Kolom

Iklim, Mangrove dan Dekolonialisasi Pengetahuan

Maghfur Ahmad - detikNews
Kamis, 09 Okt 2025 10:30 WIB
Foto: Ilustrasi wisata mangrove (dok. Istimewa)
Jakarta -

Budaya menjadi pilar utama mengatasi krisis iklim. Jalan budaya dinilai strategis oleh negara-negara koalisi Group of Friends for Culture-Based Climate Action (GFCBCA) pada acara UNESCO MONDIACULT 2025 Barcelona, Spanyol, baru baru ini.

Ironisnya, meski dianggap penting, budaya dan pengetahuan lokal terpinggirkan dari arus utama mitigasi iklim.

Krisis mangrove sebagai benteng iklim adalah bukti nyata tersingkirnya budaya dan pengetahuan lokal. Budaya, nilai, pengetahuan, best practices, sistem, dan tradisi mitigasi melalui peradaban mangrove untuk menjaga iklim dan bumi telah roboh.

Nasional ToDay (Juli, 2025) merilis bahwa rata-rata negara telah kehilangan 80% populasi mangrove. Mangrove diterjang tsunami pengetahuan yang hegemonik, hasil kolaborasi jahat penguasa, pemodal, dan ilmuwan rakus.

Kawasan pesisir memiliki langgam cerita yang unik. Dahulu, garis pantai dijaga deretan tentara hijau, berupa mangrove. Kokoh, persisi, mengakar dan menjulang. Bagai lembar-lembar kitab puisi hijau. Akar-akar bakau menjulurkan tangan, layaknya jari-jemari sang ibu memeluk tubuh bumi.

Menahan gelombang amuk lautan. Tempat teduh menghalau sinar ganas matahari. Mangrove memeluk lembut bumi, laut dan penghuninya. Mangrove tidak semata pohon, ia penjaga, pencatat denyut hidup, pelipur duka, jembatan spiritual batas laut dan darat.

Beribu-ribu sayang, mangrove sebagai kitab kehidupan, kini mulai terkoyak. Pelan dan pasti. Akar-akar pohon bakau terpotong paksa. Direnggut cangkul industri, dimutilasi pesan oligarkhi, dan tergerus nafsu serakah kapitalis.

Penguasa mengatur siasat, akses, dan cari untung atas nama megaproyek pembangunan. Mangrove rusak oleh proyek pengetahuan kolonial, pembangunan tanpa rasa, dan predator ilmu, pengalaman, dan tradisi mitigasi masyarakat lokal. Faktanya, budaya terkapar dihadapan "mega proyek pengetahuan modern" mitigasi iklim.

Pembangunan Semu

Mangrove adalah wajah iklim, budaya, dan pengetahuan. Wajah kelam mangrove adalah cermin negara yang ruwet. Negara menjadi perampok atas ruang, pengetahuan dan hidup masyarakat pesisir. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), luas mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar.

Bandingkan di tahun 1980, luas ekosistem mangrove mencapai 9,36 juta hektar. Dalam kurun 40 tahun, luas mengrove mengalami degradasi 6 juta hektar. Ini buah dari pengetahuan model Barat dan ideologi pembangunan.

Data Global Mangrove Alliance (2025) menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, lebih dari 60% hutan mangrove dunia hilang. Mangrove menyusut satu persen setiap tahun. Mangrove tereduksi 3-5 kali lebih cepat dibandingkan hutan non-mangrove. Data ini tidak sekadar statistik semata. Wajah mangrove hari ini adalah sinyal darurat dan masa depan manusia muram. Mengancam bumi, iklim dan keadilan ekologis.

Krisis mangrove terjadi karena pengetahuan, tradisi, dan pengalaman masyarakat tersingkir dari arus tata kelola sumberdaya pesisir. Kajian Walhi (2023) menunjukkan terjadi perampasan ruang laut (ocean grabbing).

Hasil studi atas planned ocean grabbing pada 28 Perda Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), terutama proyek reklamasi dan tambang pasir laut terbukti merusak ekosistem perairan, hutan mangrove, dan memutus napas sosial-ekonomi penghuni pesisir.

Kebijakan berbagai Pemerintah Daerah lebih berpihak pada industri ekstraktif, daripada memberi ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Negara secara sistemik menafikan ilmu lokal. Menyingkirkan praktik, pengalaman, dan tradisi masyarakat pesisir dalam menjaga mangrove dan mengelola sumber daya pesisir.

Krisis mangrove sejatinya adalah wajah rakus kekuasaan. Negara mengakuisisi napas kehidupan warga. Menyingkirkan nelayan kecil, merelokasi masyarakat pesisir dari sejarah, identitas dan ruang hidupnya.

Melalui kebijakan, undang-undang, dan praktik, pemerintah mencabut hak akses, penggunaan, dan kendali atas sumber daya pesisir. Laut yang dulu ramah, kini berubah menjadi neraka dan ladang perebutan kuasa. Luasnya proyek reklamasi menandai mandat UUD 1945, khususnya Pasal 33 tentang kemakmuran rakyat tergadai demi kepentingan kapitalis.

Dekolonialisasi

Hegemoni pengetahuan Barat, yang teknokratis, dan bercumbu pada visi developmentalisme terbukti gagal. Perubahan iklim, bencana iklim dan krisis ekologi adalah produk pengetahuan jenis ini. Atas dasar itu, Escobar (2008), dalam Territories of Difference: Place, Movement, Life, mengingatkan urgensinya dekolonialisasi pengetahuan ekologis.

Dalam konteks mangrove, dekolonialisasi pengetahuan berarti mengakui pengetahuan, mengangkat pengalaman, dan melestarikan tradisi masyarakat lokal sebagai bagian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selama ini, tidak ada demokratisasi pengetahuan ekologis. Mitos, tradisi, dan praktik masyarakat lokal dalam menjaga bumi, hutan, dan sumber daya pesisir dianggap tidak ilmiah, invalid, ndeso, dan primitif. Faktanya, hingga detik ini 'strategi primitif' itu terbukti mampu melindungi, menjaga, dan merawat hutan bakau.

Sayangnya, aspek lokalitas 'pengetahuan' masyarakat, nelayan, kaum perempuan pesisir yang hidup menyatu bersama alam tidak diberi ruang, apresiasi, dan rekognisi. Semua, dimonopoli ilmuwan, pendonor, dan negara.

Ilmu titen masyarakat tersingkir. Sejatinya, khazanah ekologi masyarakat pesisir relatif kaya. Karyadi (45) mislanya, nelayan di pesisir Pekalongan bercerita. "Ada tanda-tanda alam sebelum desa Simonet (Pekalongan) tenggelam. Hewan-hewan, seperti bajing, burung, ayam, kambing, dan lainnya buru-buru migrasi ke tempat lain.

Arah angin, hembusan, dan rasanya berbeda." Karyadi tidak sekolah, tidak membaca buku ekologi. Melalui pengalaman, ia memahami tanda. Ilmu titen, kata orang Jawa. Bagi masyarakat modern, cerita Karyadi dianggap halusinasi, primitif, dan takhayul.

Sebelum ilmuwan modern mengenal konsep ecospirituality. Agamawan bicara green-deen, eco-sufisme, ekofeminisme-religius, dan kini ekoteologi, masyarakat pesisir jauh-jauh hari telah meyakini laut itu sakral. Terjadi persenyawaan alam, manusia, dan Tuhan. Masyarakat mengaku "ada penjaga laut, penjaga bumi, penjaga hutan."

Slamet Suharto (52) memberi testimoni bahwa "kawasan pesisir utara Pekalongan dijaga Dewi Lanjar. Sosok makhluk misterius berbaju hijau, paras cantik, dan orang-orang pantai memanggil 'bu hajjah.' Mangrove rusak seiring arus besar demitologi Dewi Lanjar.

Di daerah Api-Api (Pekalongan), pantai ini diyakini ada juru rawat, namanya Mbah Piyak. Mbah Piyak ditakuti karena reputasinya sebagai penjaga laut. Mbah Piyak marah jika ada yang menebang pohon mangrove, membuang sampah, buang air besar, kencing dan meludah di sembarang tempat, pacaran, dan merusak lingkungan. Masyarakat lokal menjaga pantai melalui mitos-mitos.

Pesisir Jawa bagian Barat mengenal mitos "Sringge", makhluk penjaga laut, berupa gadis cantik, berkaki celeng, dan berbau wangi. Mitos-mitos itu sengaja dirawat sebagai strategi menjaga mangrove, kawasan bakau, dan daerah pesisir.

Tayo (41), pegiat mangrove level internasional asal Mulyorejo Pekalongan juga menganggap bahwa mangrove adalah pohon sakral. Mangrove penuh ilmu, simbol, spirit, ruh, dan menjadi tanda-tanda zaman. Tayo bercerita, "Jika akar mangrove rapuh, hutan bakau banyak yang mati, itu pertanda akan terjadi bencana. Jika hewan-hewan mulai menjauh dari mangrove, burung terbang menghindari hutan mangrove itu akan muncul banjir bandang, bencana alam, dan bahkan daerah tenggelam."

Dekolonialisasi pengetahuan berarti merayakan local knowledge, tradisi, mitos, ritus orginal, praktik indigenous masyarakat menjaga alam. Kini, pengetahuan lokal ini sirna. Tergerus hempasan gelombang dominasi pengetahuan, paradigma, dan ideologi antroposentrisme dalam memandang alam dan hutan mangrove.

Menjaga Mitos dan Tradisi

Mitos dan tradisi menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam menjaga mangrove. Masyarakat pesisir meyakini menebang mangrove membabi-buta mendatangkan celaka. Mangrove diyakini sebagai penjaga laut. Ia memiliki ruh, hidup, melihat, bernafas, dan sakral.

Layaknya makhluk hidup, mangrove perlu dihormati, disapa, dan diperhatikan. Menebang bakau sama artinya mengundang murka laut. Rob, bencana alam, banjir bandang, gelombang tinggi, abrasi, dan beragam penyakit diyakini karena dampak krisis mangrove.

Mitas dan tradisi adalah bentuk pengetahuan lokal paling otentik. Mangrove berdimensi ekologis, simbolik, dan spiritual sekaligus. Kawasan mangrove terkoneksi pada mitos Nyi Roro Kidul, Dewi Lanjar, Mbah Piyak, dan mitos-mitos tokoh pesisir laut. Mereka menjadi agen koneksi, komunikasi, harmonisasi alam daratan dan lautan.

Mungkin tampak lucu bagi kaum modern, namun realitas ini adalah bentuk ecological emotionality (Ingold, 2001). Relasi emosional, mendalam, agung, dan mulai antar manusia dan ekologisnya.

Tiap bulan Suro (muharram), masyarakat pesisir melakukan ruwat (detoks) laut. Beragam nama tradisi lokal ini, yaitu sedekah laut, larung sesaji, ruwat laut, nyadran, atau ritual selametan di hutan mangrove adalah ekpresi ekologis. Melalui tradisi tersebut masyarakat pesisir berikhtiar secara totalitas menjaga kelangsungan mangrove dan sumberdaya laut. Tradisi adalah teknologi sosial, sarat simbol, penuh makna, dan menyimpan pesan konservasi.

Dalam konteks menjaga mangrove, mitos dan tradisi menjadi simbol komunikasi terselubung tabu-tabu dalam laku ekologis. Larangan merusak bakau, menangkap ikan berlebih, membunuh hewan, membidik burung, nambang, membuang limbah, serta merusak ekosistem adalah rentetan tabu yang tersirat pada mitos dan tradisi pesisiran.

Mengakui mitos dan tradisi dalam konteks mitigasi iklim dan menjaga mangrove bukan berarti mengingkari sains. Studi Levi-Strauss (2008), yang termaktub dalam Structural Anthropology, fungsi urgen sebuah mitos. Mitos merupakan mekanisme kognitif, menjembatani relasi manusia dan alam, serta menjaga keteraturan sosial. Memudarnya mitos dan tradisi dapat melahirkan disharmoni, konflik, dan kerusakan ekosistem mangrove.

Menjaga mangrove berarti menjaga kehidupan. Butuh jembatan epistemik, dimensi spiritual, demokratisasi dan dekolonialisasi pengetahuan. Mengatasi krisis mangrove tidak cukup pendekatan teknis semata, butuh integrasi mitos, dongeng, tradisi, sains, dan pengalaman. Ketika mangrove runtuh, yang datang bukan hanya abrasi, melainkan keruntuhan peradaban pesisir; sejarah, identitas, sistem pengetahuan, tradisi, mitos, dan sumber daya pesisir menjadi sirna. Menjaga pengetahuan lokal, menjaga mangrove, berarti menjaga iklim. Menjaga kehidupan.

Bergabungnya Indonesia pada Conference of the Parties (COP28) sejak Mei 2025, untuk memperkuat peran budaya pada adaptasi dan mitigasi iklim, tidak cukup hanya basa-basi diplomasi lipstik, melainkan butuh langkah strategis dan taktis. Tempatkan budaya dan pengetahuan lokal pada matra sentral kebijakan iklim.

Maghfur Ahmad. Guru Besar Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Awardee Riset Mora-LPDP (2025-2027).

Tonton juga Video: Jaga Lingkungan, Pertamina Dukung Bank Sampah & Mangrove




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork