Kolom

Paradoks Perawat Indonesia

Yayu Nidaul Fithriyyah - detikNews
Jumat, 19 Sep 2025 17:00 WIB
Foto: Ilustrasi perawat (iStock)
Jakarta -

Perawat memegang peranan yang penting dalam sistem kesehatan Indonesia, bukan hanya sebagai tenaga pendamping dokter, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam memastikan pelayanan kesehatan berlangsung dengan manusiawi dan berkesinambungan. Keberadaan perawat di Indonesia tidak sekadar tentang jumlah, tetapi juga kualitas, dedikasi, dan pengakuan akan perannya sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan.

Data Kementerian Kesehatan 2025 menunjukkan Indonesia membutuhkan sekitar 40.000-50.000 perawat baru setiap tahun, sedangkan lulusan perawat baru setiap tahun yang berhasil dicetak sekitar 60.000. Sepintas, angka ini menunjukkan "surplus", tapi ada yang janggal dengan data statistik tersebut.

Kilas Balik Profesi Perawat di Indonesia

Sejarah profesi perawat Indonesia dimulai dari era kolonial Belanda. Perawat waktu itu difungsikan untuk melayani tuan-tuan Eropa dan rumah sakit militer. Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai membangun sistem pendidikan keperawatan nasional melalui Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), yang kemudian berkembang ke jenjang diploma dan sarjana seiring modernisasi pada 1970-2000-an dan saat ini bahkan sudah ada spesialis dan jenjang doktoral.

Pendirian Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 1974 dan pengesahan Undang-Undang Kesehatan serta Keperawatan membuat landasan perawat sebagai tenaga profesional semakin kuat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan proporsi tenaga kesehatan di Indonesia masih jelas terlihat, meski perawat mendominasi dengan persentase 38,80% atau sejumlah 582.023 orang.

Namun, laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirangkum oleh William Russell pada tahun 2024 menunjukkan bahwa rasio perawat di Indonesia hanya 2,28 per 1.000 penduduk, padahal idealnya menurut WHO 4 per 1.000 penduduk, menempatkan Indonesia di peringkat keempat terendah di dunia.

Berjuang Dalam Senyap

Kita coba masuk lorong waktu ke tahun 2020, saat bencana biologis COVID-19 menerjang Indonesia, disinilah ketahanan infrastruktur kesehatan suatu negara diuji. Gelombang COVID-19 mengubah rumah sakit menjadi "gelanggang tempur".

Dokter dan perawat berguguran karena kelelahan dan terinfeksi, sementara pasien berjejal di lorong-lorong tanpa tempat tidur dan oksigen. Nakes terpaksa harus "memilih" siapa yang hidup atau mati akibat keterbatasan ventilator, sementara masyarakat panik berebut ambulans dan tabung oksigen.

Di balik APD yang pengap, air mata perawat bercampur keringat demi memberi penghormatan terakhir bagi pasien tanpa keluarga yang boleh mendekat. Layanan kesehatan kolaps, dokter junior dipaksa handle ICU, perawat bekerja 24 jam nonstop, dan mayat-mayat dibungkus plastik menumpuk.

Dalam momen heroik itu banyak dari kita (masyarakat) baru merasa terhubung ikatan emosionalnya dan terharu melihat betapa kerasnya perjuangan para perawat.

Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa terutama di saat negara sedang menghadapi krisis kesehatan. Namun, begitu pandemi mereda, kesadaran dan ikatan batin itu kembali mulai longgar dan goyah, profesi ini kembali mendapat stigma pahit sebagai profesi "kelas 2".

Surplus Perawat Yang Semu

Pulau Jawa-Bali menyerap sekitar 70% perawat, sehingga distribusi secara nasional menjadi timpang. Banyak wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) mengalami "kekeringan" perawat. Akibatnya, fasilitas kesehatan di daerah terpencil mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kesehatan, di sisi lain di kota besar terjadi surplus.

Dalam penelitian dari Ferry Efendi (2022) Indonesia menghadapi ketimpangan antara surplus dan defisit tenaga perawat. Kebijakan terkait jenjang pendidikan keperawatan, penempatan, dan remunerasi belum sepenuhnya optimal. Program Nusantara Sehat dan pengiriman perawat ke luar negeri masih berdampak minimalis

Berkaca dari Negara Tetangga

Indonesia butuh berkontemplasi sejenak, negara-negara tetangga (Asia), seperti Jepang, Taiwan, dan Thailand, yang menghadapi tantangan serupa tetapi memiliki cara berbeda dalam menanggulanginya.

Menurut International Council of Nurses (ICN) dalam Asia Workforce Forum: highlights widening gap in global supply and demand of nurses menjelaskan bahwa Jepang, menghadapi peningkatan populasi lansia yang signifikan, mereka merespons tantangan ini dengan mengembangkan jalur karier berjenjang bagi perawat, mulai dari Registered Nurse (RN), Certified Nurse (CN), hingga Certified Nurse Specialist (CNS).

Taiwan mengambil pendekatan berbeda. Mereka memiliki dua jalur pendidikan, yakni Technical and Vocational Education (TVE) dan General University Education (GUE). Sejak awal 2000-an, Taiwan bahkan mengembangkan program Nurse Practitioner (NP) untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis spesialis. Dengan pendekatan pada kurikulum internasional dan kemampuan berbahasa Inggris, perawat Taiwan kini sangat diminati di pasar internasional.

Sementara itu, Thailand mensyaratkan pendidikan minimal Bachelor of Nursing Science (BSN) untuk perawatnya. Pemerintah Thailand secara aktif memberikan insentif khusus dan beasiswa agar perawat mau bertugas di daerah-daerah terpencil. Walaupun demikian, isu "brain drain" ke perkotaan masih menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana dengan Indonesia?

Pentingnya "Merawat Perawat" Indonesia

Dunia keperawatan Indonesia memiliki catatan kelam akan tindak korban kekerasan, mulai dari cacian, ancaman, pukulan, hingga pelecehan seksual. saat mengalami segala sesuatu yang tidak memuaskan maka perawat yang akan menjadi "samsak". Berikut sebagian cuplikan kasus kekerasan terbaru yang dialami nakes perawat:

Fakta Baru Kasus Pengeroyokan Perawat Saat Pertahankan Tabung Oksigen, 3 Pengeroyok Perawat Puskesmas di Bandar Lampung Mengaku Keluarga Pejabat Dinkes (Kompas, 2021), Perawat di ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kendari inisial EL dianiaya keluarga pasien yang meninggal dunia (Detik, 2023), Perawat dianiaya Keluarga Pasien Gara-gara Cabut Jarum Infus di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang (Kompas, 2021) hingga berita Perawat di Garut Dianiaya Keluarga Pasien COVID-19, Terekam CCTV hingga Kronologi (Kompas, 2021).

Fenomena tidak mengenakkan ini seringkali dipicu oleh emosi keluarga pasien yang tidak terkendali atau mispersepsi terhadap layanan kesehatan. Dampaknya bukan hanya luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi seorang perawat. Data tersebut membuka mata kita bahwa dibalik megahnya rumah sakit ada pejuang kesehatan yang nasibnya memprihatinkan.

Tantangan kian pelik saat masuk ke urusan dapur (kesejahteraan), masih banyak perawat berstatus honorer atau kontrak dengan gaji yang jauh di bawah standar, padahal tanggung jawab yang mereka pikul sama besarnya dengan para pegawai tetap. Baru-baru ini publik dihebohkan demonstrasi terkait Tunjangan Hari Raya (THR) Insentif 2025 nakes RSUP Sardjito yang hanya dibayar 30% (Kompas, 2025), ini menambah daftar panjang catatan kelam kesejahteraan profesi perawat

Melihat fenomena yang terjadi, maka sudah waktunya Indonesia serius memperhatikan konsep "Merawat Perawat." Ini bukan hanya sekedar slogan, tetapi memang kebutuhan mendesak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan jelas, jika kesejahteraan perawat ditingkatkan, angka kesalahan medis dan burnout dapat berkurang signifikan.

Ketika seorang perawat diperlakukan dengan adil, jam kerjanya wajar, dan pendapatannya cukup, ia dapat bekerja lebih tenang dan fokus pada perawatan kesembuhan pasien dan diharapkan tidak akan ada lagi menemukan stigma "perawat galak/perawat judes"

Refleksi dan Harapan

Pemerintah sebagai regulator seyogyanya membuat perubahan kebijakan yang berkeadilan. Pertama pemerintah perlu memikirkan strategi insentif yang efektif bagi perawat yang rela bertugas di daerah 3T, beasiswa pendidikan lanjut yang terus digalakkan, serta fasilitas tempat tinggal layak, Kedua, penerapan jalur advanced practice nurse, sebagaimana di Jepang dan Taiwan, bisa memotivasi perawat untuk terus belajar dan naik tingkat pendidikan.

Ketiga, standar gaji dan tunjangan yang pantas akan berdampak langsung pada kualitas hidup dan layanan yang mereka berikan, Keempat, inovasi layanan di tengah modernisasi praktik mandiri perawat di bidang tertentu, misalnya klinik luka, perawatan geriatrik, atau homecare. Di sinilah regulasi yang jelas soal kewenangan dan perlindungan hukum menjadi krusial.

Dalam beberapa tahun terakhir, profesi keperawatan di Indonesia telah mengalami sejumlah kemajuan yang cukup membuat optimis. diantaranya adalah berdirinya Kolegium Keperawatan Indonesia, yang menjadi tonggak penting dalam upaya untuk memajukan profesi ini. Kolegium ini berperan sebagai wadah untuk mengembangkan standar pendidikan, praktik, dan penelitian di bidang keperawatan, serta berkontribusi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan profesi perawat di Indonesia.

Menanam pohon, tidak tumbuh dalam sehari, sehingga merawat profesi perawat butuh perjalanan maraton yang panjang dan berkelanjutan untuk mencapai hasil yang terbaik. Maju terus perawat Indonesia.

Yayu Nidaul Fithriyyah. Ahli di bidang keperawatan onkologi. Dosen Departemen Keperawatan Medikal-Bedah, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, UGM.

Simak juga Video Pesan Menkes untuk RS: Perawat Harus Dijaga, Jangan Bully PPDS!




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork