Hari Kesaktian Pancasila selalu membawa kita kembali pada pertanyaan mendasar tentang keberadaan dasar negara yang telah menjadi penopang kebangsaan sejak 1945. Di tengah derasnya arus globalisasi, derasnya investasi, dan tekanan ekonomi yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam, kita perlu menakar sejauh mana Pancasila masih sakti dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sakti berarti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya benar-benar hidup, dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan menghadirkan keadilan serta keberlanjutan. Sebaliknya, sakit berarti hanya menjadi jargon yang dirayakan seremonial tanpa wujud nyata dalam kebijakan dan tindakan.
Pancasila sebagai ideologi sebenarnya menawarkan fondasi moral yang sangat relevan dengan pengelolaan sumber daya alam. Sila pertama mengingatkan bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga dengan rasa hormat, bukan dieksploitasi dengan rakus.
Sila kedua menuntut agar setiap langkah pembangunan memperhatikan martabat manusia, tidak ada kelompok masyarakat yang dikorbankan demi keuntungan segelintir orang. Sila ketiga mendorong persatuan nasional agar pengelolaan sumber daya tidak menimbulkan perpecahan. Sila keempat menghendaki musyawarah dan partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan.
Sila kelima menuntut agar hasil kekayaan alam dibagikan secara adil untuk seluruh rakyat. Jika kelima sila ini diterapkan dengan konsisten, maka pengelolaan sumber daya akan berjalan sesuai prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang lebar. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat deforestasi di Indonesia mencapai 257 ribu hektare pada 2023. Angka ini memang menurun dibandingkan dekade sebelumnya yang rata-rata mencapai lebih dari 1 juta hektare per tahun, tetapi tetap memperlihatkan ancaman serius terhadap keberlanjutan hutan.
Greenpeace Indonesia juga merilis laporan bahwa sejak 2001 Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta hektare hutan primer. Kerusakan ekosistem ini tidak hanya menurunkan daya dukung lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Dalam kerangka Pancasila, hilangnya hutan berarti kita sedang mengabaikan sila ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sumber daya mineral, terutama tambang, menghadirkan paradoks tersendiri. Indonesia merupakan produsen timah terbesar di dunia, dengan Bangka Belitung sebagai pusatnya. Data US Geological Survey mencatat produksi timah Indonesia mencapai 84 ribu ton pada 2023. Di balik angka tersebut, aktivitas penambangan ilegal masih marak.
Pemerintah sendiri pada September 2025 mengumumkan operasi besar-besaran pemberantasan tambang timah ilegal di Bangka Belitung atas instruksi Presiden Prabowo Subianto. Operasi ini dilakukan setelah kerusakan lingkungan semakin sulit dikendalikan dan konflik sosial meningkat. Kasus ini memperlihatkan bahwa nilai keadilan sosial dan persatuan bangsa yang dijunjung Pancasila masih terus diuji ketika kepentingan ekonomi dan lingkungan berhadapan secara langsung.
Persoalan air juga menunjukkan wajah yang sama. Sungai-sungai besar di Pulau Jawa kerap tercemar limbah industri. Laporan WALHI pada 2024 menyebutkan 82 persen sungai di Jawa dalam kondisi tercemar berat. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan jutaan warga sekaligus memperburuk krisis air bersih. Pencemaran air jelas bertolak belakang dengan sila kedua yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab, sebab masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang sehat sebagai bagian dari hak dasar mereka.
Konflik agraria menjadi cermin paling gamblang tentang lemahnya implementasi Pancasila dalam pengelolaan sumber daya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2023 terjadi 241 konflik agraria dengan luas wilayah terdampak mencapai 638 ribu hektare, melibatkan lebih dari 100 ribu keluarga. Sebagian besar konflik terjadi pada sektor perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur. Data ini memperlihatkan bahwa musyawarah mufakat dan keadilan sosial belum hadir secara nyata dalam tata kelola pembangunan.
Dari sisi bencana ekologis, frekuensinya terus meningkat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang Januari hingga Agustus 2025 terjadi lebih dari 2.300 bencana hidrometeorologi di Indonesia, didominasi banjir dan tanah longsor. Penyebab utamanya adalah kerusakan hutan, tata ruang yang amburadul, dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Dalam perspektif Pancasila, kondisi ini menandakan bahwa kebijakan pembangunan sering mengabaikan hikmat kebijaksanaan dan lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek.
Meski tantangan begitu nyata, bukan berarti Pancasila kehilangan relevansinya. Justru nilai-nilai Pancasila bisa menjadi dasar moral sekaligus instrumen politik untuk mengoreksi arah pembangunan. Sila pertama harus ditafsirkan dalam bentuk regulasi yang menempatkan lingkungan sebagai bagian dari amanah ilahi, sehingga setiap perusakan dianggap pelanggaran serius.
Sila kedua bisa dihidupkan melalui kebijakan yang melindungi masyarakat adat dan kelompok rentan dari praktik perampasan tanah. Sila ketiga dapat diwujudkan dengan memperkuat forum dialog lintas kepentingan agar konflik agraria tidak terus menjadi luka sosial.
Sila keempat menuntut transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan tata ruang maupun izin usaha. Sila kelima harus mendorong pembagian keuntungan dari sumber daya secara adil, misalnya melalui dana bagi hasil yang benar-benar sampai ke masyarakat lokal.
Peran penegakan hukum menjadi kunci. Selama hukuman bagi perusak lingkungan ringan atau bahkan tidak diproses, maka Pancasila akan terus terlihat sakit. Pemerintah harus memperkuat pengawasan, menutup celah regulasi, dan memberi sanksi tegas pada korporasi maupun individu yang merusak lingkungan. Transparansi data dan keterlibatan publik dalam pengawasan juga menjadi bagian dari langkah implementatif nilai kerakyatan.
Pendidikan lingkungan berbasis Pancasila juga perlu diperluas. Generasi muda harus dididik bahwa menjaga alam bukan hanya soal teknis, melainkan bagian dari moral kebangsaan. Sekolah bisa mengintegrasikan praktik pengelolaan sampah, penghijauan, dan konservasi ke dalam kurikulum sebagai wujud penerapan sila ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Pancasila sakti bukan berarti bebas dari tantangan. Kesaktiannya diuji setiap hari melalui keputusan-keputusan politik, regulasi ekonomi, dan tindakan masyarakat. Jika Pancasila hanya berhenti pada upacara dan pidato, maka ia sakit. Namun jika ia hadir dalam tindakan nyata, regulasi yang adil, penegakan hukum yang tegas, dan kesadaran kolektif untuk menjaga bumi, maka Pancasila tetap sakti sebagai dasar pengelolaan sumber daya alam.
Randi Syafutra. Dosen Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung.
Tonton juga video "Fadli Zon Ungkap Museum Kesaktian Pancasila Akan Direvitalisasi" di sini:
(rdp/imk)