Kolom

Bali, Banjir, dan Jalan Pulang Kita

Rifqi Nuril Huda - detikNews
Senin, 15 Sep 2025 13:30 WIB
Kerusakan akibat banjir di Bali / Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Jakarta -

Beberapa hari terakhir, kita semua dikejutkan dengan kabar dari Bali, pulau yang selama ini kita kenal sebagai surga wisata dunia, yang ternyata rapuh di hadapan derasnya air hujan.

Curah hujan ekstrim sejak awal September 2025 memicu banjir bandang dan longsor di berbagai wilayah, menghanyutkan rumah, menutup akses jalan, merusak jembatan, bahkan sempat mengganggu jalur menuju bandara.

Korban jiwa tercatat belasan orang, ratusan warga harus mengungsi, dan ribuan orang lainnya mengalami dampak yang membuat kehidupan sehari-hari mereka berantakan. Bayangkan saja, hanya dalam hitungan jam, hujan yang turun bisa setara dengan curah hujan satu bulan penuh, sehingga tidak ada lagi ruang bagi tanah untuk menelan air, tidak ada cukup waktu bagi sungai untuk mengalirkannya, dan tidak ada cukup saluran kota untuk menampungnya.

Kita tentu sepakat bahwa hujan deras adalah peristiwa alam, namun yang membuatnya menjadi bencana besar adalah ketika hujan itu jatuh di tanah yang sudah padat bangunan, di atas aliran sungai yang sudah menyempit oleh bangunan pariwisata, atau di lereng yang gundul karena hutan sudah dikorbankan demi villa dan hotel.

Di situlah kita harus jujur mengakui bahwa banjir di Bali kali ini bukan semata soal langit yang sedang marah, melainkan juga soal bagaimana kita membangun pulau ini selama puluhan tahun terakhir.

Semakin banyak sawah berubah jadi beton, semakin sempit ruang sungai karena terhimpit bangunan, semakin besar pula risiko bencana yang kita tanggung. Dan ketika perubahan iklim datang membawa pola hujan yang makin tidak menentu, kita dipaksa melihat kenyataan bahwa Bali, yang selama ini kita banggakan sebagai destinasi dunia, ternyata menyimpan kerentanan yang besar.

Kabar dari BMKG menyebut musim hujan kali ini bisa lebih panjang dan ekstrem dibanding tahun-tahun sebelumnya. Artinya, banjir yang menelan korban dan kerugian ekonomi di Bali tidak bisa kita anggap sebagai musibah sesaat, melainkan tanda peringatan keras bahwa kita sudah memasuki era baru, era ketika perubahan iklim nyata-nyata mengetuk pintu rumah kita.

Persoalannya sekarang, apakah kita hanya akan bersedih dan menyalahkan hujan, atau kita mau belajar, membenahi, dan membangun kesiapan baru menghadapi tantangan zaman.

Dari Mitigasi, Energi Bersih, hingga Ekonomi Warga

Jika kita menengok bagaimana pemerintah daerah dan pusat merespons bencana ini, tentu ada hal-hal yang patut kita apresiasi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Basarnas, TNI, Polri, hingga BPBD Bali bergerak cepat mengevakuasi korban, membuka akses jalan, dan memberikan bantuan darurat.

Inilah bukti bahwa sistem tanggap darurat kita sudah jauh lebih baik dibanding puluhan tahun lalu. Tetapi, pertanyaan pentingnya adalah: apakah kita sudah cukup kuat dalam hal pencegahan, atau kita masih berkutat di hilir, sibuk setelah bencana datang, namun abai sebelum bencana terjadi?

Mitigasi adalah kunci, dan sayangnya di sinilah kita masih lemah. Tata ruang di Bali, terutama di kawasan pariwisata, seringkali lebih tunduk pada kepentingan investasi ketimbang rencana mitigasi bencana. Sungai yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan pemandangan belakang hotel; hutan yang seharusnya menjadi penyangga air, malah ditebang untuk vila-vila mewah; drainase kota yang seharusnya diperluas, malah tersumbat oleh tumpukan pembangunan yang tidak terkendali.

Padahal kita tahu, tanpa ruang terbuka hijau dan resapan air, hujan ekstrem apa pun pasti akan berujung banjir.

Dalam konteks inilah, transisi energi yang selama ini banyak dibicarakan di Bali juga tidak bisa kita pandang sebelah mata. Bali sebenarnya sudah punya visi yang luar biasa: peta jalan menuju 100 persen energi terbarukan pada tahun 2045.

Beberapa desa sudah lebih dulu memulainya, dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang memberi penerangan bagi warga sekaligus menekan ketergantungan pada jaringan listrik yang rentan padam saat bencana.

Bayangkan jika energi bersih ini diperluas ke banyak desa, maka saat banjir datang dan listrik utama padam, warga desa tetap bisa hidup dengan penerangan, rumah sakit tetap bisa melayani pasien, dan UMKM tetap bisa berproduksi. Energi bersih bukan hanya soal menekan emisi karbon, tapi juga soal ketahanan sosial di tengah bencana.

Dampak ekonomi dari banjir di Bali sangat besar, dan ini harus kita pahami bukan hanya dalam hitungan rupiah yang hilang, tetapi dalam penderitaan harian warga. Pariwisata yang menjadi nadi ekonomi Bali tentu terpukul: wisatawan membatalkan kunjungan, hotel dan restoran merugi, pekerja harian kehilangan penghasilan.

Tidak hanya itu, petani di desa-desa terdampak kehilangan hasil panen, UMKM yang bergantung pada pasokan lokal harus menutup usaha, dan ribuan keluarga kehilangan modal kecil yang selama ini menjadi penopang hidup. Inilah wajah nyata bencana: ia tidak hanya menghanyutkan rumah, tapi juga menghanyutkan harapan.

Karena itu, membangun mitigasi bencana dan transisi energi bersih tidak boleh hanya dilihat sebagai agenda teknis pemerintah, tetapi sebagai upaya menyelamatkan ekonomi rakyat kecil. Kita harus melihat bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan untuk perbaikan drainase, penghijauan hulu sungai, pembangunan PLTS desa, atau edukasi kebencanaan, sesungguhnya adalah investasi untuk melindungi petani, nelayan, pedagang kaki lima, dan buruh pariwisata yang menjadi tulang punggung Bali.

Peraturan Desa, Keadilan Iklim, dan Amanat Konstitusi

Di titik inilah gagasan Akar Desa Indonesia tentang peraturan desa transisi energi dan keadilan iklim menemukan relevansinya. Selama ini, desa sering dipandang hanya sebagai objek pembangunan, padahal desa justru adalah garda terdepan menghadapi bencana dan perubahan iklim.

Desa tahu persis aliran air sungai di wilayahnya, desa tahu tanah mana yang rawan longsor, desa tahu kebiasaan masyarakatnya, dan desa pula yang pertama kali menanggung derita ketika banjir melanda. Maka, memberi kewenangan dan landasan hukum bagi desa untuk membuat peraturan tentang transisi energi dan keadilan iklim adalah langkah yang sangat strategis.

Bayangkan sebuah desa di Bali memiliki peraturan yang mengatur larangan membangun di bantaran sungai, mewajibkan konservasi hutan adat, memanfaatkan dana desa untuk PLTS atap bersama, dan membuat dana cadangan khusus untuk membantu warga paling rentan saat bencana.

Bayangkan pula jika desa-desa wisata di Bali mewajibkan setiap hotel kecil atau homestay memasang sistem pengelolaan air hujan agar tidak langsung membanjiri jalan desa. Semua itu bisa diatur lewat peraturan desa, sehingga tidak menunggu instruksi dari atas, melainkan tumbuh dari bawah, dari kebutuhan riil masyarakat desa.

Inilah yang disebut sebagai keadilan iklim: memastikan bahwa kelompok paling rentan petani kecil, buruh pariwisata, pedagang pasar, dan anak-anak tidak dibiarkan menanggung beban paling besar dari krisis iklim. Jika desa punya aturan, maka desa punya pegangan hukum untuk mengalokasikan dana, mengorganisir warga, dan bernegosiasi dengan pihak luar yang ingin berinvestasi.

Bali, dengan kearifan lokalnya seperti Tri Hita Karana yang menekankan harmoni manusia dengan alam, sebenarnya punya modal budaya yang sangat kuat untuk mewujudkan gagasan ini.

Dan jika kita tarik lebih jauh, semua ini sejatinya adalah amanat konstitusi kita. UUD 1945 menegaskan bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan itu tidak hanya dalam arti menjaga batas negara dari ancaman luar, tetapi juga menjaga setiap warganya dari ancaman bencana.

Negara juga ditugaskan untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka ketika banjir menghancurkan rumah warga, ketika sawah petani tenggelam, ketika pekerja pariwisata kehilangan penghasilan, itu semua adalah alarm yang mengingatkan bahwa amanat konstitusi belum sepenuhnya kita jalankan.

Konstitusi juga mengajarkan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks perubahan iklim, keadilan sosial itu berarti memastikan bahwa generasi mendatang tidak mewarisi bumi yang lebih rusak daripada yang kita nikmati hari ini. Banjir di Bali adalah cermin kecil dari apa yang akan semakin sering terjadi jika kita terus menunda adaptasi dan transisi energi.

Maka, membangun peraturan desa, memperluas energi bersih, memperkuat tata ruang, dan mengedepankan keadilan iklim bukan sekadar program pemerintah, melainkan bentuk nyata dari kita menepati janji konstitusi.

Jalan Pulang Kita

Bali adalah wajah kita di mata dunia, tapi lebih dari itu, Bali adalah rumah bagi jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada sawah, laut, dan pariwisata. Banjir yang melanda Bali hari ini mengajarkan kita bahwa rumah seindah apa pun bisa roboh jika pondasinya rapuh.

Pondasi itu bukan sekadar beton, tapi kebijakan yang berkeadilan, tata ruang yang berpihak pada alam, energi yang bersih dan tangguh, serta desa-desa yang berdaya menghadapi perubahan iklim.

Kita tidak bisa lagi menunda, sebab perubahan iklim sudah hadir di depan mata. Kita tidak bisa lagi menganggap bencana sebagai kejadian sesaat, sebab pola cuaca ekstrem kini menjadi normal baru. Yang bisa kita lakukan adalah belajar, berbenah, dan kembali pada jalan pulang kita: jalan menuju harmoni dengan alam, jalan menuju energi bersih, jalan menuju keadilan sosial, jalan menuju amanat konstitusi.

Jika Bali bisa memulai dari desa, dengan peraturan desa transisi energi dan keadilan iklim, maka Bali bukan hanya bisa pulih dari banjir, tetapi juga bisa menjadi teladan dunia tentang bagaimana sebuah pulau kecil berani berdiri menghadapi krisis iklim.

Dan pada akhirnya, keberanian itu bukan hanya untuk Bali, tapi untuk kita semua, bangsa Indonesia, yang ingin tetap berdiri tegak di tengah badai zaman.

Rifqi Nuril Huda, Alumni Magister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia

Simak juga Video Menpar Pastikan Wisatawan Masih Berdatangan ke Bali Meski Banjir




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork