Kolom

Membaca Arah Baru Demokrasi Pasca-Palu MK

Ahmad - detikNews
Kamis, 10 Jul 2025 08:50 WIB
Ilustrasi (Foto: Freepik/freepik)
Jakarta -

Palu Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 bukanlah sekadar ketukan hukum biasa, melainkan gong yang ditabuh kencang yang menandai dimulainya babak baru reformasi sistem pemilu Indonesia.

Putusan ini merupakan intervensi yudisial yang radikal; sebuah langkah berani untuk memutus mata rantai persoalan struktural yang selama ini membebani demokrasi kita. Keputusan untuk memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai 2029 adalah sebuah rekalibrasi fundamental, dan upaya sadar untuk menjahit ulang tenun demokrasi elektoral yang carut-marut.

Selama ini, kita terjebak dalam euforia desain pemilu serentak "lima kotak" yang pada praktiknya menjelma menjadi monster pemakan anaknya sendiri, sebuah sistem yang tidak hanya rumit, tetapi juga brutal. Kita tidak bisa dan tidak boleh melupakan tragedi kemanusiaan pada Pemilu 2019, di mana ratusan pahlawan demokrasi di tingkat KPPS gugur akibat beban kerja yang melampaui batas nalar kemanusiaan. Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan alarm nyaring atas kegagalan sistemik.

Desain pemilu yang ambisius tanpa ditopang kapasitas manusia dan infrastruktur yang memadai telah melahirkan patologi serius yang mengancam integritas dan akuntabilitas proses itu sendiri. Beban tak manusiawi ini hanyalah puncak dari gunung es. Di bawah permukaan, sistem serentak telah menyebabkan kelumpuhan kelembagaan (sklerosis institusional).

Penyelenggara pemilu, yang diamanatkan konstitusi bersifat nasional dan tetap dengan masa jabatan lima tahun, dipaksa bekerja dalam ritme yang absurd. Masa jabatan mereka seolah hanya efektif dua tahun untuk menjalankan "tugas inti" pemilu, menyisakan tiga tahun periode "hampa" yang berpotensi mengikis profesionalisme dan kapasitas kelembagaan.

Jadwal yang tumpang-tindih antara tahapan pemilu legislatif-presiden dan pilkada serentak menciptakan kekacauan administratif, di mana rekrutmen badan ad hoc pilkada harus dimulai di tengah sengitnya rekapitulasi dan sengketa pemilu nasional. Dampaknya merembet hingga ke jantung demokrasi: partai politik. Partai politik pun terengah-engah karena dipaksa menyiapkan puluhan ribu calon legislatif secara instan untuk tiga tingkatan parlemen.

Alih-alih melakukan kaderisasi dan seleksi yang mendalam, mereka terdorong menempuh jalan pintas: rekrutmen transaksional. Modal finansial dan popularitas semu menjadi tiket utama, mengalahkan kompetensi dan integritas. Akibatnya, biaya politik meroket, membuka gerbang korupsi politik semakin lebar untuk sekadar "balik modal". Pelembagaan partai yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru tergerus oleh pragmatisme sesaat.

Bagi pemilih, pemilu serentak lima kotak menjelma menjadi kakofoni yang membingungkan. Isu-isu lokal yang esensial bagi kehidupan sehari-hari mereka tenggelam oleh deru isu nasional. Pemilih mengalami kejenuhan, kesulitan mencerna ribuan nama dalam tiga surat suara legislatif yang kompleks, yang tercermin dari tingginya angka suara tidak sah. Demokrasi pun tereduksi menjadi sekadar ritual prosedural, gagal menjadi instrumen untuk artikulasi kepentingan lokal dan evaluasi kinerja wakil rakyat secara jernih.

Napas Baru Politik Lokal

Dalam konteks inilah, Putusan MK hadir sebagai antitesis. Pemisahan pemilu nasional dan daerah adalah resep yang diracik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kronis tersebut. Tujuannya jelas: menyederhanakan proses bagi pemilih, mengembalikan kewarasan beban kerja penyelenggara, dan yang terpenting, memberikan panggung yang layak bagi politik lokal.

Dengan jadwal yang terpisah, pemilu daerah dilaksanakan 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional, memuat harapan besar bahwa diskursus politik akan menjadi lebih relevan dan substantif. Partai dan kandidat di daerah tidak bisa lagi sekadar "nebeng" popularitas figur nasional. Mereka dipaksa untuk berbicara tentang masalah nyata di daerahnya: jalan rusak, kualitas pendidikan, layanan kesehatan, hingga potensi ekonomi lokal. Ini adalah jalan untuk menggeser demokrasi dari sekadar prosedur lima tahunan menuju demokrasi substantif yang bertujuan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Lebih dari itu, pemilu daerah yang terpisah berpotensi menjadi mekanisme checks and balances yang lebih dinamis. Ia bisa menjadi saluran koreksi rakyat di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dirasa tidak sesuai dengan konteks lokal. Di tengah realitas kemajemukan Indonesia, di mana praktik penyeragaman kebijakan terbukti seringkali gagal, penguatan politik lokal melalui pemilu yang fokus adalah sebuah keniscayaan. Ia dapat mendorong desentralisasi yang lebih fungsional, melahirkan klaster-klaster ekonomi baru dari rahim otonomi daerah yang selama ini belum sepenuhnya terwujud.

Pekerjaan Rumah Legislator

Namun, putusan MK bukanlah tongkat sihir. Melainkan, pembuka pintu dari pekerjaan berat menanti di baliknya. Mahkamah secara sadar menyerahkan "rekayasa konstitusional" terkait masa transisi kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah), sebuah pekerjaan rumah yang maha penting dan penuh jebakan.

Tantangan utamanya adalah bagaimana mengatur masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 untuk mencegah kekosongan kekuasaan dan krisis legitimasi. Pengalaman penunjukan penjabat kepala daerah dan perpanjangan masa jabatan di masa lalu harus menjadi pelajaran berharga. Transisi ini harus dirancang dengan presisi dan kehati-hatian.

Tantangan lainnya adalah menjaga harmonisasi dan sinergi program pembangunan pusat-daerah. Jadwal pemilu yang terpisah memang berpotensi melahirkan "kohabitasi politik", situasi di mana konstelasi politik nasional berbeda dengan daerah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menciptakan disonansi kebijakan dan menghambat laju pembangunan.

Karena itu, langkah paling mendesak saat ini adalah segera melakukan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, idealnya melalui metode kodifikasi yang bukan sekadar formalitas hukum, melainkan prasyarat untuk menciptakan kepastian hukum, menyelaraskan nomenklatur dan kewenangan penyelenggara, serta membangun fondasi sistem pemilu yang solid dan koheren untuk jangka panjang.

Akhirnya, putusan MK ini harus kita baca sebagai momentum untuk berhenti menjadikan kebijakan pemilu sebagai ajang coba-coba yang tentatif. Artinya, Indonesia membutuhkan desain pemilu yang strategis, terukur, dan pasti, yang kompatibel dengan kondisi objektif bangsa.

Keberhasilan implementasi putusan ini akan menjadi cerminan kematangan politik kita dalam bergerak menuju konsolidasi demokrasi substantif yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Tujuan luhurnya, bagaimana membangun peradaban politik yang berkeadaban, di mana pemilu menjadi instrumen efektif untuk melahirkan pemimpin transformatif yang mampu mewujudkan cita-cita konstitusi.

Palu MK telah diketuk, kini giliran para legislator menunjukkan kenegarawanannya.

Ahmad Suhaimi. Peneliti di Institute for Transformative Research on Sustainability and Religios Action (INTIRA)




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork