Kolom

Pemimpin yang Berani Mengoreksi Diri

Pormadisimbolon - detikNews
Rabu, 24 Sep 2025 09:15 WIB
Foto: Ilustrasi kepemimpinan (Getty Images/iStockphoto/kuppa_rock)
Jakarta -

Kasus yang baru-baru ini terjadi di Prabumulih, Sumatra Selatan, mengingatkan kita pada relasi antara kekuasaan, integritas, dan kepercayaan publik. Seorang kepala sekolah SMPN 1, Roni Ardiansyah, sempat dicopot dari jabatannya setelah menegur seorang siswa yang membawa mobil ke lingkungan sekolah.

Isu yang tersebar di ruang publik ini menyebut bahwa siswa tersebut adalah anak Wali Kota Prabumulih. Pencopotan sang kepala sekolah pun memantik reaksi publik yang luas, hingga akhirnya ada klarifikasi dari pihak pemerintah kota bahwa alasan pencopotan bukan karena teguran tersebut.

Apapun detail faktanya, publik sudah terlebih dahulu menangkap sinyal adanya main kuasa. Fenomena ini berulang: pejabat publik lebih memilih menyangkal tuduhan daripada berani secara jernih mengakui kesalahan bila memang salah, atau menegaskan dengan obyektif bila benar.

Sikap defensif ini, alih-alih memperbaiki keadaan, justru memperbesar jarak antara pemerintah dan rakyat. Relasi antara pemimpin dan rakyatnya retak.

Krisis Keteladanan

Dalam konteks pendidikan, kepala sekolah atau guru sesungguhnya hanya menjalankan tugasnya: mendidik dan menegakkan aturan. Ketika tindakan mendidik justru berbalas mutasi atau pencopotan, pesan yang tersampaikan ke publik sangat berbahaya: integritas kalah oleh kuasa.

Di sinilah kita melihat krisis keteladanan. Anak pejabat yang mestinya menjadi contoh disiplin justru terlindungi oleh tembok kuasa. Anak pejabat bukan memamerkan kekayaan atau arogansi.

Padahal, kepemimpinan publik bukan sekadar mengatur administrasi. Lebih dari itu, ia adalah panggilan moral. Pemimpin yang berintegritas tidak anti terhadap kritik, apalagi menghindar dari koreksi. Ia justru akan menjadikan kritik sebagai cermin untuk memperbaiki diri, sekalipun itu menyakitkan secara pribadi.

Pemikiran Zygmunt Bauman tentang modernitas cair memberi kacamata tajam untuk membaca fenomena ini. Kita hidup di zaman ketika struktur sosial, nilai, dan norma tidak lagi kokoh. Semuanya cair, berubah cepat, dan sering tanpa pegangan. Dalam situasi cair seperti ini, peran pemimpin menjadi sangat krusial.

Bauman menekankan bahwa etika tidak cukup berhenti pada aturan formal. Etika sejati adalah tanggung jawab terhadap yang lain (responsibility for others)-terhadap sesama manusia. Artinya, pemimpin sejati adalah mereka yang berani memikul tanggung jawab moral: mengakui salah bila salah, membela yang benar meski itu merugikan dirinya sendiri.

Sayangnya, yang sering kita lihat justru sebaliknya. Kekuasaan dipakai bukan untuk melindungi kepentingan umum, melainkan untuk menutupi kelemahan pribadi atau keluarga. Inilah yang Bauman sebut sebagai kerapuhan moral dalam masyarakat cair. Ketika integritas pejabat goyah, kepercayaan publik pun runtuh.

Kerapuhan Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik adalah aset terpenting dalam tata kelola negara. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dirawat melalui keteladanan. Ketika publik menduga ada main kuasa dalam pencopotan seorang kepala sekolah, wibawa institusi pendidikan ikut tergerus. Masyarakat menjadi sinis: benar-salah bukan lagi soal fakta atau etika, tetapi soal siapa yang punya kuasa.

Situasi semacam ini berbahaya. Ia bisa menular ke ranah lain: birokrasi, politik, bahkan keluarga. Bila anak-anak melihat bahwa kuasa bisa menutup kesalahan, mereka belajar bahwa integritas bisa dinegosiasikan. Pada akhirnya, masyarakat kehilangan jangkar moral.

Jejak Budaya Nusantara

Fenomena main kuasa tidak berdiri sendiri. Ia berakar dalam sejarah panjang budaya Nusantara. Dalam tradisi feodal, kuasa raja atau bangsawan sering dianggap mutlak, bahkan menyatu dengan kebenaran.

Sisa-sisa pandangan itu masih terbawa ke birokrasi modern: siapa yang berkuasa dianggap selalu benar, sementara bawahan atau rakyat enggan mengoreksi.

Selain itu, budaya sungkan atau ewuh pakewuh membuat kritik terhadap pemimpin sering ditahan demi menjaga harmoni. Kebenaran kerap dikorbankan untuk menjaga wibawa penguasa.

Akibatnya, ketika pejabat salah, yang lahir bukan pengakuan tulus, melainkan pembenaran yang rapuh. Hal ini menciptakan persepsi bahwa penguasa tidak pernah salah.

Lebih jauh, dalam budaya Nusantara batas antara urusan publik dan privat kerap kabur. Keluarga pejabat sering memperoleh perlakuan istimewa seolah jabatan dan keluarga tidak bisa dipisahkan. Maka tidak heran, jika dalam praktik, ada kecenderungan melindungi kesalahan keluarga dengan kuasa jabatan.

Namun, Nusantara juga menyimpan tradisi kritik. Sejarah mencatat perlawanan rakyat terhadap penguasa yang lalim, dari petani hingga tokoh agama dan intelektual. Artinya, budaya kita bukan semata tunduk pada kuasa, tetapi juga mengandung benih keberanian untuk menegur demi kebenaran. Benih inilah yang seharusnya dirawat agar masyarakat tidak larut dalam budaya feodal yang menutup ruang koreksi.

Pemimpin sebagai Kompas Moral

Di tengah cairnya nilai dan derasnya arus pragmatisme, pemimpin sejatinya adalah kompas moral. Ia tidak boleh larut dalam logika kekuasaan yang membenarkan diri sendiri. Sebaliknya, ia harus berani menegakkan kejujuran. Tindakan sederhana seperti mengakui kesalahan dapat menjadi teladan yang mengikat kembali kepercayaan publik yang rapuh.

Kita berharap kasus Prabumulih ini menjadi cermin, bukan sekadar sensasi media. Ia harus menjadi pengingat bahwa pemimpin sejati bukanlah mereka yang selalu merasa benar, tetapi yang berani mengoreksi diri ketika salah.

Dalam bahasa Bauman, hanya pemimpin yang berani bertanggung jawab terhadap yang lain yang dapat membawa masyarakat keluar dari kerapuhan moral menuju harapan baru dan relasi yang sehat.

Pormadi Simbolon. Penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024), alumnus pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, Pemerhati Isu Pendidikan dan Kebudayaan.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork