Kolom

Pidato Prabowo di PBB: Kemerdekaan Palestina dan Pesan Perdamaian

Sugiat Santoso - detikNews
Minggu, 28 Sep 2025 19:03 WIB
Foto: Presiden Prabowo Subianto sampaikan pidato di KTT PBB soal Palestina (Dok. Situs PBB)
Jakarta -

Setelah 10 tahun absen, perwakilan Indonesia melalui Presiden Prabowo Subianto akhirnya hadir dan kesempatan berpidato dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada Selasa (23/9/2025).

Prabowo menjadi kepala negara ketiga yang diberi kesempatan berpidato setelah sebelumnya didahului oleh Presiden Brasil Luiz da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Prabowo membuka pidatonya dengan pengklasifikasian terhadap tantangan yang dihadapi oleh banyak negara yang diakibatkan oleh konflik dan ketidakpastian global yang menurutnya menjadi permasalahan kolektif yang harus diselesaikan bersama. Juga pada kesempatan tersebut, Prabowo meminta Dewan Keamanan PBB untuk bertindak aktif dalam menjaga perdamaian karena dampak negatifnya menghasilkan perang, genosida dan penderitaan bagi jutaan umat manusia.

Pengalaman panjang selama ratusan tahun bangsa Indonesia sebagai negara terjajah menjadi argumen Prabowo dalam mendeskripsikan bagaimana keadilan dan kesetaran menjadi fondasi penting bagi setiap negara.

Alasannya keadilan dan kesetaraan adalah jalan satu-satunya menuju kemakmuran sementara penindasan akan melahirkan praktik diskriminasi yang berujung pada keterpurukan dan kemelaratan.

Pada pertengahan pidato, Prabowo menyatakan kepercayaannya sistem internasionalisme dan multilateralisme yang ada pada diri organisasi PBB sebagai payung pelindung bagi setiap negara agar mendapatkan rasa aman dan damai.

Selain itu secara kongkrit ia menyebutkan kesiapannya dalam kapasitas presiden untuk mengirimkan 20.000 putra-putri Indonesia melalui Organisasi PBB untuk menjaga pedamaian di negara-negara yang berkonflik, seperti; Sudan, Libya hingga Ukraina.

Tak lupa Prabowo juga menyinggung beberapa tantangan lain yang dialami dunia saat ini. Dari masalah krisis lingkungan dan krisis pangan, yang mana secara terbuka Prabowo mengatakan kesiapannya untuk berkontribusi mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan sumber daya dan teknologi yang dimiliki Indonesia saat ini.

Kemudian, pada akhir pidatonya, Prabowo kembali menyinggung masalah kemanusiaan di Gaza. Ia kembali mengulang pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB di tanggal 22 September 2025 yang lalu dengan menawarakan solusi dua negara (two-state solution) dengan sikapnya terhadap kemerdekaan Palestina dengan menghormati Israel yang yang juga harusi diakui, dihormati dan dijamin keselamatan serta keamanannya.

Dimana menurut Prabowo solusi itu menjadi satu-satunya jalan bagi keturunan Abraham (orang Yahudi dan Arab) bisa melakukan rekonsiliasi yang damai dan harmoni.

Pidato Prabowo tersebut kurang lebih berlangsung selama 19 menit. Selanjutnya, ia menyampaikan pidato tersebut dengan setelan busana yang memadukan pakaian resmi Internasional dan indentitas nasional Indonesia yaitu jas berwarna biru gelap, dasi biru dan peci hitam.

Dekonstruksi

Pada pidato Prabowo di Sidang Umum PBB setidaknya ada 2 (dua) hal yang layak menjadi perhatian utamanya sikapnya dalam mendekontruksi doktrin kekuatan dan benturan peradaban.

Pertama, ketika Prabowo mendekonstruksi teori dari seorang sejarawan dan ahli perang dari Yunani bernama Thucydides (460 Masehi) yang mana secara eksplisit ia mengutip: "Yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka derita".

Kalimat tersebut merupakan salah satu doktrin kekuatan perang dari Thucydides dalam mendeskripsikan sejarah Perang Peloponnesia antara Sparta dan Athena yang berlangsung selama 27 tahun dari 431 sebelum masehi hingga 404 sebelum masehi.

Secara gamblang argumentasi Prabowo menolak doktrin Thucydides itu didasarkan pada alasan moral dari sikap Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina karena terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang dengan Israel.

Artinya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan tidak boleh sekadar diukur seberapa besar kekuatan dari militer sebuah negara karena kekuatan bukanlah kebenaran.

Lagi pula latar belakang berdirinya organisasi PBB adalah pengalaman pahit selama Perang Dunia ke-2 yang menghasilkan banyak kerusakan, penderitaan dan kematian.

Lebih jauh dalam upaya menciptakan perdamaian dunia sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk berpatisipasi dalam memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya prinsip yang harus dibangun adalah setiap negara harus dilindungi baik negara besar atau negara kecil yang semuanya mendapat perlakuan adil dan setara.

Pada poin kedua, Prabowo bicara tentang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari peradaban dunia yang damai. Ia menyinggung soal peradaban-peradaban besar di dunia, mulai dari: peradaban barat, timur, Eropa, India, hingga Islam yang harus saling harus mengambil peran untuk bijaksana untuk lepas dari segala rasa kecurigaan dan kebencian.

Meskipun Prabowo tidak menyebutkan secara spesifik terkait potensi konflik yang dilahirkan perkembangan sains atas kemajuan peradaban.

Hal ini secara implisit merupakan sikap yang jelas darinya untuk mendekontruksi konsep benturan peradaban (clash of civilizations) yang dituliskan oleh seorang Ilmuan Politik dari Amerika Serikat bernama Samuel P. Huntington (1996) dalam bukunya yang berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order".

Adapun buku tersebut secara gamblang menyebutkan bahwa di masa depan akan terjadi benturan peradaban karena alasan sains-teknologi, budaya, sejarah dan agama. Dimana peradaban-peradaban yang berbenturan atau berkonflik adalah peradaban Barat, Sinic (China), Islam, Ortodox, Hindu, Amerika Latin hingga Budha.

Pada bagian ini Prabowo secara gamlang memetakan kondisi dunia yang multi-polar bahwa faktanya memang saat ini terjadi kompleksitas hubungan global yang bisa memicu konflik akan tetapi ia menaruh harapan terhadap setiap negara melalui Organisasi PBB bisa meminimalisir segala potensi yang bisa memicu konflik serta tidak mengabaikan dinamika internal dari setiap negara.

Momentum

Panggung pidato bagi seorang presiden pada setiap Sidang Umum PBB merupakan salah satu momentum penting bagi Indonesia dalam melakukan diplomasi global. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa ketika seorang presiden berbicara di depan para pemimpin dunia, hal itu tidak hanya sebagai ajang eksistensi semata tapi bisa menjadi daya dorong bagi Indonesia dalam melakukan klarifikasi dan menyampaikan gagasan perdamaian dihadapan dunia.

Pada tahun 1960, Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang amat legendaris di Sidang Umum PBB berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build the World Anew) sebagai sikap Indonesia mendukung perdamaian dunia di antara dua blok negara yang sedang perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Kemudian, pada tahun 1974 Presiden Soeharto berpidato di Sidang Umum PBB dengan seruan dalam mengatasi krisis pangan, energi, dan moneter serta menyinggung masalah dalam Perang Vietnam yang harus diakhiri segera mungkin.

Lalu tahun 2001, Presiden Megawati berpidato di Sidang Umum PBB disaat fenomena Islam-Phobia sedang tinggi-tingginya pasca aksi terorisme pembajakan dua pesawat yang menabrak gedung Wolrd Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001. Saat itu Megawati mendekonstruksi wacana soal narasi mengkambinghitamkan Islam sebagai penyebab dari terorisme dengan menyoroti situasi konflik di Timur Tengah-lah yang menjadi akar masalahnya.

Selanjutnya, pada tahun 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pidato di Sidang Umum PBB dengan menyoroti kondisi keuangan global yang dipicu oleh gelembung properti (housing bubble) di Amerika Serikat. Dimana Presiden SBY meminta secara langsung ke PBB untuk bersikap reaktif terhadap situasi tersebut karena berdampak pada ekonomi negara-negara berkembang.

Melihat jejak serta tradisi para presiden Indonesia di panggung Sidang Umum PBB, terlepas dari situasi dalam negeri yang mungkin masih memiliki banyak masalah, baik soal kesejahteraan, persoalan pembangunan hingga krisis lingkungan. Namun bagian lebih penting adalah momentum bagi Indonesia untuk menyuarakan perdamaian dunia dan membangun citra positif di mata bangsa-bangsa lain.

Sugiat Santoso. Kader Partai Gerindra dan Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI.

Simak juga Video Prabowo Dukung Kemerdekaan Palestina, Tapi Juga Jamin Keamanan Israel




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork