Kolom

Israel, NU, dan Gus Dur

Mohamad Guntur Romli - detikNews
Rabu, 17 Jul 2024 14:00 WIB
Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohamad Guntur Romli.
Mohamad Guntur Romli (Foto: Wildan/detikcom)
Jakarta -

Setiap kali ada kunjungan warga Indonesia ke Israel, nama Gus Dur selalu disebut. Baik disebut secara sengaja --mereka yang melawat ke Israel berdalih mengikuti langkah Gus Dur-- atau karena kunjungan Gus Dur ke Israel pada 1994 itu memang momen yang sangat bersejarah, sehingga mudah dirujuk sebagai konteks historis dalam setiap kejadian lanjutan.

Namun, yang harus dicamkan, kunjungan Gus Dur pun harus dilihat konteks sejarah pada waktu itu. Alasan "mengikuti Gus Dur ke Israel" tanpa membaca konteks sejarah saat itu merupakan pembacaan yang ahistoris sekaligus menyesatkan.

Gus Dur datang ke Israel kala itu menjawab undangan dari gelombang perubahan di tubuh elite-elite Israel yang ingin berdamai dan mengakui kemerdekaan Palestina. Gus Dur datang setelah Kesepakatan Oslo 1993 saat PM Israel kala itu, Yitzhak Rabin dari Partai Buruh yang kiri dan progresif, menandatangani kesepakatan damai bersama Pemimpin Palestina Yasser Arafat.

Artinya, Gus Dur datang untuk memperkuat kesepakatan damai tersebut, di mana baik dari kubu Israel dan Palestina sama-sama ingin berdamai dan mengakui kedaulatan masing-masing.

Momen Krusial

Pada tahun kedatangan Gus Dur ke Israel, Yitzhak Rabin, Yasser Arafat, dan Simon Peres (PM Israel sebelumnya) menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Kesepakatan damai antara Israel dan Palestina memantik kontroversi dan penolakan di internal kubu masing-masing. Di tubuh Israel, partai sayap kanan Likud menolak kesepakatan damai itu.

Setahun kemudian Yitzhak Rabin ditembak mati oleh warganya sendiri, warga Israel-Yahudi fundamentalis ekstremis, Yigal Amir, yang menentang Kesepakatan damai antara pemerintah Israel dengan pemerintah Palestina. Sedangkan, di tubuh Palestina dan Arab sendiri, Yasser Arafat juga banjir kecaman dan penolakan.

Kedatangan Gus Dur ke Israel pada momen-momen yang krusial itu, di mana ada pihak-pihak yang ingin berubah, baik di Israel maupun Palestina, yang sama-sama ingin damai tapi ada penolakan-penolakan khususnya dari internalnya, sampai-sampai nyawa taruhannya seperti yang terjadi pada Yitzhak Rabin yang menjadi martir (bahasa Arabnya: syahid) dalam upaya damai Israel dan Palestina.

Pada konteks saat ini, yang sama-sama kita tahu dan kita saksikan selama berbulan-bulan tentara Israel meluluh-lantakkan Gaza, Palestina, kunjungan apapun ke Israel, apalagi bertemu dengan pemerintahannya, tidak bisa berdalih mengikuti langkah Gus Dur, karena perbedaan konteks yang melatarbelakanginya.

Gus Dur mau datang ke Israel karena elite-elite Israel mau menghentikan permusuhan dan perang, sedangkan sekarang elite-elite Israel semakin mengobarkan permusuhan dan perang.

Gus Dur datang ke Israel bertemu dengan kubu progresif yang mau berdamai dan mengakui eksistensi Palestina, melalui Partai Buruh saat itu, dengan tokohnya Yitzhak Rabin dan Simon Peres, yang bertolak belakang dengan kondisi Israel sekarang ini yang dikuasai Partai Likud yang tidak pernah mau berdamai dengan Palestina dan mengakui Negara Palestina. PM Israel saat ini, Benjamin Netanyahu, dikenal sebagai politisi garis keras yang sangat anti Palestina.

Kalau benar-benar mau mengikuti Gus Dur, mau bertemu dengan orang Israel, pastikan mereka adalah kubu yang mau berdamai dan mau mengakui Negara Palestina bahkan berani ambil risiko dari sikap damai itu seperti Rabin dulu. Kalau tidak, buat apa? Pertemuan itu hanya menjadi propaganda sepihak dari Israel demi keuntungan mereka saja.

Presiden Israel saat ini, Isaac Herzog, memang masih terafiliasi dengan Partai Buruh. Tapi ia hanya sebagai kepala negara. Terkait kebijakan luar negeri, dalam negeri, militer, dan intelijen semuanya ada di tangan Perdana Menteri yang saat ini dipimpin oleh Netanyahu dari Likud.

Karena Israel sekarang dikuasai oleh elite-elite yang tidak mau berdamai dan tidak mau mengakui Palestina, yang selalu acuh tak acuh pada proses perdamaian, yang lebih memilih pemakaian senjata daripada datang ke meja perundingan, maka sikap keras dunia internasional terhadap pemerintah Israel saat ini harus didukung sepenuhnya.

Tekanan dunia internasional harus bisa menekan dan memaksa elite-elite Israel harus datang ke meja perundingan daripada mengerahkan serdadu-serdadu ke medang perang.

Dua Prasyarat

Gus Dur kini sudah tiada. Kita tidak bisa bertanya padanya, tapi dari kunjungan beliau paling tidak ada dua prasyarat. Pertama, dalam kondisi perdamaian. Dua belah pihak, baik Israel dan Palestina sama-sama ingin damai, maka kita bisa memberikan dukungan pada upaya damai itu.

Kedua, bertemu dan berdialog dengan pihak-pihak Israel yang memang ingin berdamai dan mengakui Palestina, kelompok-kelompok progresif, pro perdamaian, bukan politisi-politisi sayap kanan Israel yang haus darah.

Tanpa dua prasyarat tadi, maka setiap kunjungan ke Israel hanya akan dimanfaatkan propaganda kubu garis keras Israel demi kepentingan mereka saja.

Mohamad Guntur Romli santri Gus Dur dan kader NU

Simak Video 'Menyoroti LSM Advokat yang Undang 5 Nahdliyin Bertemu Presiden Israel':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork