Kolom

Dua Sisi Abolisi dan Amnesti

Zuhad Aji Firmantoro - detikNews
Rabu, 06 Agu 2025 18:06 WIB
Foto: Ilustrasi hukum (fabrikasimf/Freepik)
Jakarta -

Bermula dari surat yang dikirimkan Presiden kepada DPR pada tanggal 30 Juli 2025. Surat itu memuat permintaan pertimbangan atas rencana pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada 1.116 orang terpidana, yang salah satunya adalah Hasto Kristiyanto.

Tidak butuh waktu lama, DPR segera membahas dan memberikan pertimbangan. Hasilnya, Presiden menerbitkan dua keputusan penting: Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi dan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti.

Kedua keputusan tersebut tidak mencantumkan alasan secara eksplisit dalam pertimbangannya. Namun, melalui pernyataan pers Menteri Hukum dan HAM, publik dapat mengetahui bahwa alasan yang melatari langkah Presiden adalah demi menjaga stabilitas politik dan memelihara persatuan nasional. Klaim ini bersifat politis dan abstrak, sekaligus membuka ruang tafsir dan kritik.

Tidak butuh waktu lama hingga polemik mencuat. Sebagian kalangan menolak langkah ini dengan dalih bahwa kasus korupsi, betapapun kecilnya, tidak pantas diberikan pengampunan negara. Sebaliknya, ada pula yang mendukung karena menganggap proses hukum terhadap Tom Lembong sarat kejanggalan dan telah melukai rasa keadilan publik.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst, Tom Lembong terbukti tidak memiliki mens rea dan tidak menikmati keuntungan dari perkara korupsi yang didakwakan. Hal inilah yang menjadi sumber kuat simpati masyarakat sipil terhadapnya.

Abolisi dan Amnesti di Indonesia

Amnesti dan abolisi dalam kajian hukum tata negara adalah dua bentuk pengampunan presiden selaku kepala negara yang memiliki konsekuensi hukum berbeda. Amnesti bersifat menyeluruh dan komprehensif. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, amnesti menghapus semua akibat hukum pidana terhadap penerimanya, sehingga status hukumnya seolah-olah tidak pernah melakukan tindak pidana.

Sebaliknya, abolisi bersifat terbatas, ia hanya menghentikan proses pidana. Secara doktrinal, amnesti merupakan pernyataan umum yang mencabut seluruh konsekuensi pemidanaan, sedangkan abolisi adalah instrumen penghapusan hak negara untuk menuntut, baik sebelum maupun selama proses peradilan berlangsung.

Meski demikian, abolisi tetap melindungi penerimanya secara permanen dari tuntutan hukum yang sama, sesuai prinsip ne bis in idem, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 dan Pasal 366 HIR.

Pemberian abolisi dan amnesti bukanlah barang baru dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia. Dalam sejarah republik ini, tercatat setidaknya ada sebelas Keputusan Presiden telah diterbitkan terkait pemberian amnesti atau abolisi. Jika diklasifikasikan secara tematik, terdapat tiga klaster alasan utama yang mendasari pemberian pengampunan tersebut.

Pertama, alasan rekonsiliasi nasional dan persatuan bangsa. Motif ini tampak nyata dalam kebijakan pengampunan kepada para eks-pemberontak atau pelaku separatisme yang menunjukkan iktikad kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lihat saja Keppres No. 303 Tahun 1959 (kasus D.I./T.I.I. Kahar Muzakkar), Keppres No. 2 Tahun 1964 (gerakan Republik Maluku Selatan), Keppres No. 1 Tahun 1969 (pemberontakan di Irian Barat) dan Keppres No. 22 Tahun 2005 (Anggota Gerakan Aceh Merdeka). Semua keputusan itu menjadi bentuk afirmasi politik atas pengakuan dan kesetiaan kembali terhadap konstitusi.

Kedua, alasan politik dan transisi demokrasi. Dalam era transisi dari rezim otoriter ke tatanan demokratis pasca-Orde Baru, abolisi dan amnesti dijadikan instrumen legal untuk mendukung reformasi politik, pemulihan hak asasi manusia, serta koreksi atas kriminalisasi masa lalu.

Keppres No. 80, 123, 126, 127 Tahun 1998, Keppres No. 173 tahun 1999 dan Keppres No. 91 Tahun 2000, menjadi bukti konkret dari semangat reformasi yang menjadikan hukum sebagai jalan untuk rekonsiliasi dan demokratisasi, bukan sekadar alat represi.

Ketiga, alasan keadilan restoratif dan simpati publik. Dalam kategori ini, presiden memberikan pengampunan sebagai respon terhadap kesadaran moral publik atas ketidakadilan hukum yang menimpa individu tertentu. Baiq Nuril adalah contohnya.

Dalam Keppres No. 24 Tahun 2019, Presiden memberikan amnesti karena substansi keadilan publik dianggap lebih penting daripada prosedur hukum formil yang kaku. Tom Lembong, dengan segala kompleksitas kasusnya dan dukungan simpati publik, lebih tepat ditempatkan dalam klaster ini.

Apapun alasannya, pemberian abolisi dan amnesti harus tunduk pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Norma tersebut menegaskan bahwa pengampunan negara hanya sah jika bertujuan untuk kepentingan negara. Dengan kata lain, pertimbangan utama haruslah konstitusional, bukan partisan.

Meski demikian, kita tidak dapat memisahkan abolisi dan amnesti dari dimensi politik. Pasal 14 UUD 1945 mengatur bahwa pemberian amnesti dan abolisi membutuhkan pertimbangan DPR, bukan Mahkamah Agung. Hal ini membedakannya dengan pemberian grasi dan rehabilitasi yang memerlukan pertimbangan yudisial dari Mahkamah Agung.

Pembedaan ini bukan tanpa dasar. Grasi dan rehabilitasi langsung kaitannya dengan putusan pengadilan, sehingga Mahkamah Agung sebagai representasi kekuasaan yudikatiflah yang paling tepat memberi masukan.

Sebaliknya, amnesti dan abolisi menyangkut kebijakan politik negara yang lebih luas, sehingga perlu legitimasi dari lembaga legislatif sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Perbedaan sumber pertimbangan ini menegaskan hadirnya prinsip checks and balances dalam kerangka ketatanegaraan Indonesia.

Presiden tidak bekerja dalam ruang hampa. Dalam menjalankan kewenangan luar biasanya, ia tetap terikat pada rambu konstitusi dan prinsip demokrasi. Mahkamah Agung menjaga keadilan individu, sementara DPR mengontrol keputusan politik yang berdampak luas. Dalam peta ini, peran presiden bukanlah mutlak, melainkan kontekstual, akuntabel, dan terikat pada kepentingan nasional.

Abolisi dan Amnesti dalam Perkara Korupsi

Yang membuat kontroversi kian membesar adalah karena kali ini abolisi dan amnesti diberikan dalam konteks perkara korupsi. Sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Satu-satunya peristiwa yang mirip adalah saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2010 memberikan grasi kepada Syaukani Hassan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang terpidana kasus korupsi. Namun, pengampunan tersebut berbasis pertimbangan yuridis dari Mahkamah Agung karena diberikan dalam bentuk grasi, bukan kebijakan yang memerlukan pertimbangan DPR seperti abolisi dan amnesti.

Dugaan adanya barter politik menjadi sulit ditepis dengan latar seperti ini. Waktu pengumuman Keppres tentang amnesti Hasto Kristiyanto berdekatan dengan pernyataan resmi PDIP untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.

Padahal, sebelumnya PDIP bersikap tegas untuk berada di luar pemerintahan. Sinkronisasi waktu yang nyaris sempurna ini menimbulkan spekulasi kecurigaan publik atas pengampunan ini. Semata demi persatuan, atau sekadar upaya meredam potensi resistensi politik.

Di sisi lain, publik sudah lebih kritis. Survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2024 mencatat rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR. Bahkan lebih rendah dari lembaga penegak hukum. Maka, ketika abolisi dan amnesti diberikan justru dalam perkara korupsi dan melibatkan elite partai, kecurigaan menjadi tak terhindarkan.

Pemerintah tak boleh abai terhadap gelombang kritik yang mengemuka. Apabila langkah pemberian abolisi dan amnesti ini tak diikuti dengan penjelasan publik yang memadai, bukan hanya kepercayaan kepada presiden yang akan runtuh. Tetapi juga legitimasi pemerintahan dalam agenda pemberantasan korupsi.

Apalagi, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia telah stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Tanpa kejelasan arah dan keteladanan moral dari pemimpin tertinggi negara, publik akan semakin apatis, dan demokrasi akan kehilangan fondasi etiknya.

Di tengah silang pendapat yang mencuat, perlu pula diberikan apresiasi kepada Presiden karena telah menggunakan kewenangan konstitusionalnya secara progresif dalam kasus Tom Lembong. Dalam lanskap politik yang sering kali menghindari keputusan tak populer, keberanian Presiden memberikan abolisi atas dasar keadilan restoratif dan simpati publik patut dihargai.

Namun, pada saat yang sama, pemerintah perlu jauh lebih berhati-hati dalam menjelaskan dan membuktikan dasar pemberian amnesti terhadap Hasto Kristiyanto. Tanpa transparansi yang meyakinkan, langkah ini dapat dianggap sebagai kompromi politik semata dan bukan keputusan kenegaraan. Karena itu, keberanian harus dilengkapi dengan kebijaksanaan, dan kewenangan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab di hadapan rakyat dan sejarah Bangsa Indonesia.

Zuhad Aji Firmantoro. Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia dan salah satu pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios).

Tonton juga video "Menkum Jelaskan Alasan Prabowo Beri Amnesti Hasto-Abolisi Tom Lembong" di sini:




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork