Fenomena Runtuhnya Petahana di Pilkada Jakarta

Pilkada Jakarta

Kenali Kandidat

Kolom

Fenomena Runtuhnya Petahana di Pilkada Jakarta

Oki Kurniawan - detikNews
Senin, 26 Agu 2024 13:23 WIB
Gubernur Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan menyambangi kantor DPD PDIP Jakarta siang ini. Anies semringah usai bertemu pengurus PDIP Jakarta jelang Pilkada Jakarta 2024.
Senyum semringah Anies Baswedan saat sambangi markas PDIP (Foto: Andhika Prasetia)
Jakarta -

Jakarta tampaknya menjadi arena pilkada yang 'angker' bagi petahana. Sejak era pemilihan langsung, belum ada calon kepala daerah petahana yang berhasil terpilih untuk periode kedua. Padahal, calon petahana memiliki banyak keuntungan dibanding calon penantang. Mereka sudah menjalankan program kerja yang dapat diklaim sebagai hasil kerjanya. Selain itu, petahana juga memiliki jaringan birokrasi serta saluran komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk 'kampanye' sebelum waktunya.

Namun, mengapa calon petahana di Jakarta seringkali kandas di pilkada? Hanya Fauzi Bowo yang berhasil menjadi Gubernur Jakarta pada Pilgub DKI Jakarta 2007, setelah sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur. Itu pun, pada Pilgub 2012, Fauzi Bowo yang berstatus sebagai gubernur petahana kalah suara dengan rivalnya, Jokowi-Ahok. Fauzi Bowo dinilai gagal dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di Jakarta. Sedangkan Jokowi hadir dengan pendekatan populis, yang saat itu disukai oleh masyarakat.

Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, pasangan petahana Ahok-Djarot juga tumbang dari pasangan Anies-Sandiaga Uno. Meski kinerja pemerintahannya dianggap baik, sejumlah kontroversi yang melibatkan Ahok saat itu turut mempengaruhi persepsi publik, yang akhirnya membawa mereka pada kekalahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa yang dialami oleh Anies Baswedan saat ini bisa menjadi hal yang tragis. Sebagai gubernur pada periode sebelumnya, dan memiliki elektabilitas tinggi di berbagai survei, tiket pendaftaran sebagai calon masih belum pasti didapat. Beberapa partai politik yang semula memberikan dukungan kepada Anies untuk maju sebagai calon gubernur, kini balik badan.

Tentu, hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi angin segar bagi Anies untuk dapat maju sebagai calon gubernur. Namun, tantangan bagi Anies masih tetap ada untuk menjadi gubernur pada periode kedua.

ADVERTISEMENT

Berkaca dari hasil Pilpres lalu, mayoritas warga Jakarta belum mendukung Anies untuk menjadi RI-1. Peroleh suara Anies di Jakarta berada di angka 41,07%, kalah tipis dengan peroleh suara Prabowo-Gibran yang memperoleh suara sebesar 41,67%.

Rakyat Penentu Utama

Kegagalan petahana menduduki kursi gubernur atau wakil gubernur Jakarta untuk periode kedua bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Seringkali kekalahan tersebut akibat dari faktor strategi politik yang kurang tepat serta lemahnya kepemimpinan. Namun, jika ditilik lebih dalam, takluknya petahana di Jakarta menjadi bukti bahwa suara rakyat menjadi penentu utama perubahan.

Demokrasi selalu memberikan pemahaman bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam situasi pilkada, ini menyiratkan bahwa rakyat memiliki kebebasan. Rakyat yang menentukan kepada siapa kepemimpinan di daerahnya akan dipercayakan.

Dalam konteks ini, teori kepengikutan (followership) yang dikembangkan oleh Robert E. Kelley menjadi relevan. Kelley (1988) menekankan bahwa pengikut memainkan peran krusial dalam keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. Menurut Kelly, gaya kepengikutan dapat diklasifikasi berdasarkan dua dimensi, yaitu dari dimensi kemandirian berpikir (independence thinking) dan dari dimensi level partisipasinya (engagement).

Kemandirian berpikir mengacu pada sejauh mana seorang pengikut mampu berpikir kritis dan tidak hanya mengikuti arahan pemimpin secara buta. Pengikut yang kritis cenderung mengevaluasi keputusan pemimpin secara independen, sementara pengikut yang tidak kritis cenderung menerima instruksi tanpa mempertanyakannya.

Dalam dimensi partisipasi, tingkat partisipasi menggambarkan seberapa aktif seorang pengikut dalam mendukung dan terlibat dalam proses yang dipimpin. Pengikut yang aktif terlibat dalam pelaksanaan tugas dan memberikan kontribusi nyata, sedangkan pengikut yang pasif cenderung menunggu arahan dan berperan secara minimal.

Dari dua dimensi ini, Kelly kemudian mengklasifikasi kepengikutan menjadi lima golongan, yaitu sheep, yes people, survivors, alienated follower, dan effective follower. Dengan melihat karakter masyarakat Jakarta yang majemuk, kritis, rasional, dan well-informed, rasanya masyarakat jauh dari golongan pengikut dengan karakter sheep ataupun yes people.

Dalam pandangan Kelly, pengikut dengan karakter sheep adalah pengikut yang pasif, juga tidak kritis. Mereka tidak memiliki inisiatif dan tanggung jawab. Sedangkan yes people merupakan pengikut yang aktif, namun tidak mampu bersikap kritis terhadap pemimpinnya. Mereka cenderung menyetujui dan mendukung semua keputusan pemimpin tanpa mempertanyakan atau memberikan masukan kritis. Meskipun aktif, mereka tidak memberikan pandangan independen.

Masyarakat Jakarta dapat dikatakan sebagai pengikut efektif (effective follower); mereka mampu untuk bersikap aktif dan berpikir kritis, mampu berpikir secara mandiri, dan memberikan kontribusi yang signifikan. Mereka tidak hanya mendukung pemimpin tetapi juga memberikan masukan yang berguna. Mereka mendukung kebijakan yang mereka anggap baik. Di sisi lain, mereka tidak takut menentang kebijakan yang merugikan.

Selain itu, masyarakat Jakarta juga dapat disebut sebagai alienated follower. Tipe pengikut ini adalah pengikut yang memiliki pemikiran yang kritis, namun bersikap pasif. Mereka memiliki pandangan yang kritis terhadap kepemimpinan, tetapi memilih untuk tidak terlibat aktif atau menyuarakan aspirasinya secara terbuka.

Masyarakat Jakarta yang sering merasa frustrasi atau kecewa terhadap kebijakan pemimpinnya, tetapi tidak mengambil tindakan untuk mengubah keadaan. Bagi masyarakat dengan tipe silent ini, pemilu menjadi momentum yang dipilih untuk mengubah keadaan. Mereka akan berpaling dari petahana dan mendukung kandidat penantang.

Menyesuaikan terhadap Ekspektasi

Setelah terpilih dalam pilkada, sang kepala daerah perlu mendefinisikan kembali siapa pengikutnya. Kini, pengikutnya bukan hanya sebatas tim sukses, yang cenderung memiliki karakteristik sebagai yes man. Tetapi sudah menjadi lebih luas, yaitu masyarakat Jakarta. Sebuah entitas masyarakat yang majemuk, juga kritis.

Jika masyarakat merasa aspirasi mereka tidak didengar atau kebijakan gubernur tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka akan berpaling ke kandidat lain yang lebih sesuai dengan harapan mereka.

Pada era demokrasi yang semakin terbuka ini, tentu kita berharap bahwa demokrasi berjalan bukan hanya pada event pemilu lima tahunan, tetapi terus berjalan dalam sepanjang masa pemerintahan. Kepemimpinan dan kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah akan terus diuji oleh masyarakat.

Dengan demikian, penting bagi seorang pemimpin atau calon pemimpin di Jakarta untuk melihat dan menyesuaikan diri terhadap ekspektasi masyarakat Jakarta. Kekalahan petahana di Jakarta menjadi pengingat bahwa dalam demokrasi, kepemimpinan bukan hanya tentang menguasai, tetapi juga tentang melayani dan beradaptasi dengan harapan masyarakat.

Oki Kurniawan analis Kebijakan di Lembaga Administrasi Negara, mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM

(mmu/mmu)



Agenda Pilkada 2024

Peraturan KPU 2/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024
2024
22 September 2024
Penetapan Pasangan Calon
25 September 2024- 23 November 2024
Pelaksanaan Kampanye
27 November 2024
Pelaksanaan Pemungutan Suara
27 November 2024 - 16 Desember 2024
Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara

Berita Terpopuler

Hide Ads