Beberapa hari ke belakang, muncul sebuah diskusi di media sosial yang berkembang tentang survei yang dilakukan oleh BPS pada 2018 terkait biaya transportasi warga di beberapa kota. Dari Survei tersebut Kota Bekasi jadi kota dengan biaya transportasi per orang per bulan yang paling yakni Rp.1.918.142, disusul Depok, Surabaya, Jakarta dan Bogor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah tarif ojek online, biaya parkir tambahan dan transportasi penghubung. Dalam wawancaranya pada detikcom, Dirjen Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub Risal Wasal, mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah first mile dan last mile yang tidak bagus.
Permasalahan first mile dan last mile ini menjadi kunci yang sangat penting untuk menghasilkan transportasi publik yang andal. Jangan membayangkan Jakarta semata dengan cakupan layanan JakLingko dan Mikrotrans yang luas, lalu menyimpulkan kehadiran ojek online tak lagi penting.
Di wilayah penyangga, kualitas dan ketersediaan angkutan mikro belum merata. Di sana, ojek online berperan memastikan keterhubungan warga ke moda utama, KRL, MRT, LRT, maupun BRT.
Menggantungkan kebutuhan transportasi pada moda transportasi online memang bukan bentuk yang ideal, namun ini diharapkan menjadi jembatan dalam menghasilkan kebijakan transportasi umum yang dapat diandalkan oleh warga.
Jangan sampai pemerintah terlena dengan kehadiran transportasi online dan lupa pada kewajibannya menghasilkan transportasi umum yang bisa diandalkan oleh masyarakat sehingga bisa menekan biaya hidup sehari-hari.
Bukan Sekadar Moda Transportasi
Ojek online telah menjadi bagian dari ekosistem keseharian. Ia mengantar ayah ke stasiun, membantu ibu berbelanja kebutuhan rumah tangga, hingga menjadi penolong cepat saat PR anak tertinggal di rumah. Perannya melampaui fungsi "titik berangkat ke titik tujuan"; ia adalah penghubung di setiap kehidupan.
Data Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta 2024 menunjukkan, dari sekitar 20 juta perjalanan harian di Jakarta, 22,19% menggunakan transportasi umum. Dari porsi itu, 26,7%, sekitar 1,2 juta perjalanan, dilayani ojek online. Angka pengguna ojek online harian hampir setara dengan TransJakarta: 1.202.049 berbanding 1.230.545 perjalanan per hari.
Survei Litbang Kompas juga mencatat 71,7% pengguna transportasi umum memanfaatkan ojek atau taksi online untuk mobilitas harian, dari kelompok ini, sekitar 75% menggunakannya sebagai penghubung first mile dan last mile, sementara lebih dari 63% tetap memakai ojek online meski memiliki kendaraan pribadi. Gambaran ini menegaskan: ojek online adalah tulang punggung penghubung sistem transportasi kita.
Posisi ojek online saat ini terutama sebagai feeder menuju stasiun dan halte moda utama. Tidak semua kawasan memiliki layanan mikro transit seperti Mikrotrans dan angkot yang baik, hanya ojek online yang jadi andalan. Jika tarif ojek online naik, risikonya bukan sekadar berkurangnya penumpang ojek online, melainkan menurunnya minat terhadap transportasi umum secara keseluruhan. Bila itu terjadi, kemacetan berpotensi memburuk, dan cita-cita menghadirkan sistem transportasi publik yang efisien ikut tergerus.
Tarif Tinggi Ojek Online
Tarif ojek online tidak terjadi di ruang hampa. Ia terkait erat dengan kesejahteraan pengemudi, daya beli konsumen, serta keberlanjutan ekosistem transportasi dan rantai pasok perkotaan. Perubahan tarif dapat mempengaruhi biaya logistik UMKM dan belanja rumah tangga yang mengandalkan layanan kurir. Perubahan pada tarif yang diterima konsumen akan memberikan pengaruh dalam pembiayaan sehari-hari.
Kajian IDEAS menunjukkan kenaikan tarif hanya menambah pendapatan bersih pengemudi sekitar Rp8.000-Rp15.000 per hari, angka yang mudah tergerus jika permintaan turun karena konsumen berhemat atau beralih moda. Dari sisi penumpang, simulasi IDEAS memperkirakan tambahan beban pengeluaran sekitar Rp40.000-Rp75.000 per bulan, belum termasuk dampak lanjutan pada layanan antar makanan, kurir logistik, dan transaksi UMKM. Di sini, desain kebijakan perlu jujur mengakui trade-off dan mengaturnya agar tidak menimbulkan beban yang timpang.
Kebijakan pemerintah juga akan memberikan dampak secara langsung terhadap pembiayaan warga pada ojek online. Misalnya kebijakan penerapan Jalan Berbayar Elektronik, tanpa skema subsidi atau kompensasi yang tepat, beban tambahan dikhawatirkan akan jatuh pada pengemudi dan pengguna ojek online, kelompok yang tidak semuanya berasal dari kelas menengah atas, melainkan pekerja kantor dan warga berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada layanan ini.
Menuju Kebijakan yang Adil dan Berimbang
Persoalan transportasi online bukan hanya soal tarif. Relasi industrial antara pengemudi dan aplikator masih menyisakan ruang perbaikan. Status hukum ojek online sebagai moda transportasi pun belum setegas taksi online yang telah dikategorikan sebagai angkutan sewa khusus. Kepastian regulasi diperlukan agar hak dan kewajiban semua pihak, pengemudi, aplikator, dan penumpang, menjadi lebih jelas, adil, dan dapat ditegakkan.
Di atas semuanya, ada tiga pilar yang harus dijaga seimbang: kesejahteraan pengemudi, keterjangkauan bagi pengguna, dan keberlanjutan usaha aplikator. Partisipasi publik mesti bermakna, bukan seremonial. Suara aplikator, pengemudi, akademisi, dan pemerintah kerap terdengar. Sudut pandang pengguna perlu juga dipertimbangkan secara serius., sebab merekalah yang menanggung dampak langsung pada perubahan kebijakan.
Pada akhirnya, pengeluaran keluarga setiap bulan akan berpengaruh juga pada perekonomian. Jika warga lebih banyak mengeluarkan uang untuk biaya transportasi, maka berkurang juga konsumsi warga pada sektor UMKM dan konsumsi lainnya.
Oleh karena itu perlu sebuah paket kebijakan komprehensif : insentif untuk angkutan umum, perlindungan bagi pengemudi, subsidi terarah untuk first mile/last mile di kawasan rawan akses, serta standarisasi layanan yang terukur. Dengan begitu, transformasi mobilitas kota tidak menjadi kompromi yang mengabaikan kebutuhan nyata warga, melainkan lompatan yang membawa semua pihak untuk maju bersama.
Angga Putra Fidrian. Peneliti di Wamesa Consulting, Pemerhati Kota dan Transportasi Publik.
Simak juga Video: Jerit Pekerja Jakarta Pulang Pergi Kantor Tercekik Ongkos
(rdp/rdp)