Gelombang demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada akhir Agustus 2025 menyisakan pesan kuat. Selain teriakan "turunkan DPR" dan kecaman atas tunjangan fantastis para legislator, terselip tuntutan yang sangat rasional: segera sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Massa tidak lagi hanya menuntut perbaikan gaji dan tunjangan, melainkan menyentuh akar persoalan: korupsi yang dibiarkan tanpa pemulihan aset negara. Sayangnya, aksi yang mulanya damai berubah anarkis. Rumah pejabat dijarah, barang-barang mewah dibawa keluar, bahkan uang tunai dibagi-bagikan dengan simbolik: "ini duit rakyat."
Secara hukum, penjarahan jelas tindak pidana. Namun dalam konteks politik, publik memparodikan penjarahan itu sebagai bentuk perampasan aset nyata, karena RUU Perampasan Aset sudah satu dekade mandek pengesahannya.
Urgensi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2023 terdapat 1.718 terdakwa/pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian negara Rp56 triliun. Namun uang pengganti yang berhasil dikembalikan lewat putusan pengadilan hanya sekitar Rp7,3 triliun.
Artinya hanya 13 persen kerugian negara yang bisa kembali. Angka ini menunjukkan "efektivitas semu" pemberantasan korupsi: pelaku dihukum penjara, tetapi negara tetap tekor karena kerugian yang timbul tidak semuanya dapat dikembalikan kepada negara.
Kasus Korupsi E-KTP menjadi contoh klasik. Vonis pidana memang dijatuhkan, tetapi dari kerugian Rp2,3 triliun, negara hanya berhasil menagih sekitar Rp 500 miliar. Tanpa instrumen hukum perampasan aset yang tegas, kerugian negara selalu lebih besar daripada aset yang kembali.
Hukum dan Logika Ekonomi
Secara normatif, hukum kita masih berorientasi pada in-personam (perampasan aset melalui putusan pidana). Padahal dalam banyak kasus pelaku meninggal, kabur, atau tidak cukup bukti, sehingga aset hasil korupsi luput dari jangkauan hukum.
Disinilah pentingnya melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture), yang sudah dikenal di berbagai negara. Intinya, negara bisa merampas aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Pelakunya harus bisa membuktikan bahwa asetnya legal, jika tidak negara berhak merampasnya.
Model ini berangkat dari prinsip klasik crime should not pay (kejahatan tidak boleh menghasilkan keuntungan). Prinsip ini diwujudkan melalui upaya penegakan hukum penyitaan aset hasil kejahatan, yang bertujuan untuk membuat kejahatan tidak bernilai ekonomis bagi pelakunya.
Pada abad ke-17, Cesare Beccaria, menegaskan bahwa sanksi pidana seharusnya dirancang untuk menghilangkan manfaat dari kejahatan. Dua abad kemudian, Gary Becker (1968) dan Richard Posner (1998), menekankan bahwa pelaku kriminal bertindak rasional dengan menghitung untung-rugi dalam melakukan kejahatan.
Jika koruptor masih bisa mewariskan aset hasil korupsi meski dirinya dipenjara, maka risiko hukuman terasa ringan (untung). Sebaliknya, jika negara dapat merampas seluruh aset tanpa menyisakan sedikitpun untuk dinikmati, maka kalkulasi keuntungan akan runtuh (rugi).
Dalam analisa hukum dan ekonomi, potensi keuntungan dalam melakukan korupsi harus dibuat sekecil mungkin agar kejahatan berkurang. Inilah logika ekonomi yang harus diadopsi, jika sanksinya tegas dan keras maka pelaku akan berpikir ulang untuk korupsi.
Momentum Politik
RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah masuk Prolegnas sejak 2015, tetapi hingga kini tidak kunjung disahkan. Padahal, UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang sudah diratifikasi Indonesia sejak 2006 menuntut adanya instrumen hukum ini.
Upaya perampasan aset ini telah menjadi bagian penting untuk menekan tingkat kejahatan dalam penyembunyian aset hasil tindak pidana di berbagai negara, seperti di Inggris, Australia, Nigeria, Peru, Selandia Baru, dan Filipina.
Inggris, melalui Proceeds of Crime Act 2002, berhasil merampas lebih dari 230 juta poundsterling aset kejahatan hanya dalam beberapa tahun. Filipina berhasil menarik kembali 624 juta dolar AS dari rekening rahasia Ferdinand Marcos di Swiss. Peru mengembalikan lebih dari 100 juta dolar aset korupsi Vladimiro Montesinos dalam tiga tahun.
Di Indonesia, kerugian negara triliunan rupiah harus juga dikembalikan secara maksimal kepada negara. DPR dan pemerintah tidak perlu lagi berlindung di balik alasan teknis. RUU Perampasan Aset adalah kebutuhan mendesak.
Tujuannya bukan hanya untuk memperbaiki citra lembaga negara, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan publik yang tergerus. Momentum politik saat ini tidak boleh dilewatkan. Jika aspirasi ini diabaikan, jangan heran jika rakyat mengekspresikannya secara liar dengan parodi "perampasan aset jalanan".
Oleh karena itu, segera sahkan RUU Perampasan Aset. Bukan untuk memuaskan massa, melainkan untuk membuktikan negara masih berpihak pada warganya. Jangan biarkan koruptor kaya, sementara rakyat terus dipaksa membayar harga dari kejahatan mereka.
Irwan Hafid. Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga.
Lihat juga Video: Temui Para Pemuka Agama, Prabowo Janji Perjuangkan UU Perampasan Aset
(rdp/imk)