Perikatan medis merupakan hukum perdata khusus karena karakteristik dari perikatan medis berbeda dengan perikatan dalam perdata umum. Menurut penulis, beberapa karakteristik dasar dari perikatan medis adalah sebagai berikut.
Pertama, perikatan medis merupakan sebuah perikatan yang membedakan antara perikatan tindakan medis dan perikatan layanan medis. Perikatan layanan medis sering digolongkan sebagai inspanningsverbintenis dalam koridor perdata khusus. Sedangkan perikatan tindakan medis merupakan sebuah perikatan sepihak dalam suatu tindakan upaya medis yang dilakukan dokter terhadap pasien.
Wujudnya adalah satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban (one party agrees, the other party has an obligation). Oleh karena itu, inti dari perikatan medis mengandung unsur perikatan tindakan medis yang sifatnya sepihak dan perikatan layanan medis yang sifatnya kedua belah pihak berikat (semacam perjanjian dalam layanan medis perdata khusus), sedangkan karakteristik dari ikatan tindakan medis selalu mendasarkan pada upaya maksimal (Medical Effort Theory).
Oleh karena itu, ikatan tindakan medis bukan merupakan jenis perikatan yang menuntut hasil (resultaatsverbintennis). Perikatan yang menuntut hasil (resultaatsverbintennis) merupakan jenis dan bentuk perikatan yang karakteristiknya menuntut hasil dalam wilayah pengaturan perdata umum.
Kedua, perikatan medis yang diimplementasikan dalam upaya tindakan medis, mendasarkan pada informed consent sebagai perwujudan persetujuan pasien terhadap upaya tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien.
Jadi, informed consent merupakan fondasi dari upaya tindakan medis dan merupakan salah satu legal aspek dari ikatan medis yang memerlukan persetujuan sepihak pasien serta menimbulkan kewajiban kepada pihak dokter untuk melaksanakannya sesuai standar (baik standar pelayanan, standar profesi, maupun standar operasional prosedur) dan kebutuhan medis pasien.
Baca juga: Kolaborasi Pengawasan Digital terhadap Anak |
Artinya, aspek ikatan ini dapat mengategorikan apakah upaya tindakan medis merupakan lege artis (sesuai aturan) atau tidak, pondasinya adalah informed consent khususnya dalam upaya tindakan medis yang bersifat invasif dan/atau beresiko.
Ketiga, kegagalan dalam pelaksanaan perikatan bidang medis (khususnya upaya tindakan medis) tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis karena beberapa hal, yaitu sifat dari perikatan medis yang merupakan upaya maksimal sehingga yang diharapkan dari perikatan bidang tindakan medis adalah adanya upaya maksimal sesuai dengan standar dan kebutuhan medis pasien.
Keempat, kegagalan dari pelaksanaan perikatan bidang medis (khususnya upaya tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari faktor resiko medis karena dalam setiap upaya tindakan medis selalu terkandung resiko medis dengan prevalensi atau persentase kemungkinan terjadi resiko yang bervariasi.
Kelima, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya upaya tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan medis. Dalam hal ini, dokter dan tenaga kesehatan telah melaksanakan tindakan medis sesuai dengan standar tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya sarana prasarana medis di rumah sakit tidak berfungsi optimal, listrik mati dan genset tidak langsung bekerja, tertukarnya Gas O2 dan Gas CO2 di instalasi kamar operasi yang disediakan oleh rumah sakit, meledaknya tabung oksigen dan tabung anastesi, serta berbagai bentuk kecelakaan medis lainnya.
Keenam, kegagalan dari pelaksanaan perikatan upaya medis (khususnya upaya tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya contributory of negligence, yaitu kontribusi kesalahan pasien. Misalnya adalah, pasien tidak mematuhi rujukan yang telah ditetapkan dan direkomendasikan oleh rumah sakit, pasien tidak mematuhi nasehat dari dokter untuk melakukan konsultasi rutin setelah dilakukan tindakan medis, pasien melakukan pengobatan alternatif atau berobat ke tempat lain yang tidak direkomendasikan oleh dokter dan rumah sakit.
Sifat khusus penyelenggaraan layanan praktik kedokteran merupakan sebuah perikatan yang berbentuk inspanningsverbintenis (perikatan yang menuntut dilakukan upaya maksimal bidang perdata khusus). Menurut penulis, ada 3 (tiga) parameter untuk mengukur apakah penyelenggaraan upaya tindakan praktik kedokteran telah berdasarkan upaya maksimal atau tidak.
Pertama, pengukuran berdasarkan standar. Penyelenggaraan praktik kedokteran harus mematuhi standar. Kedua, pengukuran berdasarkan kemampuan rata-rata atau average. Dalam hal ini, dokter yang melakukan upaya tindakan medis dibandingkan dengan dokter lainnya dari kategori atau spesialisasi yang sama.
Misalnya, permasalahan terjadi dalam penyelenggaraan upaya tindakan praktik kedokteran berupa bedah caesar. Dalam hal ini, dokter spesialis kandungan yang melaksanakan tindakan bedah caesar dibandingkan dengan dokter spesialis kandungan lainnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah kemampuan dokter tersebut minimal rata-rata adalah sama atau average. Apabila kemampuan dokter tidak memenuhi standar kemampuan rata-rata atau average, maka dapat dipastikan bahwa parameter upaya maksimal dari inspanningsverbintennis bidang perdata khusus atau Teori Upaya Medis (Medical Effort Theory) tidak tercapai. Ketiga, pengukuran berdasarkan situasi dan kondisi yang sama.
Misalnya: dokter yang berdinas di Rumah Sakit Tipe C dibandingkan dengan dokter lain yang berdinas di Rumah Sakit Tipe C, dokter yang berdinas di daerah terpencil dibandingkan dengan dokter lain yang berdinas di daerah terpencil. Apabila hasil perbandingan memenuhi unsur kewajaran, maka dapat dipastikan bahwa dalam hal ini dokter telah melakukan upaya maksimal dalam perikatan inspanningsverbintenis bidang perdata khusus.
Menurut penulis, Perbuatan Melawan Hukum-PMH (onrechtmatige daad) dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan PMH (onrechtmatige daad) secara umum.
Oleh karena itu, PMH (onrechtmatige daad) dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan merupakan PMH (onrechtmatige daad) secara khusus. Beberapa hal yang membedakan adalah sebagai berikut:
Pertama, PMH (onrechtmatige daad) secara umum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan. Ada 2 (dua) hal yang dapat dianalisis terkait dengan PMH (onrechtmatige daad) secara khusus, yaitu perbuatan dan kealpaan atau kelalaian. Terkait dengan kealpaan atau kelalaian dalam PMH (onrechtmatige daad) secara khusus, unsur yang harus dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap standar dan pemenuhan kebutuhan medis pasien.
Untuk membuktikan adanya penyimpangan tersebut dapat dilakukan melalui perbandingan (diperbandingkan) dengan dokter lain dengan kemampuan rata-rata average yang sama dan dalam situasi kondisi yang sama.
Sedangkan untuk membuktikan pemenuhan kebutuhan medis pasien adalah dengan menganalisis perbandingan yang proporsional antara tindakan medis atau layanan medis yang dilakukan dengan tujuan dari tindakan medis atau layanan medis.
Tindakan medis atau layanan medis yang berlebihan dan tidak proporsional, berpotensi digolongkan sebagai defensive medicine. Sedangkan tindakan medis atau layanan medis yang tidak memenuhi upaya maksimal, berpotensi digolongkan sebagai penyebab malpraktik medis.
Kedua, PMH (onrechtmatige daad) secara umum tidak diperbolehkan bertentangan dengan hak orang lain, khususnya adalah hak subjektif orang lain. Sedangkan dalam PMH (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan atau dalam beberapa hal diperbolehkan bertentangan dengan hak orang lain dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 351 KUHP.
Namun, unsur penganiayaan ini menjadi terhapus karena adanya 3 (tiga) hal yaitu: Pertama, dalam pelaksanaannya didasarkan pada informed consent; Kedua, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis (dalam hal ini, tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan standar, baik standar pelayanan, standar profesi maupun standar prosedur operasional); Ketiga, tindakan pembedahan ditujukan untuk suatu tujuan yang konkrit, yaitu kebutuhan medis pasien.
Contoh lainnya mengenai tindakan medis yang bertentangan dengan hak orang lain adalah tindakan medis terkait dengan perluasan operasi, dimana dalam perluasan operasi dilakukan beberapa tindakan medis (bahkan pengangkatan organ) yang sebelumnya tidak dijelaskan di dalam informed consent. Tindakan perluasan operasi diperbolehkan apabila selaras dengan Doktrin Life Saving, yaitu sebagai upaya tindakan medis yang terbaik untuk menyelamatkan pasien.
Ketiga, PMH (onrechtmatige daad) secara umum diartikan sebagai perbuatan yang tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, dalam PMH (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan untuk dilakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan.
Contohnya adalah tindakan medis yang berupa aborsi. Pada dasarnya, aborsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, aborsi diperbolehkan apabila bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu.
Meskipun dalam aborsi ini konsekuensinya adalah menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu. Tindakan medis ini bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan karena salah satu amanah dari Kode Etik Kedokteran Indonesia mewajibkan setiap dokter untuk menghormati hak hidup setiap makhluk insani.
Tetapi, dalam kondisi kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, dokter diperkenankan oleh Doktrin (Doktrin Life Saving) dan peraturan perundang-undangan untuk melakukan tindakan penyelamatan (khususnya terhadap ibu), dengan konsekuensi menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu.
Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pembentukan pengadilan khusus profesi medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis. Pembentukan pengadilan khusus profesi medis adalah hal yang penting dan sangat dibutuhkan.
Tujuannya, agar masyarakat terhindar dari praktik penegakan hukum yang sesat dan tidak terukur, diakibatkan oleh perbuatan para hakim yang berlatar belakang Sarjana Hukum dan kurang memahami dunia praktik ilmu pengetahuan kedokteran. Jaminan pemeriksaan dan persidangan pengadilan yang obyektif serta profesional tentang ada tidaknya malpraktik medis belum terkonsep dengan baik hingga saat ini.
Seharusnya, penegakan hukum tidak digabung atau dicampurbaurkan dengan penegakan disiplin profesional dan/atau penegakan etik praktik kedokteran. Memperkuat Majelis Disiplin Profesi (MDP) sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, bukanlah penyelesaian yang tepat sesuai dengan tujuan hukum untuk menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum.
Hal ini dikarenakan, MDP hanya memperkokoh kewenangan eksekutif (Menteri Kesehatan) dalam penyelesaian sengketa medis. Supremasi hukum dalam penyelesaian sengketa medis adalah melalui pengadilan khusus profesi medis karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Wahyu Andrianto. Dosen Tetap Fakultas Hukum UI.
(rdp/imk)