Langkah Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus-kasus korupsi bernilai besar belakangan ini patut mendapat perhatian dan dukungan. Salah satu yang terbaru adalah penanganan perkara dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan Grup Wilmar. Di tengah proses hukum yang masih berjalan hingga tingkat kasasi, Kejaksaan telah mengumumkan bahwa negara berhasil menerima kembali dana sebesar Rp11,8 triliun sebagai bagian dari pemulihan kerugian negara.
Tentu saja, publikasi semacam ini menimbulkan berbagai reaksi. Sebagian menilai Kejaksaan sedang menunjukkan keseriusannya dalam memberantas korupsi, sementara sebagian lainnya justru memandang sinis dan mencurigai ada upaya mencari popularitas di balik langkah-langkah tersebut. Pandangan terakhir ini menurut saya keliru dan cenderung menyederhanakan kompleksitas kerja penegakan hukum dalam sistem demokrasi yang terbuka.
Perlu ditegaskan bahwa keterbukaan informasi bukanlah semata-mata soal strategi komunikasi, melainkan merupakan elemen penting dalam prinsip akuntabilitas lembaga penegak hukum. Dalam negara hukum yang sehat, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh institusi negara, terutama ketika menyangkut perkara besar yang berdampak pada keuangan negara. Keterbukaan ini justru menjadi instrumen penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindarkan lahirnya spekulasi atau kecurigaan yang tidak berdasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Transparansi terhadap proses hukum, termasuk dalam hal pengembalian aset atau uang negara, bukan berarti mendahului putusan pengadilan. Selama dilakukan secara proporsional dan disertai penjelasan bahwa proses hukum masih berlangsung, hal tersebut dapat dipahami sebagai bentuk tanggung jawab institusional kepada publik. Jika tidak dilakukan, risiko munculnya keraguan terhadap integritas proses hukum justru lebih besar. Masyarakat bisa bertanya-tanya: benarkah ada pengembalian dana? Ke mana uang itu? Apakah perkara ini benar-benar ditangani serius?
Dalam beberapa kasus, publikasi penegakan hukum memang bisa menimbulkan persepsi beragam. Namun kita tidak bisa menilai semuanya dari kacamata skeptis. Ada konteks yang lebih luas yang perlu dipahami, yakni bagaimana sebuah institusi mencoba membangun legitimasi melalui transparansi. Di tengah tingginya ekspektasi publik terhadap pemberantasan korupsi, Kejaksaan tampak berusaha menjawabnya dengan langkah konkret dan terbuka.
Apa yang dilakukan Kejagung saat ini juga selaras dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas yang menyentuh akar persoalan. Presiden telah menegaskan pentingnya penegakan hukum yang berani, menyasar praktik-praktik korupsi triliunan rupiah yang merugikan rakyat secara sistemik. Dukungan politik dari pucuk pimpinan negara terhadap Kejagung dalam kasus-kasus bernilai besar seperti ini menjadi sinyal kuat bahwa penegakan hukum tidak boleh tebang pilih, dan tidak tunduk pada tekanan kelompok manapun.
Adanya pengawasan publik terhadap proses hukum bukan sesuatu yang perlu ditakuti, justru harus dilihat sebagai bagian dari mekanisme demokrasi. Selama Kejaksaan tetap bekerja berdasarkan prinsip-prinsip hukum, dan proses pengadilan tetap berjalan sebagaimana mestinya, maka penyampaian informasi kepada masyarakat semestinya dinilai sebagai langkah positif.
Namun demikian, agar semangat transparansi ini tidak disalahartikan, Kejaksaan Agung juga perlu terus memperkuat pendekatan edukatif dalam setiap publikasinya. Penjelasan kepada publik harus menyertakan konteks yuridis yang jelas: bahwa pengembalian dana bukanlah bentuk penghukuman, dan bahwa asas praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi selama proses hukum berlangsung. Dengan begitu, publik tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga pemahaman yang utuh mengenai tahapan dan logika hukum yang sedang dijalankan.
Lebih jauh lagi, Kejaksaan dapat mendorong kolaborasi dengan akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun literasi hukum publik. Edukasi yang tepat akan memperkuat kepercayaan jangka panjang dan memperkuat legitimasi institusi hukum itu sendiri. Ini sekaligus menjadi bagian dari ekosistem penegakan hukum yang sehat-bukan hanya keras kepada pelaku, tapi juga cerdas dalam menjelaskan keadilan kepada rakyat.
Keterlibatan publik dalam pengawasan terhadap jalannya proses penegakan hukum menjadi sangat diperlukan manakala kompleksitas kasus yang ditangani menghadapi kekuatan-kekuatan jaringan para pelaku yang terlibat. Institusi Kejagung perlu melakukan langkah-langkah dialogis yang demokratis edukatif agar stigma politisasi kasus dan kriminalisasi para pelaku yang selama ini merasa sebagai korban dapat dihilangkan. Dengan demikian, jalannya proses penegakan hukum tidak terganggu oleh ulah para pelaku kejahatan yang memiliki kekuatan finansial dan network, yang kerap berupaya memutarbalikkan fakta-fakta hukum dengan merekayasa informasi untuk membangun opini untuk kepentingan sendiri di tengah publik yang minim pemahaman hukum.
Kita patut mengapresiasi keberanian Kejaksaan Agung dalam menempuh jalur ini. Di tengah tantangan dan tekanan yang tak kecil, mereka tetap memilih untuk membuka proses kepada publik, memulihkan kerugian negara, dan tidak menyembunyikan apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat untuk tahu. Ini bukan soal popularitas sesaat, melainkan bagian dari upaya membangun kepercayaan jangka panjang melalui keterbukaan dan tanggung jawab institusional.
Trubus Rahardiansah. Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti.
Lihat juga Video Prabowo Panggil Bos Danantara, Tekankan Transparansi-Akuntabilitas