifikasi konstruksi bangunan pesantren yang layak seperti apa. Akibatnya, banyak pesantren yang terlihat megah dari luar tetapi rapuh di pondasinya.

Rencana Kementerian Pekerjaan Umum yang akan membekali para santri keterampilan profesional di bidang konstruksi patut diapresiasi, tetapi harus dilaksanakan secara selektif. Pertama, hal itu akan bermanfaat setidaknya setelah lulus bagi santri yang berminat dan memenuhi kriteria. Kedua, santri yang tidak mendapat pelatihan sebaiknya tidak dilibatkan dalam proses berat, seperti pengecoran lantai atas demi keselamatan bersama.

Kemudian, pendanaan pesantren juga telah diatur secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Dana pesantren berasal dari masyarakat, pemerintah pusat/daerah, sumber lain yang sah dan tidak mengikat, serta dana abadi pesantren. Artinya, pesantren mempunyai hak menerima bantuan dari masyarakat atau negara.

Persoalan berikutnya muncul terkait ketimpangan distribusi bantuan. Akan muncul ketidakadilan ketika ada pesantren yang mendapat dukungan dana besar, sementara masih banyak pesantren yang belum menerima porsi bantuan.

Akuntabilitas pemerintah serta sikap bijak pesantren dibutuhkan ketika muncul potensi ketidakadilan ini. Semua lembaga pendidikan wajib mendapat bantuan negara, tetapi pihak pesantren juga harus mengupayakan pendanaan mandiri entah itu berasal dari bantuan alumni, swasta, atau ekonomi kreatif internal pesantren.

Sebagai contoh, sudah banyak pesantren besar yang telah menerapkan ekonomi kreatif yang sangat membantu biaya operasional pesantren, antara lain Pesantren Gontor, Tebu Ireng, dan Sidogiri. Hasil pengembangan ekonomi kreatif tersebut bahkan membantu meringankan beban pendidikan para santri.

Segala unsur telah mendukung eksistensi pesantren agar tetap bertahan dalam jangka waktu panjang, mulai regulasi pemerintah hingga partisipasi masyarakat.

Harapan semua pihak yang ingin melihat pesantren sebagai soko guru peradaban Indonesia yang diakui secara positif selamanya harus diimbangi dengan sikap keterbukaan pesantren terhadap evaluasi dan inovasi, tetapi pihak di luar pesantren juga harus sadar diri tidak boleh melakukan intervensi ke dalamnya.

Belajar dari sejarah, negara ini tumbuh besar salah satunya karena pesantren, maka sepantasnya negara ini tetap tumbuh bersama pesantren sebagai bagian warisan pendidikan lokal yang diakui dunia.

Abdurrahman Ad Dakhil. Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Wakil Pengasuh Pesantren Siti Dhumillah Bogor 2024-2025, Alumni Pesantren Gontor Ponorogo.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork