15 Agustus 2025 ini tepat 20 tahun perdamaian bersemayam di 'Bumi Serambi Mekah', Aceh. Kala itu, rakyat larut bersimbah air mata setelah RI-GAM menggores tinta emas yang mengakhiri perang selama tiga dekade sejak 1976. Nota kesepahaman untuk berdamai yang kemudian lebih popular disebut 'MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki', Finlandia.
Klausul MoU menyebutkan Aceh harus memiliki UU Pemerintahan yang khas paling lambat 31 Maret 2006. Padahal RUU baru masuk ke DPR 27 Januari 2006 dan 10 hari kemudian baru dibacakan di sidang paripurna untuk kemudian dibentuk Pansus-nya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Draf RUU ini awalnya dipersiapkan beberapa versi. Ada versi DPR Aceh yang melibatkan tiga perguruan tinggi negeri di Aceh, Kementerian Dalam Negeri, lembaga swadaya masyarakat, kelompok perempuan, dan GAM.
Naskah itu kemudian masuk ke Komisi II DPR dan sempat berubah hingga enam kali, termasuk melakukan kompromi-kompromi tajam, terutama pada isu sensitif, seperti syariat Islam, wali Nanggroe, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, partai politik lokal, dan bagi hasil pengelolaan migas.
Akhirnya pada 11 Juli 2006, MoU tersebut diturunkan dalam wujud Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang terdiri dari 40 Bab dengan 279 Pasal. UU PA ini memberikan Aceh hak otonomi yang jauh lebih luas dibanding daerah otonomi khusus lainnya seperti Papua atau Yogyakarta. Ini termasuk, kewenangan legislasi lokal: Aceh dapat membuat Qanun (peraturan daerah khusus) yang mengatur urusan lokal, termasuk penerapan syariat Islam.
Begitu juga sistem politik lokal, Aceh berhak memiliki partai politik lokal sendiri, satu-satunya di Indonesia. Kemudian, pengelolaan sumber daya alam, Aceh memperoleh porsi lebih besar dari hasil migas dan sumber daya lainnya.
Persetujuan pasal demi pasal berlangsung mulus, tanpa voting, meski Fraksi PDI Perjuangan sebagai satu-satunya oposisi pemerintah tak menyetujui MoU Helsinki.
Bagaimana Fraksi PDI Perjuangan akhirnya bersedia duduk bersama membahas Rancangan UU PA? Apa saja dasar keberatan PDIP? Siapa para pihak yang terlibat langsung dalam lobi-lobi menuju satu visi dan pemahaman terbaik bagi rakyat Aceh? Bagaimana lobi-lobi lintas fraksi berlangsung, dan berbagai lika-liku cerita di balik layar lainnya terungkap dalam buku bertajuk 'Menegakkan Damai di Serambi Makkah: Menguak Proses (Penyusunan) UU Pemerintahan Aceh'.
Buku ini diangkat dari tesis Wartawan Sinar Harapan, Suradi, di Program Studi Ilmu Komunikasi di FISIP UI tahun 2007. Judul tesisnya "Strategi Persuasi di Dewan Perwakilan Rakyat: Studi Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh". Lewat tesis tersebut, Suradi berupaya merekonstruksi proses penyusunan UU Pmerintahan Aceh yang menjadi pondasi untuk mengisi pembangunan di masa perdamaian yang abadi di sana.
Pada 3 Agustus lalu, para pegiat literasi seperti mantan Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus, Direktur Eksekutif Alinea, Deasy Tirayoh, sastrawan Kunia Effendi, wartawan senior dan penyair Idrus F. Sahab, novelis Stebby Julionatan, serta pendiri Baca di Tebet Kanti W. Janis dan Wien Muldian sempat membedah buku ini.
Sebelum isu Calon Perorangan dan Partai Lokal di Aceh disetujui semua fraksi, misalnya, Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla mengumpulkan para elit dari 10 partai untuk membahas isu ini. Dia khawatir soal ini bisa gagal, mengingat partai lokal akan menjadi saluran politik bagi eks GAM. Jika benar-benar partai lokal ditolak, Jusuf Kalla meminta partai-partai bisa menampung eks GAM untuk aktif di partai dan juga dicalonkan dalam Pilkada.
"Akhirnya semua partai bersedia menampung mantan eks GAM dengan cara menandatangi pernyataan kesediaan," tutur pengamat politik berdarah Aceh, Fachry Ali, yang menjadi salah satu sumber penulisan buku ini.
Eksistensi Partai Lokal dalam perjalanannya justru ada yang berkoalisi dengan dengan partai-partai besar yang sudah ada. Muzakir Manaf dari Partai Aceh, misalnya, menggandeng wakilnya, Fadhlullah, dari Partai Gerindra dalam Pilkada 2024.
Terkait kesediaan Fraksi PDI Perjuangan untuk ikut membahas RUU Pemerintahan Aceh, politisi PKS Nasir Djamil dalam buku ini mengungkapkan para pimpinan fraksi meyakinkan akan implikasi merosotnya suara PDI Perjuangan dalam Pemilu bila tetap ngotot menolak MoU dan tidak mau membahas RUU Pemerintahan Aceh ini.
Namun secara formal dalam pernyataannya, Fraksi PDIP menyatakan bersedia ikut membahas RUU PA karena merupakan tugas konstitusional dan untuk memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi penyelesaian masalah Aceh.
Menjelang rampungnya pembahasan RUU PA ini, pada 14 Juli 2006, Teuku Kamaruzzaman bersama tim perumus RUU PA usulan GAM, Faisal Putra, menggelar jumpa pers di Gedung DPR. Dia menilai, RUU PA yang akan disahkan itu secara substansial melenceng dari MoU Helsinki dan harus diperbaiki.
Pihak GAM mencatat ada 10 materi yang tidak sesuai dengan MoU, antara lain soal Kewenangan pengelolaan minyak dan gas, Kewenangan melakukan pinjaman ke luar negeri, dan Pengadilan HAM Aceh wajib dibentuk dalam batas setahun setelah RUU disahkan. Mereka berkirim surat kepada Presiden SBY agar UU itu segera direvisi karena belum sesuai dengan semangat MoU Helsinki secara komprehensif.
Revisi UU PA
Mengingat buku ini berasal dari tesis yang dibuat pada 2007, idealnya penulis memberikan sejumlah update untuk memperkaya materi sehingga lebih kontekstual dengan kondisi terkini. Apakah pasal-pasal dari UU yang dihasilkan terlaksana secara optimal atau tidak? Apakah dana Otonomi Khusus berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh selama era damai?, dan lain-lain.
Pemberian Dana Otsus diharapkan menjadi pendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di daerah Otsus. Sesuai UU Pemerintahan Aceh, sejak 2008 sampai 2022, besaran dana otsus yang diterima Aceh dari Pemerintah Pusat sebesar 2 persen dari total Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Besarannya mulai berkurang menjadi satu persen dari total DAU nasional sejak 2023 sampai 2027.
Baca juga: Dari Pusaka Sakti ke Bupati Pati |
Menurut Penjabat Sekretaris Daerah Aceh, Azwardi total nilai dana otsus yang dikucurkan berada di kisaran angka Rp 100 triliun. Dana yang sangat besar sebetulnya untuk membangun berbagai infrastruktur dasar di Aceh. Namun apa yang terjadi di lapangan? Besarnya implementasi dana otsus tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan dan menguatnya modal sosial Aceh.
Bahkan yang memprihatinkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi pada 3 Juli 2018 malah ditangkap KPK terkait suap-menyuap dana otsus. Keduanya terjerat hanya satu tahun setelah terpilih melalui pilkada yang demokratis.
Selain itu, menurut dosen Universitas Malikussaleh Aceh Teuku Kemal Fasya, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera (15,53 persen), ranking ketiga kelahiran bayi tengkes (stunting) nasional, ranking ke-24 nasional tingkat kelulusan di perguruan tinggi negeri, pengangguran terbuka menganga pada 6,3 persen, dan lain-lain.
Barangkali berdasarkan evaluasi semacam itulah, pada 24 Juni lalu Pemerintah Aceh bersama pimpinan DPR Aceh menyampaikan draf revisi UU PA kepada Badan Legislasi DPR-RI. Revisi tersebut selain untuk mengakomodasi amanat MoU Helsinki, juga menjawab tantangan kekinian dalam pelaksanaan otonomi khusus Aceh.
Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada, keberadaan buku ini setidaknya menyodorkan semacam rekonstruksi bahwa perdamaian yang kini tercipta di Aceh melalui lika-liku kompromi dari rimba raya ke ruang perundingan di parlemen. Ada tolak tarik untuk mewujudkan kesepakatan. Ada banyak pihak yang berkiprah dalam penyusunan UUPA, juga tak sedikit yang tidak tercatat dalam lembaran sejarah.
Merujuk catatan pengantar dari jurnalis senior asal Aceh, Murizal Hamzah, paparan dalam buku ini memberi roh pentingnya duduk bersama untuk berdialog, merawat perdamaian dan keberlanjutan perdamaian. Ibarat perkawinan, bulan madu perdamaian RI-GAM sudah berakhir. Kini memasuki masa krisis setelah harapan-harapan perdamaian yang ditaburkan pada 20 tahun masih menjadi tanda tanya atau masih berproses menuju masyarakat yang makmur, adil, sejahtera dan bermarwah.
Judul buku: Menegakkan Damai di Serambi Mekkah: Menguak Proses UU Pemerintahan Aceh
Penulis: Suradi, MSi
Terbitan: Agustus 2025
Tebal: 228 halaman
Simak juga Video: Gubernur Muzakir Manaf Usai 4 Pulau Dikembalikan: Aceh Aman Damai