Kolom

Hulu, Hilir, dan Ancaman Limbah di Balik Energi Bersih

Rifqi Nuril Huda , Rifqi Nuril Huda - detikNews
Sabtu, 16 Agu 2025 09:36 WIB
Foto: Ilustrasi panel surya yang menghasilkan energi bersih (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta -

Di sebuah pagi di jalanan Jakarta, deru motor listrik terdengar nyaris senyap. Di halaman rumah-rumah pinggiran kota, panel surya mengilap memantulkan cahaya mentari. Angka-angka pertumbuhan kendaraan listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap mencatat rekor kendaraan listrik melesat dari 41.743 unit pada 2022 menjadi hampir 200 ribu unit pada November 2024, mayoritas berupa sepeda motor.

Pelanggan PLTS atap ikut melonjak dari 2.346 pada Juni 2020 menjadi 9.632 pada Oktober 2024. Gambaran itu seperti potret masa depan yang bersih, sunyi, rendah karbon.

Namun di balik euforia itu, ada jam pasir yang pelan-pelan menipis. Setiap baterai kendaraan listrik hanya bertahan 8-10 tahun. Setiap panel surya, 25-30 tahun. Setelah itu? Keduanya berubah menjadi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang tak bisa begitu saja dibuang ke tanah atau laut.

Jika tidak diatur dengan bijak dari awal hingga akhir, transisi energi yang kita agungkan hari ini bisa menjadi bom waktu lingkungan esok hari.

Kita terlalu sering membatasi obrolan pada kilau manfaat teknologi energi bersih yaitu untuk menekan emisi, menghemat BBM, menurunkan polusi udara. Padahal, pertanyaan yang lebih sulit dan justru menentukan keberlanjutan sejatinya nyaris tak tersentuh dari mana bahan baku teknologi itu berasal, bagaimana ia diproduksi, dan ke mana ia akan pergi ketika masa pakainya habis?

Hulu Produksi Baterai dan Panel Surya

Keberlanjutan energi terbarukan tidak dimulai saat listrik pertama kali mengalir dari baterai atau panel surya. Ia dimulai di hulu di tambang, di pabrik,dan di meja perancang.

Indonesia punya keunggulan strategis salah satu penghasil nikel terbesar di dunia. Logam ini adalah "jantung" baterai kendaraan listrik. Tetapi keunggulan itu bisa berubah menjadi luka jika penambangan dilakukan tanpa prinsip responsible mining.

Kerusakan ekosistem laut, pencemaran sumber air, hingga pengabaian hak masyarakat lokal akan membuat kita sekadar memindahkan beban lingkungan dari negara maju ke tanah kita sendiri. Standar internasional seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) seharusnya bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Di industri panel surya, keberlanjutan di hulu berarti mengurangi jejak karbon produksi. Pemurnian silikon dan pembuatan sel surya menyedot energi besar. Jika energi itu masih bersumber dari batubara, maka manfaat lingkungan panel surya pun tercoreng.

Solusinya jelas low carbon manufacturing yang memanfaatkan listrik dari sumber terbarukan.

Dan ada satu hal yang sering dilupakan adalah desain produk. Eco design rancang bangun yang memudahkan pembongkaran, pemisahan komponen, dan daur ulang adalah investasi masa depan. Baterai modular yang bisa diganti selnya tanpa membuang seluruh unit, atau panel surya dengan sambungan yang mudah dilepas, akan membuat pengelolaan limbah jauh lebih efisien.

Belajar dari Tata Kelola Jerman

Jika ada negara yang mengajarkan bahwa transisi energi harus diatur dari awal hingga akhir, Jerman adalah contohnya. Melalui Energiewende, mereka tidak hanya membangun kapasitas energi terbarukan, tetapi juga memastikan jalur daur ulang tersedia, jelas, dan berfungsi.

Kunci suksesnya adalah Extended Producer Responsibility (EPR) yang tegas. Produsen baterai dan panel surya diwajibkan menarik kembali produknya yang sudah usang, mengolahnya di fasilitas daur ulang berteknologi tinggi, dan melaporkan hasilnya secara transparan.

Ini bukan sekadar formalitas di atas kertas pelanggaran dikenai sanksi, kepatuhan diberi insentif.

Teknologinya pun maju. Daur ulang baterai dilakukan dengan metode hydrometallurgical recycling yang mampu mengekstrak hingga 95 persen logam berharga seperti kobalt, nikel, dan litium siap dipakai lagi dalam produksi baterai baru. Panel surya diproses dengan pemisahan presisi tinggi, sehingga kaca, aluminium, dan silikon kembali mengalir ke rantai pasok.

Yang patut dicatat, keberhasilan itu lahir dari kemitraan lintas sektor. Pemerintah menyiapkan regulasi, industri mengembangkan teknologi, riset menciptakan inovasi, dan masyarakat terlibat aktif dalam pengumpulan.

Sistem logistiknya dirancang agar semua orang termasuk pelaku usaha kecil dapat dengan mudah mengirimkan limbah ke fasilitas daur ulang.

Harmonisasi Hulu-Hilir Industri Baterai dan Panel Surya

Indonesia bisa belajar dari Jerman, tapi tidak menyalinnya mentah-mentah. Kita punya tantangan berbeda, bentang wilayah yang luas, infrastruktur logistik yang belum merata, dan dominasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian. Namun di situlah peluangnya.

UMKM bisa menjadi simpul penting di rantai hilir titik pengumpulan limbah baterai dan panel surya di desa atau kota kecil. Dengan pelatihan dan peralatan yang memadai, mereka bisa melakukan pra-pengolahan sederhana memisahkan komponen, menyimpan material berbahaya dengan aman sebelum limbah dikirim ke fasilitas daur ulang berskala nasional.

Untuk mewujudkan ini, empat langkah strategis harus ditempuh. Pertama, menetapkan standar produksi ramah lingkungan dengan sertifikasi internasional dan mewajibkan eco-design untuk semua produk baterai dan modul surya. Kedua, perkuat kapasitas UMKM melalui modal, pelatihan teknis, dan kemudahan perizinan limbah B3.

Ketiga, bangun fasilitas daur ulang terpadu dengan teknologi kelas dunia. Keempat, terapkan regulasi EPR yang tegas, beri insentif bagi produsen yang bermitra dengan UMKM, dan kenakan sanksi pada yang lalai.

Harmonisasi dari hulu ke hilir ini bukan hanya urusan teknis. Ini adalah wujud nyata ekonomi sirkular mengubah limbah menjadi sumber daya, mengurangi impor bahan baku, menciptakan lapangan kerja baru, dan menghidupkan industri daur ulang domestik.

Transisi energi bukan sekadar proyek infrastruktur atau statistik kapasitas pembangkit. Ia adalah proyek peradaban. Ia menguji cara kita melihat hubungan antara kemajuan teknologi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial.

Bayangkan 20 tahun ke depan, anak-anak kita hidup di kota dengan udara bersih, listrik murah dari tenaga surya, dan industri yang berdiri di atas prinsip tanpa limbah. Itu hanya mungkin terjadi jika hari ini kita berani mengawal setiap tahap dari tambang hingga purna pakai dengan visi yang utuh.

Kalau kita bisa melakukannya, transisi energi tidak hanya akan meninggalkan warisan udara segar, tapi juga cerita bahwa bangsa ini pernah memilih jalan yang benar, di saat dunia di persimpangan. Dan itu, mungkin, adalah warisan terbesar yang bisa kita berikan.

Rifqi Nuril Huda. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork