Hari ini, 17 Agustus 2025, Indonesia memperingati HUT ke-80 kemerdekaannya sejak diproklamasikan oleh Sang Dwi Tunggal: Soekarno-Hatta, pada 17 Agustus 1945 silam. Berbicara tentang kemerdekaan, membuat kita sejenak berpikir kembali tentang kata "merdeka" itu sendiri. Kata merdeka sering kita dengar sebagai simbol kebebasan dari penjajahan bangsa asing.
Namun, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini, merdeka juga bisa dimaknai sebagai upaya membebaskan diri dari belenggu kepemimpinan yang arogan. Ide tentang pemimpin arogan ini bercermin dari kemelut di Pati, Jawa Tengah, yang kini menjelma isu nasional bahkan internasional.
Unjuk rasa ratusan ribu warga Pati menentang kebijakan sang bupati yang hendak menaikkan pajak sebesar 250 persen menginspirasi daerah lain untuk melawan pemimpin arogan dan sewenang-wenang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pesan dari demonstrasi warga Pati jelas: pemimpin tak boleh arogan. Sebab, wargalah yang memberikan jabatan kepada pemimpin.
Dalam perjalanan sejarah, kepemimpinan selalu menjadi faktor krusial dalam menentukan arah sebuah bangsa, organisasi, atau komunitas. Pemimpin yang baik mampu membawa perubahan positif, sementara pemimpin yang arogan justru menjadi penghambat kemajuan.
Sejarah, baik di Indonesia maupun dunia, mencatat bahwa arogansi kepemimpinan selalu menjadi bibit kehancuran.
Pemimpin yang menutup diri dari aspirasi rakyat akan memupuk jarak sosial, memperlebar ketidakadilan, dan pada akhirnya melahirkan perlawanan. Rakyat, cepat atau lambat, akan mencari cara untuk merdeka dari kungkungan arogansi tersebut.
Arogansi dalam kepemimpinan tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merusak kepercayaan dan semangat kolektif. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memerdekakan diri dari pemimpin arogan demi terciptanya tatanan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Merusak Sendi Demokrasi
Pemimpin arogan bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga merusak sendi-sendi demokrasi dan nilai kemanusiaan. Arogansi lahir ketika kekuasaan tidak lagi dimaknai sebagai amanah, melainkan sebagai alat untuk memuaskan diri dan kelompok.
Pemimpin yang arogan cenderung anti kritik, menutup telinga dari suara rakyat, dan lebih sibuk mengedepankan pencitraan ketimbang menyelesaikan persoalan nyata. Mereka lupa bahwa kursi kekuasaan sesungguhnya adalah titipan yang harus dipertanggungjawabkan.
Pemimpin arogan seringkali memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali. Mereka cenderung merasa paling benar, mengabaikan pendapat orang lain, dan tidak mau dikritik.
Mereka juga sering menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Sikap ini tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan, tetapi juga menimbulkan rasa tidak aman di antara anggota kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya.
Sudah tentu, pemimpin arogan memiliki dampak negatif sehingga dapat memicu berbagai masalah, baik dalam skala kecil maupun besar. Di tingkat organisasi, mereka dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, di mana kreativitas dan inovasi terhambat karena rasa takut untuk berbicara.
Di tingkat masyarakat atau negara, pemimpin arogan dapat memicu ketidakpuasan sosial, konflik, bahkan mosi tidak percaya terhadap sistem pemerintahan.
Selain itu, pemimpin arogan cenderung membuat keputusan sepihak tanpa melibatkan pihak-pihak yang terdampak. Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan merugikan banyak orang.
Dalam jangka panjang, sikap arogan ini dapat menghancurkan fondasi kepercayaan dan kerja sama yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut hemat penulis, untuk memerdekakan diri dari pemimpin arogan, diperlukan kesadaran dan keberanian kolektif. Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dbahas. Pertama, membangun kesadaran kritis.
Masyarakat perlu memahami bahwa pemimpin arogan tidak layak memegang kekuasaan. Dengan meningkatkan kesadaran kritis, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi sikap arogan dan mengambil tindakan yang tepat.
Kedua, mendorong akuntabilitas. Pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dengan menuntut transparansi dan akuntabilitas, kita dapat mencegah sikap arogan yang berlebihan. Ketiga, menguatkan partisipasi publik.
Partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat mengurangi ruang bagi pemimpin arogan untuk bertindak semena-mena. Suara rakyat harus didengar dan dihargai.
Keempat, mendorong pemimpin yang melayani. Pemimpin sejati adalah mereka yang melayani, bukan yang dikuasai oleh ego. Dengan mendukung pemimpin yang rendah hati dan berpihak pada kepentingan bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil.
Kelima, berani mengambil tindakan. Jika pemimpin arogan terus merugikan, masyarakat harus berani mengambil tindakan, baik melalui dialog, protes damai, atau mekanisme hukum yang berlaku.
Butuh Pemimpin Asketis
Merdeka dari pemimpin arogan bukan berarti hidup tanpa pemimpin. Justru sebaliknya, rakyat membutuhkan pemimpin asketis yang rendah hati, mampu mendengar, dan memiliki empati. Kepemimpinan ideal adalah yang menempatkan rakyat sebagai pusat pengabdian, bukan sekadar objek eksploitasi.
Merdeka dari pemimpin arogan berarti menuntut hadirnya pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana menebar manfaat, bukan menimbun kesombongan.
Penulis mengakui bahwa merdeka dari pemimpin arogan bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, bukan pula hal yang mustahil. Ini merupakan langkah penting untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Pemimpin yang rendah hati, terbuka, dan melayani adalah kunci untuk membangun masyarakat yang harmonis dan progresif. Dengan kesadaran dan aksi kolektif, kita dapat mewujudkan tatanan di mana kepemimpinan tidak lagi didominasi oleh arogansi, tetapi oleh semangat gotong-royong untuk bersama-sama mencapai kemajuan.
Di era demokrasi, kemerdekaan itu bisa kita perjuangkan melalui kesadaran politik. Masyarakat harus cerdas memilih, kritis dalam menilai, dan berani menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan arogansi tumbuh karena rakyat lengah, diam, atau apatis.
Suara rakyat adalah kekuatan, dan kekuatan itu harus digunakan untuk memastikan pemimpin yang lahir dari proses demokrasi benar-benar memiliki jiwa melayani. Kemerdekaan yang hakiki bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, melainkan juga terbebas dari kepemimpinan yang menindas mental dan hak-hak rakyat.
Oleh karena itu, penulis mengajak seluruh anak bangsa untuk rayakan kemerdekaan Indonesia ini bukan sekadar dengan seremonial. Akan tetapi, juga dengan komitmen untuk merdeka dari pemimpin arogan.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang dipimpin oleh mereka yang mengutamakan kerendahan hati, kebijaksanaan, dan keadilan. Mari kita bergerak bersama untuk merdeka dari pemimpin arogan dan menuju Indonesia Emas. Ghadan asyaddu isyraaqan! (Semoga esok lebih cerah!).
Ali Musthofa Asrori. Warga asli Pati. Penyuka literasi dan Balitbang Diklat Kemenag RI sejak 2016. Kini tercatat sebagai Jurnalis NU Online.