Di tengah-tengah proses tahapan pencalonan, Pilkada 2024 diiringi berbagai drama, kejutan, dan turbulensi politik hingga menimbulkan chaos di berbagai daerah, khususnya di Jakarta. Imbas dari itu semua, berpotensi mengancam tingkat partisipasi pemilih, khususnya pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta.
Banyak faktor yang menjadi pemicu munculnya sinyalemen penurunan partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta. Pertama, sebagai reaksi ketidaksukaan publik terhadap cengkeraman politik kartel, hegemoni partai politik (parpol), maupun indikasi intervensi atau cawe-cawe penguasa terhadap proses kandidasi. Selain juga makin menguatnya pragmatisme sejumlah parpol yang bersedia berkolaborasi dengan penguasa karena kemungkinan iming-iming mendapat posisi menteri di pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Kedua, sebagai ekspresi kekecewaan publik, khususnya pendukung Anies Baswedan yang batal diusung Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Ataupun, PDI Perjuangan yang dikabarkan di injury time akan mendukung Anies, namun ternyata juga urung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indikator ancaman terhadap partisipasi pemilih sudah terlihat saat Partai Nasdem menggelar Kongres ke III di Jakarta, Minggu (25/8) yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Namun kehadiran Presiden justru disambut dengan teriakan nama Anies Baswedan. Lalu mundurnya sebanyak 28 anggota Dewan Pakar PKS pada Senin (26/8) sebagai ekspresi kekecewaan atas sikap politik PKS yang urung mencagubkan Anies.
Hal sama juga dialami Cagub Ridwan Kamil saat berkunjung ke makam Mbah Priok pada Minggu (1/9), justru disambut warga dengan yel-yel "hidup Anies".
Merebaknya Golput
Sejumlah pakar politik menyebut fenomena atau realitas politik semacam itu sebagai bentuk dari perilaku golongan putih (golput). Golput sendiri banyak variannya. Di antaranya golput politis, sepertui tidak menyalurkan hak pilihnya karena tidak suka dengan kesewenangan penguasa, tidak suka dengan parpol peserta pilkada, tidak suka dengan kandidat yang diusung parpol, tidak terdapat nama cagub idolanya.
Kontribusi pemilih terhadap munculnya persepsi politik yang cenderung apatis dan frustrasi dapat berimplikasi pada membengkaknya jumlah golput pada Pilgub Jakarta. Ancaman lain akibat kebijakan Pemprov Jakarta yang menonaktifkan (blokir) e-KTP warga DKI yang tidak berdomisili di Jakarta. Jumlahnya cukup besar, yakni sekitar 200 ribuan pemilih. Kebijakan tersebut hanya untuk keperluan pengurusan Kartu Jangka Pintar (KJP) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPPS), bukan untuk Pilgub.
Artinya, sepanjang warga tersebut memiliki e-KTP, tidak kehilangan hak memilih. Karena KPU DKI menerapkan prinsip de jure (e-KTP), bukan de facto (domisili), atau dua-duanya. Padahal dengan adanya pencocokan dan penelitian (coklit) terhadap pemilih, artinya sama dengan menerapkan prinsip de facto. Tapi prinsip de facto diabaikan. Sehingga kegiatan coklit yang menelan anggaran sangat besar nyaris mubazir.
Masalahnya, jika kandidasi di Pilgub Jakarta dianggap tidak menarik atau tidak menimbulkan sentimen positif bagi warga yang tinggal di luar Jakarta namun masih memiliki e-KTP DKI, warga tersebut berpotensi tidak datang ke Jakarta untuk menyalurkan hak pilihnya. Karena akan dianggap buang-buang waktu, uang, dan energi. Golput karena faktor ini bisa disebut golput politik plus kendala geografis. Kontribusi potensi golput dari faktor ini sangat besar. Jika jumlah penduduk DKI yang ber-e-KTP mencapai 200 ribu pemilih dan tinggal di luar Jakarta, minimal potensi golputnya sebanyak itu.
Penyebab lain golput berasal dari faktor Penyelenggara Pemilu, khususnya Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Yang tidak melakukan proses coklit secara door to door serta dilakukan dengan metode atau teknis tepat, yakni berbasis kartu keluarga atau e-KTP warga. Potensi golputnya terutama dari kalangan pemilih pemula yang pada 27 November genap berusia 17 tahun namun masih belum masuk pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) atau Daftar Pemilh Tetap (DPT), pemilih di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, Panti Asuhan, Rumah Sakit, apartemen, dan sebagainya. Golput semacam ini bisa disebut golput sistematis. Diperkirakan jumlahnya cukup besar.
Bentuk lain dari golput adalah karena ketidaktahuan pemilih akan adanya gelaran pilkada. Untuk daerah-daerah terpencil, mungkin saja pemilih tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena dipicu faktor tersebut. Namun untuk kota-kota besar khususnya Jakarta, secara umum masyarakat melek politik, atau mengetahui dengan baik adanya Pilgub, dan sebagian masuk kategori pemilih terdidik. Jadi kontribusi golput dari faktor ini sangat kecil.
Golput bisa juga terjadi karena alasan atau faktor teknis, yakni pemilih sudah datang ke TPS untuk menyalurkan aspirasi politiknya namun pencoblosan yang dilakukan oleh pemilih dianggap tidak sah oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Penyebabnya, karena mencoblos bukan di tempat yang seharusnya, menggunakan alat yang tidak disediakan petugas KPPS, atau mencoblos pada dua cagub yang bertarung. Jumlahnya susah ditebak, bisa saja kecil karena jumlah Cagub dan Cawagub Jakarta hanya tiga pasang. Tetapi bisa saja banyak jumlahnya, manakala kekeliruan secara teknis dalam mencoblos tersebut mengandung unsur kesengajaan karena alasan politis.
Berdampak Negatif
Sesungguhnya mempertahankan atau meningkatkan partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Dari mulai penyelenggara, parpol peserta, instansi pemerintah maupun swasta, lembaga atau aktor penggiat demokrasi, dan berbagai elemen dan komponen masyarakat lainnya yang peduli dengan Pilgub Jakarta. Semuanya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Targetnya minimal sama dengan tingkat partisipasi pada Pilgub 2017 sebesar 78%, atau Pilgub 2012 putaran kedua 68%. Syukur-syukur bisa mencapai 80%, atau bahkan lebih.
Benar bahwa hasil Pilgub Jakarta tidak tergantung pada tingkat partisipasi pemilih. Sebab, berapapun tingkat partisipasi pemilih, hasilnya akan dianggap sah, dan cepat atau lambat akan dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur terpilih. Tetapi manakala tingkat partisipasi pemilih turun dan apalagi anjlok dibandingkan dengan pilgub sebelumnya, dapat berdampak negatif pada terjadinya demoralisasi dan delegitimasi hasil Pilgub Jakarta. Muaranya bisa berdampak negatif terhadap psikologi politik pada gubernur dan wakil gubernur dan terpilih periode 2024-2029 saat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengemban amanat rakyat.
Achmad Fachrudin akademisi dan peserta Program Doktor Universitas PTIQ Jakarta
(mmu/mmu)