Dua edisi Pilpres (2014 dan 2019) menjadi ujian berat demokrasi elektoral Indonesia. Partisipasi tinggi di atas 75 persen disertai perpecahan tajam antarpemilih. Dukungan pada dua kandidat utama tidak hanya melahirkan basis pemilih loyal tetapi juga menguatkan identitas partisan non-programatik. Dalam kajian politik, situasi itu dikenal sebagai polarisasi.
Kajian polarisasi politik menunjukkan dua dimensi utama. Pertama, polarisasi ideologis dengan indikasi utama jarak makin lebar antar-posisi kebijakan atau ideologi pada isu publik seperti ekonomi, pajak, dan kesejahteraan (Borbáth dkk., 2023). Kedua, polarisasi afektif yang ditandai pemilih dengan kecenderungan menyukai kelompok politik "seide" (in-group) dan memusuhi pihak lawan (out-group) bukan karena isu kebijakan, tetapi karena identitas partisan. Muncul logika "kami versus mereka" dan loyalitas kelompok yang mengeras (Silva, 2025).
Dalam pilpres, personalisasi kandidat membuat polarisasi sering terpusat pada figur, bukan program. Rivalitas kandidat memicu in-group vs out-group berbasis identitas agama, etnis, kelas, atau moral. Studi Bakker & Lelkes (2024) dalam Pilpres AS menunjukkan figur kandidat menjadi "pemimpin identitas kelompok" yang mampu menggeser sikap kebijakan pendukungnya.
Bagi perilaku memilih, polarisasi bagaikan pedang bermata dua. Polarisasi afektif dapat meningkatkan partisipasi karena pemilih lebih termobilisasi untuk mendukung "kelompok sendiri" dan menolak lawan (Silva, 2025). Sebaliknya, ia dapat menurunkan partisipasi kelompok yang kecewa pada pemerintah tetapi tak menemukan alternatif (negativity bias, May 2024). Polarisasi juga menonjolkan kampanye identitas dan afeksi. Pada situasi ini, isu programatik tersisih, pemilih mengambang menyusut, dan loyalitas emosional mengeras.
Studi representasi ideologi yang dilakukan Fossati dkk. (2020) mengungkap Politik Islam berperan sebagai sumbu ideologis utama di Indonesia dalam peranannya memetakan partai dan pemilih. Partai tetap menjalankan fungsi representasi ideologis pada isu budaya-agama. Di ruang digital, Hayat & Nurhakki (2022) menemukan pelabelan politik berbasis agama di media sosial memperdalam jurang elektoral.
Exit poll Pemilu 2024 oleh Indikator memperlihatkan polarisasi afektif berbasis sikap terhadap rezim dan demokrasi. Pemilih Prabowo–Gibran yang puas terhadap demokrasi mencapai 80,2 %, sedangkan pada pemilih Anies–Muhaimin hanya 55,9 %, bahkan 41,8 % menyatakan tidak puas.
Selain itu, persetujuan publik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) (± 80 %) menjadi faktor elektoral pembeda pilihan. Pemilih yang puas terhadap Jokowi cenderung memilih Prabowo–Gibran. Pemilih yang kecewa lebih banyak ke Anies–Muhaimin atau Ganjar–Mahfud.
Pasca-pilpres, polarisasi tak sepenuhnya reda. Survei nasional LSI (Januari 2025) dan Indikator (Mei 2025) menunjukkan garis pembelahan masih tampak pada loyalitas pilihan pilpres, basis partai/agama, hingga wilayah-etnis, tercermin pada tingkat kepuasan dan kepercayaan terhadap pemerintah maupun lembaga negara. Polarisasi kini lebih bersifat afektif-politik, yakni berbasis kedekatan emosional pada kandidat, bukan isu program.
Untuk meminimalkan polarisasi, diperlukan rekayasa mekanisme pemilihan. Polarisasi afektif sejak 2014 yang menimbulkan kedekatan emosional militan terhadap kandidat hingga pasca-pemilu bisa diminimalisir dengan desain Priority-Based Voting (PBV) atau pemungutan suara berbasis prioritas.
PBV memberi kesempatan pemilih memberi peringkat preferensi (1-2-3) pada semua pasangan calon. Setiap peringkat memiliki bobot poin suara berbeda, misalnya, prioritas 1 = 0,5 poin; prioritas 2 = 0,3 poin; prioritas 3 = 0,2 poin. Total suara tiap kandidat dihitung dari akumulasi bobot yang diterima dari seluruh pemilih. Dengan cara ini, suara tidak hanya bernilai bagi pilihan utama tetapi juga bagi kandidat berikutnya. Konsep ini mirip Ranked-Choice/Preferential Voting namun memakai skema bobot tetap yang bisa disesuaikan.
Pendekatan ini berpotensi meredam logika menang-kalah total (zero-sum) antara dua kubu besar karena pemilih tidak terpaksa memilih satu kandidat saja. Alasannya, pemilih tidak hanya setuju dengan gagasan programatik satu kandidat saja, namun bisa lintas kandidat. Selain itu, kandidat yang dianggap moderat tetap dapat mengumpulkan poin dari prioritas kedua atau ketiga. PBV juga mengurangi suara terbuang dan memberi insentif bagi kandidat untuk meraih simpati lintas-kubu.
Beberapa tantangan perlu diantisipasi. Pertama, bobot poin suara dapat diperdebatkan sehingga perlu simulasi berbasis data hasil Pilpres 2014, 2019, 2024 untuk memastikan keadilan. Kedua, edukasi publik mutlak agar pemilih tidak bingung mengisi surat suara. Ketiga, kerangka hukum perlu disesuaikan, kemungkinan revisi UU Pemilu bahkan UUD 1945 Pasal 6A. Keempat, transparansi perhitungan dan pemanfaatan teknologi harus disiapkan sejak awal agar tidak memicu sengketa.
PBV tidak otomatis menghapus polarisasi karena efektivitasnya bergantung pada perilaku elite dan pola kampanye. Jika retorika identitas tetap dominan, pemilih mungkin enggan memberi poin bagi kandidat lawan. Namun dengan ruang bagi pilihan kedua/ketiga, sistem ini membuka peluang meredakan rivalitas antagonis "kita-mereka" dan mendorong hadirnya kandidat moderat.
Uji coba PBV dapat dimulai pada pemilu internal partai, organisasi profesi, atau pilkada kota/kabupaten sebelum diterapkan nasional. Dengan payung hukum yang jelas dan dukungan teknologi penghitungan suara, PBV layak dipertimbangkan sebagai inovasi untuk Pilpres Indonesia yang lebih inklusif dan minim polarisasi.
Simak juga Video: Pengamat Bicara Kalkulasi Politik Pembatalan Aturan Pembatasan Akses Dokumen Capres-Cawapres
(imk/imk)