Manusia adalah 'khalifatul fil ardh', sering diartikan sebagai 'pemimpin di dunia'. Secara harfiah, arti kata 'khalifah' bermakna luas, bisa berarti pewaris, penerus, penanggung jawab dan pengelola. Oleh karenanya, manusia menanggung beban besar untuk mengelola dan meneruskan warisan bumi dan seluruh sumber daya beserta makhluk-makhluk lain yang menopang hidupnya, dan memanfaatkan kekayaan alamnya untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia, sebagai bentuk ketaatan kepada Sang Khalik.
Salah satu permasalahan global yang dihadapi manusia adalah perubahan iklim. Sangat anthropocentric memang. Ditambah lagi sifat manusia yang sangat egois. Bahkan, tujuan pencegahan dan penanggulangan perubahan iklim, perlindungan alam, pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya pun, dari sekian banyak alasan, adalah untuk menjaga bumi agar tetap bisa dihuni oleh manusia, agar manusia tetap bisa berkembang biak dan bertumbuh. Ya! Tetap untuk kepentingan manusia, pada akhirnya!
Namun demikian, pandangan filosofis dan pendapat para pemikir, serta petuah orang-orang sholeh mengarahkan akal budi manusia untuk mencerna dan merenungkan fungsi dan perannya di muka bumi ini. Yaitu, kehadiran manusia lebih sekedar makhluk yang ingin berkembang biak. Bahwa hidup manusia adalah untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, orang terdekat, masyarakat dan bangsa, juga bagi kebaikan umat manusia di alam raya, untuk menjadi khalifah-- wakil Tuhan--di muka bumi ini. Dengan demikian, maka tugas manusia sebagai pemimpin adalah berat, sangat berat.
Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca buku berjudul "Krakatau, ketika dunia meledak 27 Agustus 1883" oleh Simon Winchester. Kala itu dunia dihebohkan dengan suara dentuman raksasa, hujan abu menutupi sebagian besar permukaan bumi yang di wilayah tropis membuat cuaca lebih sejuk namun di belahan bumi utara menjadi penyebab anomali iklim, musim dingin lebih lama yang merusak tanaman pertanian sehingga praktis membuat lahan tidak produktif, membuat Eropaterancam bencana kelaparan.
Pewartaan adanya dentuman besar, hujan batu apung, dan kilatan api seperti helaian-helaian gandum merujuk pada fenomena erupsi anak gunung Krakatau. Dahsyatnya suasana letusan gunung Krakatau digambarkan oleh teks-teks singkat telegraf yang dasarnya adalah laporan Residen Lampung dan Residen Banten, di masa pemerintahan kolonial Belanda.
Yang hendak saya garis bawahi dari cuplikan kisah dalam buku tersebut adalah kemampuan para petugas dan pejabat pemerintahan kolonial dalam menguasai ilmu alam, ilmu ukur, ilmu pemerintahan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi hingga ilmu pertanian dan pengelolaan tanah, bahkan ilmu berkomunikasi secara tertulis.
Pada era tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan 'bar' (standar) yang tinggi bagi para pejabatnya. Seorang pejabat yang menduduki posisi sebagai Residen haruslah orang dengan segudang pengalaman dan latar belakang pendidikan yang mumpuni. Tujuannya tidak semata-mata agar pemerintahan Hindia Belanda lebih kokoh, namun juga memastikan bahwa program kolonialisme berjalan untuk kemajuan ekonomi negeri Belanda kala itu.
Di sisi lain, eksplorasi sumber daya alam dan kekayaan keanekaragaman hayatinya juga terus digenjot. Meski, kita semua yakin, bahwa motif di balik semua studi dan penyelidikan (penelitian) pada masa itu ditujukan untuk menumpuk kekayaan finansial dan intelektual Kerajaan Belanda.
Menarik pembelajaran dari cuplikan sejarah tersebut, dengan konteks Indonesia saat ini, maka isu kecakapan dan keahlian, kesiapan dan kelayakan para pemimpin dan calon pemimpin di Republik ini perlu mendapat perhatian serius. Perlu dipersiapkan sejak awal, dipupuk dengan cara dilatih oleh tugas dan assignment, diasah dengan masalah dan pemecahannya, dan dibimbing serta diajar oleh tangan berpengalaman.
Salah satu unsur masyarakat di dalam kehidupan bernegara adalah partai politik. Bahwa partai politik adalah rumah kelahiran para pemimpin eksekutif dan legislatif, para menteri dan kepala daerah. Oleh karenanya, dengan salah satu fungsinya tersebut, maka partai politik wajib membekali semua kadernya dengan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan negara, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, serta dasar ilmu pengetahuan pengalaman untuk mengelola dan menyejahterakan kehidupan bermasyarakat.
Terkait pemimpin dan kepemimpinan ini, seyogyanya setiap unit organisasi atau lembaga menjadikan proses pendidikan kepemimpinan sebagai ruh keberlanjutan organisasi, tidak terkecuali partai politik. Pengkaderan yang terstruktur, dan rekrutmen yang selektif dan rekam jejak dalam pencapaian dalam menyelesaikan permasalahan, harus menjadi bobot penilaian dalam menuju puncak piramida kepemimpinan, di lembaga apapun, di manapun.
Bung Hatta menggambarkan bahwa pemimpin haruslah siap menderita. Pemimpin siap menderita dalam artian mau dan ikhlas berkorban dalam pengabdian, setia menghadapi kesulitan, dan berdiri di garda terdepan dalam memperjuangkan cita-cita.
Pemimpin adalah orang yang ditempa, dilatih, dibimbing dan dibentuk oleh pemimpin sebelumnya. Untuk menjadi pemimpin yang baik, harus bisa menjadi pengikut yang baik.
Mari kita jadikan usia dewasa dan pengalaman sebagai sumber kebijaksanaan dan usia muda serta kepolosan menjadi sumber kekuatan untuk bergerak, tidak mudah menyerah dan siap untuk berkarya membangun negeri dari ujung terjauh pelosok desa dan hutan hingga di tengah hiruk pikuk perkotaan dan metropolitan.
Selamat Ulang Tahun Partai Demokrat ke-24, rumah besar yang akan terus melahirkan pemimpin dan calon pemimpin masa depan Republik Indonesia!
Irwan Fecho
Kader Partai Demokrat
Simak juga Video: Pakar Sebut DPRD Pilih Pemimpin Daerah Tidak Selesaikan Akar Masalah
(jbr/jbr)