Kolom

Deepfake, Demokrasi, dan Tanggung Jawab Kolektif Kita

Rifqi Nuril Huda , Rifqi Nuril Huda - detikNews
Senin, 01 Sep 2025 14:58 WIB
Foto: Ilustrasi deepfake (dok. Shutterstok)
Jakarta -

Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat Indonesia kembali diguncang oleh beredarnya sebuah video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan pernyataan seolah-olah guru adalah beban negara.

Video tersebut seketika memantik amarah, kekecewaan, dan perdebatan sengit di media sosial. Namun, tidak lama berselang, Kementerian Keuangan membantah kebenaran video itu dan menegaskan bahwa konten tersebut merupakan hasil manipulasi digital deepfake yang memotong konteks pidato sang menteri secara serampangan.

Klarifikasi resmi itu disampaikan langsung oleh Kementerian Keuangan. "Video yang beredar luas tersebut adalah hoaks, hasil manipulasi digital, dan bukan pernyataan Ibu Menteri Keuangan," demikian penegasan Kemenkeu dalam rilis resminya (19/8). Sri Mulyani sendiri menambahkan, "Saya tidak pernah mengatakan guru adalah beban negara."

Justru dalam banyak kesempatan saya menekankan pentingnya mendukung guru dan dosen agar kualitas pendidikan Indonesia meningkat." Kutipan ini bukan sekadar bantahan, melainkan pengingat bahwa video deepfake bisa merusak reputasi publik sekaligus menyesatkan masyarakat luas dalam sekejap mata.

Kasus ini muncul bertepatan dengan suasana bulan kemerdekaan. Saat bangsa kita memperingati 80 tahun Indonesia merdeka, ruang publik seharusnya dipenuhi semangat kebersamaan dan refleksi perjuangan.

Namun, justru kita dihadapkan pada tantangan baru penjajahan digital dalam bentuk manipulasi informasi. Jika dahulu para pendiri bangsa berjuang melawan kolonialisme dengan bambu runcing, kini kita ditantang melawan kolonialisme baru berupa hoaks dan deepfake yang menusuk kesadaran bangsa.

Deepfake dan Tantangan Demokrasi di Era Digital

Sebagai generasi muda yang lahir dan tumbuh di desa, saya merasakan betul betapa cepatnya informasi semacam itu menyebar di lini masa WhatsApp keluarga, forum komunitas RT, hingga percakapan warung kopi. Ketika informasi diproduksi dalam bentuk teks, biasanya masyarakat masih cenderung skeptis dan membandingkan dengan sumber lain.

Namun, ketika informasi hadir dalam format video dengan wajah, intonasi, dan suara yang menyerupai tokoh publik, kemampuan kritis itu sering kali runtuh. "Kalau sudah ada videonya, berarti benar," begitu kira-kira logika sederhana yang hidup dalam benak banyak orang desa maupun kota.

Bahaya deepfake jelas nyata, ia menggerus batas antara fakta dan manipulasi, memaksa masyarakat menelan informasi palsu dengan keyakinan seolah itu kebenaran.

Jika kita tilik lebih dalam, kasus video palsu Sri Mulyani bukan sekadar persoalan citra seorang pejabat atau kredibilitas kementerian. Ia adalah refleksi dari tantangan besar bangsa kita dalam menghadapi era disrupsi digital.

Demokrasi Indonesia berdiri di atas fondasi kepercayaan publik. Kepercayaan itu dibangun melalui dialog yang sehat, informasi yang jernih, dan pertukaran gagasan yang terbuka. Namun, ketika ruang publik dibanjiri konten manipulatif berbasis AI, yang lahir justru kebingungan, kecurigaan, dan perpecahan.

Dalam jangka panjang, jika tidak ditangani serius, fenomena ini bisa melumpuhkan sendi-sendi demokrasi. Sama halnya dengan kemerdekaan yang bisa hilang bila rakyat kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya, demokrasi bisa roboh bila masyarakat tidak lagi tahu mana kebenaran dan mana kebohongan.

Teknologi memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi menghadirkan peluang besar untuk mempercepat kemajuan bangsa sehingga dapat meningkatkan produktivitas, memperluas akses pendidikan, bahkan membantu petani desa dalam memprediksi cuaca atau harga pasar.

Namun, di sisi lain, teknologi bisa pula menjadi alat perusak apabila disalahgunakan. Deepfake adalah contoh nyata dari sisi gelap teknologi. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, siapa pun dapat mengedit wajah dan suara tokoh publik, lalu menempelkan potongan kalimat yang seolah-olah autentik.

Konten manipulatif ini lalu disebar melalui media sosial, memanfaatkan algoritma yang gemar mengangkat isu kontroversial, sehingga viral dalam hitungan jam.

Sebagai pemuda desa, saya merenung bagaimana masyarakat desa yang sehari-hari bekerja di ladang, dengan akses informasi terbatas, dapat memverifikasi kebenaran sebuah video semacam itu? Bagaimana perangkat desa, yang sudah sibuk mengurus administrasi warga, mampu memberi klarifikasi cepat sebelum masyarakat terlanjur terbelah?

Kenyataan pahitnya adalah, banyak warga desa hanya menerima informasi dari grup WhatsApp atau potongan video yang dikirim kerabat. Literasi digital masih jauh dari memadai, sementara kecepatan hoaks menyebar jauh melampaui kecepatan klarifikasi resmi pemerintah.

Upaya Merdeka dari Hoaks

Melihat kondisi saat ini, di sinilah tanggung jawab generasi muda hadir. Kita tidak bisa berpangku tangan, menunggu regulasi atau teknologi deteksi canggih dari pemerintah semata.

Kita perlu menjadi agen literasi digital di lingkungan terdekat, membangun kesadaran masyarakat bahwa setiap informasi harus diperiksa ulang, bahwa tidak semua video adalah kebenaran, dan bahwa rasa ingin tahu kritis adalah benteng pertama melawan hoaks.

Tugas ini memang berat, tetapi bukankah kemerdekaan juga lahir dari keberanian generasi muda yang melawan arus ketidakbenaran? Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945 menjadi bukti bahwa anak muda bisa menjadi motor perubahan. Maka, menghadapi deepfake hari ini, generasi muda harus kembali mengambil peran.

Mari kita belajar dari kasus ini secara lebih komprehensif. Pertama, kita perlu memahami bahwa deepfake bukanlah sekadar rekayasa teknis, melainkan instrumen politik yang bisa dipakai untuk merusak reputasi lawan, menggiring opini publik, bahkan menciptakan kekacauan sosial. Semisal dalam situasi politik menjelang pemilu, teknologi ini bisa menjadi senjata berbahaya.

Bayangkan apabila sebuah video palsu yang menampilkan calon presiden atau tokoh agama tersebar luas sehari sebelum hari pencoblosan.

Walaupun klarifikasi resmi muncul beberapa jam kemudian, kerusakan psikologis di masyarakat sudah terjadi. Dalam teori komunikasi politik, framing yang salah tetap meninggalkan jejak emosional, meski fakta sudah diluruskan.

Kedua, tanggung jawab pemerintah dalam menghadapi fenomena ini tidak bisa ditunda. Kita membutuhkan regulasi yang tegas mengenai penggunaan teknologi kecerdasan buatan, khususnya pada konten politik dan publik.

Regulasi ini harus mengatur kewajiban labeling bagi konten AI-generated, mekanisme verifikasi digital, hingga sanksi tegas bagi pembuat dan penyebar konten manipulatif. Ketiga, peran media arus utama menjadi sangat penting.

Dalam situasi banjir informasi, masyarakat membutuhkan jangkar kebenaran. Media cetak, televisi, dan portal daring kredibel harus mampu memberikan klarifikasi cepat, sekaligus mengedukasi pembacanya tentang cara mengenali tanda-tanda manipulasi digital. Bagi masyarakat desa, media arus utama sering kali menjadi sumber kepercayaan terakhir.

Keempat, partisipasi masyarakat sipil tidak boleh dilupakan. Komunitas cek fakta, organisasi pemuda, hingga kelompok belajar di desa dapat menjadi motor penggerak literasi digital. Di banyak tempat, kita sudah mengenal kader posyandu atau relawan penyuluh pertanian. Mengapa tidak kita ciptakan pula kader literasi digital di tingkat desa?

Kasus video palsu Sri Mulyani seharusnya menjadi titik balik kesadaran kolektif kita. Bagi masyarakat desa, kasus ini adalah pelajaran bahwa kepercayaan tidak boleh diberikan begitu saja pada apa yang terlihat meyakinkan.

Bagi pemerintah, peringatan bahwa regulasi dan sistem deteksi harus dipercepat. Bagi media, ujian integritas di tengah banjir informasi. Dan bagi generasi muda, situasi ini adalah panggilan untuk terjun langsung menjadi bagian dari solusi.

Setiap ancaman besar selalu menyimpan peluang. Deepfake, betapapun berbahayanya, bisa menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membangun sistem literasi digital yang lebih kokoh. Jika masyarakat terbiasa berpikir kritis, maka manipulasi secanggih apa pun tidak akan mudah menembus kesadaran kolektif kita.

Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa perjuangan melawan hoaks digital bukanlah perjuangan sesaat, melainkan maraton panjang. Deepfake hari ini bisa menargetkan seorang menteri, besok bisa menyasar tokoh agama, lusa bisa menyerang masyarakat sipil biasa.

Dalam suasana bulan kemerdekaan ini, mari kita warisi semangat para pendiri bangsa yakni menjaga persatuan, melawan penjajahan, dan menolak segala bentuk penindasan termasuk dalam wujud barunya, penjajahan digital.

Demokrasi tidak akan runtuh hanya karena satu video palsu, tetapi ia bisa roboh bila masyarakatnya kehilangan kepercayaan dan kesadaran. Tugas kita bersama adalah menjaga agar itu tidak terjadi. Merdeka!

Rifqi Nuril Huda. Pemuda Desa, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Alumni Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Tonton juga video "Sri Mulyani Kena Deepfake, Ini Pernyataan Aslinya soal Guru-Dosen" di sini:




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork