Menuju Negeri Bersih dan Berdaya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

Kamis, 10 Jul 2025 12:05 WIB
Randi Syafutra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pengendara motor melintas di depan tumpukan sampah yang menggunung yang ada di pinggir jalan raya Cimanggis, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (23/4/2025). Tumpukan sampah yang menggunung terjadi akibat adanya kendala pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA), sebelumnya Kejaksaan Negeri Prov Banten menetapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangsel beserta staff sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kegiatan jasa layanan pengangkutan dan pengelolaan sampah tahun anggaran 2024, dengan kerugian negara sebesar Rp75,94 miliar. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
Ilustrasi / Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Jakarta -

Isu lingkungan kembali menjadi sorotan publik. Laporan National Kawula Survey Q2 2025 yang dirilis Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas (PP17) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai menaruh perhatian besar pada krisis ekologis. Dalam daftar sepuluh isu prioritas nasional yang perlu segera ditangani, persoalan lingkungan menempati posisi penting, dengan inefisiensi pengelolaan sampah berada di puncak. Data ini adalah cerminan keresahan kolektif yang patut direnungkan, bukan sekadar dipandang sebagai catatan administratif atau angka statistik belaka.

Survei ini memuat hasil yang menggambarkan kegelisahan nyata masyarakat terhadap persoalan lingkungan hidup. Masalah sampah menduduki peringkat pertama, disusul banjir, kekurangan ruang terbuka hijau (RTH), pencemaran air dan udara, hingga pembukaan hutan dan monopoli sumber daya alam. Tidak mengherankan bila dua pulau dengan konsentrasi populasi tertinggi, yakni Jawa dan Sumatra, menjadi wilayah dengan tingkat kepedulian tertinggi terhadap isu-isu tersebut. Ini bukan soal persepsi, melainkan refleksi dari pengalaman keseharian warga yang semakin akrab dengan genangan air, udara kotor, bau sampah, hingga suhu ekstrem.

Darurat Sampah yang Sistemik

Indonesia kini menghadapi krisis pengelolaan sampah yang makin kompleks. Dengan produksi lebih dari 56 juta ton sampah per tahun dan hanya sekitar 39 persen yang berhasil dikelola secara aman, sisanya tersebar mencemari tanah, sungai, dan laut. Bahkan, berdasarkan proyeksi konservatif, sebagian besar tempat pembuangan akhir (TPA) akan mencapai batas kapasitasnya pada 2028. Di tengah pertumbuhan kota dan konsumerisme, manajemen sampah tidak pernah benar-benar menjadi prioritas, baik dalam alokasi anggaran maupun dalam rencana pembangunan.

Ironisnya, hampir seluruh TPA di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping. Sampah dibuang begitu saja tanpa proses pelapisan dan kontrol lingkungan yang layak. Akibatnya, polusi air tanah, udara beracun dari gas metana, dan kerusakan lanskap ekologis menjadi masalah yang terus berulang. Tak sedikit wilayah mengalami pencemaran mikroplastik yang berdampak pada ekosistem dan kesehatan manusia. Sayangnya, alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah di tingkat daerah bahkan tidak mencapai satu persen dari APBD.

Di sisi lain, terdapat harapan dari sejumlah inovasi daerah. Sistem terpadu seperti TPST Mengwitani di Bali membuktikan bahwa sinergi antara pemerintah pusat dan daerah mampu menciptakan pengelolaan yang modern dan ramah lingkungan. Sistem ini dapat direplikasi, terutama di kawasan padat penduduk seperti Jabodetabek, Medan, Palembang, atau Surabaya. Namun, perbaikan infrastruktur untuk sampah harus disertai regulasi kuat dan partisipasi masyarakat.

Beberapa desa adat di Bali, misalnya, telah menunjukkan bagaimana aturan lokal seperti perarem mampu mengubah perilaku warga dalam memilah dan mengolah sampah dari rumah tangga. Gerakan ini menunjukkan kekuatan budaya dalam merawat lingkungan. Pemerintah perlu mendorong penyebarluasan regulasi serupa ke daerah lain, tentu dengan adaptasi nilai lokal yang tepat. Lebih dari itu, penanganan sampah di sungai-sungai besar seperti Citarum dan Ciliwung menuntut kolaborasi aktif antara pemerintah, TNI/POLRI, akademisi, dan masyarakat sipil.

Banjir dan RTH yang Terpinggirkan

Banjir masih menjadi ancaman musiman yang mengintai banyak kota besar. Hujan yang turun beberapa jam saja sudah cukup menenggelamkan perkampungan, merusak barang, dan memperlambat aktivitas ekonomi. Namun, banjir bukan sekadar soal intensitas hujan. Masalah utamanya adalah penyumbatan saluran air oleh sampah, penyusutan wilayah resapan, dan tata kota yang gagal memahami prinsip ekologi. Tak sedikit pompa air yang tidak berfungsi atau penyaringan yang tersumbat akibat minimnya pengawasan.

Langkah teknis seperti normalisasi drainase dan pembangunan urban wetland perlu dikedepankan. Kawasan-kawasan pinggiran yang masih memiliki ruang terbuka dapat dijadikan zona resapan alami sekaligus area konservasi. Selain itu, revitalisasi ruang terbuka hijau harus menjadi prioritas. RTH tidak boleh lagi sekadar menjadi wacana dalam rencana tata ruang, tetapi menjadi elemen nyata dalam ekosistem kota yang sehat. Di tengah suhu kota yang terus naik, RTH juga berperan sebagai penyejuk dan paru-paru kota.

Hutan Adat dan Keberlanjutan yang Tergerus

Salah satu ironi besar dalam pembangunan adalah terusiknya hak masyarakat adat atas hutan dan tanah ulayat mereka. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mencatat, sekitar 28 juta hektar wilayah adat masih tumpang tindih dengan hutan negara. Ketika proyek energi, tambang, atau sawit masuk tanpa proses konsultasi yang memadai, yang terjadi bukan hanya kerusakan lingkungan, melainkan juga kekerasan struktural terhadap budaya lokal.

Kasus perampasan tanah adat di Halmahera Timur oleh perusahaan tambang nikel, misalnya, memperlihatkan betapa mudahnya hak adat dikalahkan oleh izin usaha. Pemerintah memang telah membentuk Satgas Penetapan Hutan Adat pada 2025, namun sejauh ini belum ada langkah signifikan yang membuahkan pengakuan legal atas hutan-hutan adat secara luas. RUU Masyarakat Adat pun masih terkatung tanpa kejelasan politik.

Pengesahan undang-undang yang mengakui hak masyarakat adat perlu segera diwujudkan. Ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga soal keberlanjutan lingkungan. Pengetahuan lokal dalam merawat hutan terbukti lebih efektif daripada banyak skema konservasi formal. Negara harus menyediakan insentif berbasis komunitas untuk mendorong konservasi berbasis kearifan lokal dan mencegah praktik green grabbing berkedok investasi hijau.

Alih Fungsi Gunung dan Monopoli Energi

Alih fungsi gunung menjadi destinasi wisata dan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit masih menjadi praktik yang sulit dibendung. Dengan dalih pembangunan dan peningkatan ekonomi, kawasan-kawasan rawan bencana dan kaya keanekaragaman hayati diubah menjadi area yang padat aktivitas manusia. Belum lagi proyek food estate dan tambang di wilayah ekosistem karst dan pegunungan yang justru memperparah degradasi lingkungan.

Model pembangunan seperti ini sejatinya merupakan bentuk kolonisasi ekologi. Ia mengutamakan pertumbuhan jangka pendek tanpa mempertimbangkan daya dukung alam dan ketahanan komunitas lokal. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan ruang hidup, suhu ekstrem meningkat, dan siklus hidrologis terganggu.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proyek yang mengubah lanskap hutan dan gunung. Tata ruang harus diperketat dan AMDAL tidak boleh menjadi formalitas administratif. Lebih dari itu, transisi energi dari fosil ke energi terbarukan harus menjadi komitmen nasional. Ke depan, pembangunan pariwisata dan pertanian harus berbasis keberlanjutan, bukan eksploitasi.

Momentum Menuju Solusi Nasional

Kesadaran publik sebagaimana tercermin dalam survei PP17 tidak boleh diabaikan. Ini adalah panggilan untuk perubahan arah kebijakan. Revisi Undang-Undang Pengelolaan Sampah harus menjadi langkah awal. Pemerintah juga perlu memperkuat Gerakan Desa Peduli Sampah sebagai motor penggerak dari akar rumput. Pendidikan lingkungan di sekolah dan kampus harus diperkaya, bukan sekadar menjadi mata pelajaran pelengkap.

Di sisi lain, status hutan adat perlu ditetapkan melalui mekanisme yang adil dan partisipatif. Penetapan ini harus bersifat permanen, tidak bisa dibatalkan oleh perubahan rezim atau tekanan korporasi. Target Indonesia Bersih 2025 bukan hanya slogan, tetapi harus menjadi platform nyata untuk menumbuhkan kesadaran kolektif dan memperkuat ekosistem sosial yang mendukung perubahan.

Penutup: Keadilan Ekologis sebagai Pilar Masa Depan

Krisis lingkungan bukan semata-mata krisis alam, melainkan krisis etika dan politik pembangunan. Kegagalan dalam mengelola sampah, membendung banjir, melindungi hutan adat, dan menghentikan alih fungsi lahan adalah kegagalan dalam merumuskan keadilan ekologis sebagai dasar pembangunan bangsa. Kita tidak bisa terus hidup dalam ilusi bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dikejar tanpa batas di atas kerusakan ekosistem.

Pemerintah harus segera merancang peta jalan nasional yang memuat komitmen kuat untuk mengelola lingkungan secara modern dan partisipatif. Masyarakat harus didorong untuk terlibat secara aktif. Tanpa itu semua, negeri ini akan terus terjebak dalam siklus bencana yang berulang.

Indonesia harus bergerakβ€”tidak hanya cepat, tetapi juga bijak. Sebab, masa depan negeri ini bukan hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa hari ini, melainkan oleh siapa yang menjaga bumi ini esok hari.

Randi Syafutra, Dosen Prodi KSDA Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads