Kolom

Sumur Rakyat, Dilema Kebijakan Migas Indonesia

Rifqi Nuril Huda , Rifqi Nuril Huda - detikNews
Minggu, 10 Agu 2025 09:22 WIB
Ilustrasi / Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Mada
Jakarta -

Implementasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 14 Tahun 2025, yang dijadwalkan berlaku efektif pada 3 Juli 2025, menandai sebuah titik krusial dalam dinamika sektor hulu migas nasional.

Regulasi ini, yang secara eksplisit menargetkan sumur minyak rakyat eksisting untuk dilegalisasi sembari secara tegas melarang pembukaan sumur baru, mencerminkan upaya pemerintah dalam menanggapi kompleksitas praktik pengeboran ilegal yang telah lama berlangsung.

Meskipun dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan strategis mulai dari pelestarian lingkungan dan keselamatan teknis, mitigasi konflik hukum, hingga peningkatan lifting nasional dan penerimaan negara kebijakan ini menuntut analisis kritis yang mendalam terhadap potensi manfaat dan risiko inherennya, sekaligus memicu komparasi dengan praktik negara tetangga seperti Malaysia.

Secara fundamental, kerangka kebijakan ini didasari oleh beberapa rasionalisasi yang kuat. Pertama, pemerintah berupaya mengintegrasikan aktivitas ekonomi masyarakat lokal yang telah lama bergantung pada sumur minyak, namun berada di luar koridor hukum formal.

Dengan memberikan akses legal bagi masyarakat untuk menjual minyak melalui saluran resmi, seperti Pertamina, regulasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka dan mengurangi kerentanan terhadap eksploitasi pasar gelap.

Ini adalah langkah pragmatis dalam mengakomodasi realitas sosio-ekonomi dan menekan potensi konflik horizontal yang seringkali timbul dari penertiban sumur ilegal secara represif di masa lalu.

Kedua, dari perspektif makroekonomi dan ketahanan energi, potensi kontribusi sumur rakyat terhadap lifting minyak nasional tidak dapat diabaikan. Estimasi produksi yang mencapai 15.000-20.000 barel per hari, dengan proyeksi peningkatan lifting minimal 10 ribu barel per hari, merupakan dorongan signifikan bagi upaya pencapaian target produksi migas nasional di tengah tantangan cadangan baru dan fluktuasi harga global.

Peningkatan volume produksi ini secara langsung akan berkorelasi dengan peningkatan penerimaan negara, memberikan tambahan modal bagi pembangunan nasional.

Ketiga, aspek perbaikan tata kelola dan standar operasional menjadi tujuan kunci. Skema kemitraan yang diwajibkan melibatkan BUMD, koperasi, UMKM, atau KKKS seperti Pertamina dirancang untuk memfasilitasi transfer pengetahuan dan penerapan standar Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (HSE). Skema ini adalah respons terhadap risiko lingkungan dan teknis yang melekat pada pengeboran tradisional, seperti kebocoran, ledakan, dan pencemaran.

Dengan adanya pengawasan dan pembinaan, diharapkan praktik pengeboran dapat lebih bertanggung jawab dan meminimalisir dampak negatif terhadap ekosistem. Pemberian masa transisi 4 tahun menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan penyesuaian.

Dilema Hukum, Ekologi, dan Sosial

Meskipun argumen-argumen pendukung tersebut kuat, Permen ESDM No. 14 Tahun 2025 tidak luput dari kritik dan kekhawatiran substansial yang memerlukan tinjauan cermat.

Pertama, dan mungkin yang paling krusial, adalah potensi diskrepansi hukum dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). UU Migas secara eksplisit mensyaratkan bahwa kegiatan usaha hulu migas hanya dapat dilakukan berdasarkan kontrak kerja sama.

Legalitas yang diberikan oleh Permen ESDM terhadap sumur eksisting, tanpa adanya perubahan pada kerangka UU Migas yang lebih tinggi, berpotensi menciptakan paradoks hukum.

Jika sumur yang dilegalkan tidak melalui mekanisme kontrak kerja sama sebagaimana diamanatkan UU Migas, maka secara hierarki hukum, praktik tersebut masih dapat diperdebatkan validitasnya, bahkan berpotensi dikenai sanksi pidana dan denda. Kondisi tersebut dapat mengikis prinsip kepastian hukum dan menciptakan preseden yang membingungkan dalam sistem perundang-undangan nasional, di mana peraturan di bawah undang-undang seolah-olah dapat menganulir ketentuan di atasnya.

Kedua, risiko ekologis dan insiden teknis tetap menjadi kekhawatiran serius. Meskipun ada intensi untuk meningkatkan standar HSE melalui kemitraan, implementasi di lapangan tidaklah sederhana. Studi akademik dan catatan sejarah insiden di wilayah-wilayah pengeboran rakyat (misalnya di Bojonegoro dan Aceh) mengindikasikan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap kebocoran, ledakan, dan pencemaran tanah serta air.

Tanpa pengawasan yang sangat ketat, audit berkala, dan penegakan sanksi yang tegas, risiko-risiko ini dapat termanifestasi menjadi bencana lingkungan yang berskala luas, melampaui manfaat ekonomi yang dihasilkan. Kebijakan ini dapat menjadi toleransi terhadap praktik berisiko tinggi jika aspek pengawasan dan peningkatan kapasitas tidak diimplementasikan secara komprehensif dan berkelanjutan.

Ketiga, potensi ketimpangan sosial dan konflik lokal perlu diantisipasi. Meskipun tujuannya adalah mengurangi konflik, implementasi yang tidak inklusif dapat justru memicu ketegangan baru. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa penertiban tanpa dialog seringkali berujung pada resistensi.

Jika skema kemitraan yang ditawarkan tidak adil, atau akses terhadap kemitraan tersebut terbatas hanya pada kelompok tertentu, maka masyarakat yang merasa terpinggirkan dapat memunculkan gejolak sosial. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme partisipasi yang transparan, dialog yang berkelanjutan, dan distribusi manfaat yang merata untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar mendorong kohesi sosial, bukan fragmentasi.

Pembelajaran dari Malaysia

Menarik untuk membandingkan pendekatan Indonesia ini dengan pengalaman negara tetangga seperti Malaysia dalam pengelolaan sumber daya migas. Malaysia, dengan Petronas sebagai perusahaan minyak nasional yang dominan, memiliki kerangka regulasi yang cenderung lebih sentralistik dan ketat dalam industri hulu.

Petronas memegang hak eksklusif atas semua cadangan minyak dan gas di bawah tanah Malaysia, dan semua kegiatan eksplorasi serta produksi dilakukan di bawah pengawasannya yang ketat melalui perjanjian konsesi atau Production Sharing Contract (PSC) dengan operator internasional maupun domestik.

Berbeda dengan Indonesia yang menghadapi dilema sumur minyak rakyat ilegal, Malaysia cenderung tidak memiliki fenomena pengeboran minyak rakyat berskala besar dan tidak terorganisir seperti di beberapa wilayah Indonesia.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penegakan hukum yang sangat tegas terhadap aktivitas ekstraksi sumber daya alam yang tidak berizin, serta kontrol yang kuat oleh Petronas atas seluruh rantai nilai hulu migas. Konsep "sumur minyak rakyat" dalam konteks ilegal hampir tidak dikenal dalam diskursus migas Malaysia.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada interaksi antara industri migas dengan masyarakat lokal di Malaysia. Petronas dan kontraktornya memiliki program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang kuat, berinvestasi dalam pengembangan komunitas di wilayah operasi, pendidikan, dan penyediaan lapangan kerja lokal.

Model ini berfokus pada distribusi manfaat melalui program resmi dan kemitraan legal, bukan melalui legalisasi praktik yang sebelumnya ilegal. Ini menunjukkan perbedaan filosofi dasar: Malaysia cenderung mencegah praktik ilegal sejak awal melalui regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang konsisten, sembari menyediakan saluran resmi untuk keterlibatan dan manfaat masyarakat.

Perbandingan ini menyoroti bahwa kebijakan Permen ESDM No. 14/2025 di Indonesia adalah sebuah respons terhadap kondisi unik dan tantangan historis yang berbeda. Indonesia memilih jalur legalisasi pragmatis untuk mengintegrasikan fenomena yang sudah ada, sementara Malaysia cenderung mengandalkan kontrol terpusat dan penegakan hukum yang preventif.

Pembelajaran dari Malaysia adalah bahwa kontrol regulasi yang kuat dan konsisten sejak awal dapat mencegah munculnya masalah "sumur rakyat ilegal" yang kemudian memerlukan solusi legalisasi yang kompleks. Namun, pendekatan Malaysia juga mungkin kurang mengakomodasi dinamika sosial dan kebutuhan ekonomi masyarakat lokal yang sudah telanjur berinteraksi dengan sumber daya migas secara informal.

Tata Kelola Migas Rakyat yang Berkelanjutan

Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025 dapat dipandang sebagai kebijakan transisional yang bernuansa pragmatis. Kebijakan ini berupaya menjawab tantangan kompleksitas sumur minyak rakyat dengan pendekatan yang lebih akomodatif.

Niatnya adalah menata praktik yang sudah ada, memberdayakan masyarakat, serta mengoptimalkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.

Namun demikian, keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi tantangan fundamental yang telah diuraikan. Ini mencakup resolusi dilema hukum terkait konsistensi dengan UU Migas, penguatan mitigasi risiko lingkungan dan keselamatan melalui pengawasan yang efektif dan pembinaan berkelanjutan, serta penjaminan inklusivitas sosial untuk mencegah konflik.

Masa transisi 4 tahun harus dimanfaatkan sebagai momentum krusial untuk kalibrasi, adaptasi, dan penguatan kapasitas seluruh pemangku kepentingan.

Pada akhirnya, kebijakan ini bukan sekadar tentang melegalkan sumur, melainkan tentang membangun sistem tata kelola migas rakyat yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan. Membandingkannya dengan Malaysia menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk masalah ini. Indonesia memilih jalur yang mengakui realitas lapangan, namun dengan risiko hukum dan teknis yang tinggi.

Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, masyarakat sipil, dan komunitas lokal untuk memastikan bahwa Permen ESDM ini tidak hanya menjadi solusi parsial, tetapi fondasi bagi pengembangan sektor hulu migas yang inklusif dan bertanggung jawab di masa depan. Tanpa komitmen kolektif terhadap prinsip-prinsip ini, tujuan mulia kebijakan ini berisiko tergerus oleh kompleksitas implementasi di lapangan.

Rifqi Nuril Huda. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Ketua Umum Akar Desa Indonesia.

Tonton juga video "Pertamina Dukung Penuh Pembangunan di Kawasan Rebana dari Sektor Migas" di sini:




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork