Kolom

Menggagas Lembaga Kredit Mahasiswa

Abdul Mongid - detikNews
Rabu, 21 Feb 2024 14:30 WIB
Abdul Mongid (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Jagat pendidikan Indonesia dihebohkan oleh berita sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) terjerat pinjaman online (pinjol) Danacita. Merespons ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 Januari 2024 meminta penjelasan kepada PT Inclusive Finance Group (Danacita) terkait pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di ITB. OJK menilai tidak ada pelanggaran ketentuan, hanya masalah transparansi dan kehati-hatian yang harus diperbaiki oleh Danacita.

Berita tersebut membuka sisi lain dunia pendidikan dan sekaligus fakta akses pendidikan tinggi untuk masyarakat miskin yang sulit.

Tidak diragukan bahwa pemerintah berkomitmen serius untuk menjaga anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN). Pada APBN tahun ini sebanyak Rp 660 triliun dibelanjakan untuk sektor pendidikan dengan sasaran meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.

Sayangnya, akses pendidikan murah berkualitas untuk orang miskin masih sulit bahkan akan terus sulit jika tidak ada gebrakan baru. Perlu dilakukan kebijakan fine tuning untuk memastikan akses pendidikan yang inklusif. Jangan sampai ada kesan akses Pendidikan di era Orde Baru lebih baik karena saat itu mengedepankan kemampuan calon mahasiswa saja tanpa melihat latar belakang ekonomi dan sosial orangtua mahasiswa.

Jerat Pinjol

Bercermin dari kasus ITB dan Danacita ini, banyak pelajaran yang bisa kita ambil untuk memperbaiki akses untuk pendidikan tinggi bagi orang miskin. Menurut BPS, biaya rata-rata pendidikan tinggi dalam setahun mencapai Rp 14 juta pada 2021. Saat ini mungkin sudah naik menjadi Rp 16 juta. Bahkan kontribusi inflasi biaya pendidikan cukup besar dengan tren terus naik. Apalagi transformasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi PTN BH (Badan Hukum) yang selalu diikuti dengan kenaikan uang kuliah.

Dalam analisis biaya manfaat ditemukan kenyataan bahwa tambahan pendapatan (marginal revenue) karena pendidikan tinggi hanya meningkat 2,7 persen sementara tambahan biaya (marginal cost) naiknya 3,5 persen idealnya marginal revenue harus lebih besar dari marginal cost.

Kasus ini membuktikan kebenaran survei literasi dan inklusi keuangan OJK yaitu tingkat literasi 49,60 persen dan inklusi 85,10 persen. Kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan terbukti pada kasus Danacita-ITB. Mereka tidak sadar masuk "jebakan batman". Terbawa promosi indah, Danacita seolah "sinterklas" karena memberikan pinjaman dengan cepat dan mudah. Nyatanya Danacita adalah perusahaan yang bisnisnya membungakan uang atau rentenir online.

Harus dicegah kasus seperti di India saat puluhan nasabah bunuh diri, dikenal sebagai microfinance suicide, karena pinjaman. Adagium di kalangan orang miskin yaitu saat "kepepet" meminjam "jarum" mengembalikan "linggis" akan dilakukan harus dihilangkan.

Literasi keuangan sangat penting agar masyarakat tidak terjebak "inovasi kata-kata" untuk mengesankan bunga rendah. Istilah biaya platform dan biaya persetujuan adalah "inovasi kata-kata" yang menyesatkan. Beratnya biaya pinjaman Danacita dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut. Pinjaman dana Rp 12,5 juta dengan jangka waktu 12 bulan, angsuran pokok dan bunga Rp 1.291.667 per bulan.

Dengan mengabaikan biaya lain, bunga total sebesar Rp 3 juta atau 24% setahun. Namun jika dihitung dengan saldo rata-rata, maka bunganya adalah 43%. Artinya perusahaan pinjol ini bukan sinterklas tetapi "blood sucker". Anehnya 148 PTN dan PTS yang sudah bekerja sama dengan pengguna 27.440 peminjam dengan jumlah yang telah disalurkan Rp 376 miliar.

Skim Kredit Mahasiswa

Intinya adalah pembiayaan pendidikan mahasiswa miskin tidak bisa kita serahkan dengan mekanisme pasar (market based solution) seperti Danacita. Peristiwa ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memberikan komitmen pendidikan yang inklusif bagi masyarakat miskin.

Jumlah orang miskin saat ini 25 juta. Total penghasilan keluarga miskin di bawah Rp 2,5 juta. Artinya menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi bagaikan si pungguk merindukan bulan. Diperkirakan ada 30% dari 280 juta penduduk yang berada pada the bottom of pyramid inilah yang perlu mendapatkan dukungan untuk pendidikan tinggi khususnya vokasional.

Solusinya sebenarnya agak mudah. Saat ini Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memiliki akumulasi dana Rp 139 triliun. Selama ini pengeluaran LPDP banyak digunakan untuk membiayai mahasiswa elit yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dan umumnya berasal dari keluarga kaya. Sudah saatnya sebagian dari dana itu dialokasikan untuk menolong mereka yang berada pada the bottom of the pyramid. Tidak dalam bentuk beasiswa, tetapi pinjaman khusus.

Caranya pemerintah membentuk skim Kredit Mahasiswa Indonesia. Institusi baru yaitu Lembaga Tabungan dan Pembiayaan Pendidikan Indonesia (LTPPI). Karena LTPPI adalah lembaga spesifik, maka persyaratannya harus mengacu pada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah (MMBR), katakanlah penghasilan sekeluarga maksimum Rp 7,5 juta.

Belajar dari kegagalan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), mekanisme untuk memastikan pembayaran kembali setelah yang bersangkutan lulus harus dibuat. Integrasi dalam Sistem Biro Kredit atau Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK akan meminimumkan default karena keengganan membayar. Jika diperlukan, ada aturan setiap pemberi kerja wajib memotong sebagian dari gajinya untuk angsuran. Ini penting untuk sustainability dari program ini.

Mekanisme untuk meminimalkan gagal bayar saat ini jauh lebih mudah karena NPWP dan nomor KTP sudah menjadi satu sehingga sulit untuk mengelak. Kita berharap agar Kementerian Keuangan segera bergerak untuk pendirian Lembaga Kredit Mahasiswa. Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan membangun sistem kredit mahasiswa harus segera dilakukan dengan mengajukan Undang-Undang atau Keputusan Presiden untuk mendukung pendidikan Indonesia yang inklusif.

Bagaimana teknis opersional LTPPI kita serahkan ke pemerintah. Yang jelas lembaga ini seiring dengan semangat strategi pembangunan nasional yang inklusif dan Pasal 31 UUD 1945.

Abdul Mongid Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya (UNESA)




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork