Catatan Agus Pambagio

Evaluasi Ulang RUU Energi Baru dan Terbarukan

Agus Pambagio - detikNews
Rabu, 18 Okt 2023 15:40 WIB
Agus Pambagio (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Rencana Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) yang dibuat atas inisiatif DPR saat ini masih dalam pembahasan dengan pemerintah. Menurut pemantauan kami masih terjadi tarik ulur dalam pembahasan pasal dan ayat cukup alot dan itu tentu disebabkan oleh banyaknya aspirasi baik dari anggota DPR sendiri, pemerintah, ataupun pemangku kepentingan lain atas RUU tersebut.

Friksi sudah dimulai sejak konsep awal draft RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) berubah menjadi Energi Baru Energi Terbarukan (EBET). Perubahan tersebut dengan mudah dapat ditebak karena adanya kepentingan memasukkan EB yang pada dasarnya adalah "energi lama" yang berubah bentuk menjadi bentuk baru, misalnya batu bara tergaskan, batu bara tercairkan, dan gas metana batu bara. Jenis energi ini dimasukkan ke RUU tersebut agar mendapat prioritas penggunaannya sebagaimana ET.

Alasan utama memasukkan EB adalah untuk mengakomodasi dukungan terhadap Domestic Market Obligation (DMO) Batu Bara untuk melindungi daya beli masyarakat atas harga listrik sebagai dampak dari kenaikan harga batu bara. Padahal masuknya DMO dalam RUU EBET sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesifik dengan pengembangan ET. Juga tentu telah pula disadari bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari EB jauh lebih tinggi dibanding ET, sehingga masuknya EB dalam RUU EBET tentu akan memperlambat upaya penurunan GRK.

Pada saat yang bersamaan, Indonesia bersama International Partner Group (IPG) yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Denmark, Jerman, Italia, Prancis, Kanada, Norwegia, dan Uni Eropa menandatangani kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) saat pelaksanaan G20 Summit di Bali. Kesepakatan ini antara lain menyepakati pembatasan emisi GRK sektor pembangkitan menjadi 290 juta CO2 (sebelumnya ditetapkan 357 juta CO2).

Mengingat masih banyaknya isu terkait dengan RUU ini, di samping perubahan awal EBT menjadi EBET tersebut, hendaknya pembahasan RUU EBET mempertimbangkan ulang beberapa isu strategis terkait dengan RUU EBET sehingga tidak menjadi "telanjur" sebagaimana perubahan dari RUU EBT menjadi RUU EBET. Beberapa isu penting yang layak untuk dievaluasi ulang menyeluruh sebelum RUU disahkan; pertama, harmonisasi dengan UU lain.

RUU EBET bersinggungan erat dengan UU yang lain, yakni UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Harmonisasi RUU-EBET dengan tujuh UU lain tersebut sangat perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih atau bahkan pengaturan yang bersifat saling menghilangkan satu sama lain.

Juga adanya isu baru yang sangat berhubungan antara satu UU dengan UU lain, misalnya UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi selayaknya disesuaikan dengan perkembangan global terkait upaya dekarbonisasi di sektor energi yang sangat terkait dengan EBT dan pengaturannya di dalam RUU-EBET.

Kedua, masalah over supply. Saat ini PLN selaku BUMN satu satunya pemasok ketenagalistrikan Indonesia menghadapi masalah over supply. Satu pihak mengatakan bahwa kondisi itu akan teratasi pada 2025 atau 2026, seiring naiknya permintaan listrik karena konsumsi energi listrik per kapita Indonesia saat ini (data 2022) masih sangat rendah dibanding negara lain (1.173 KwH/th). Untuk itu perlu dipacu konsumsi listriknya, supaya over supply segera terserap.

Jika persoalan over supply masuk RUU EBET dipandang tidak tepat karena permasalahan over supply bersifat jangka pendek dan tidak sejalan dengan UU yang berlaku jangka panjang. Pihak lain mengatakan bahwa dengan berlakunya UU EBET otomatis permintaan baru atas listrik, baik dari pelanggan organik maupun non organik akan dipenuhi dari Pembangkit EBE. Artinya over supply listrik tetap akan jadi over supply. Juga karena akselerasi energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari yang seharusnya dicapai berdasarkan target bauran energi 23% pada 2025.

Ketiga, kontroversi tentang Power Wheeling (PW). Terpantau oleh Kementerian Keuangan bahwa implementasi PW tidak sejalan dengan kondisi PT PLN yang saat ini mengalami kelebihan pasokan atau over supply listrik. Badan Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menyatakan bahwa PW akan menggerus pelanggan organik PLN 30% dan Pelanggan Non-Organik 50%. Bahkan ada yang berpendapat bahwa masuknya PW karena dorongan pengusaha ketenagalistrikan swasta yang bermaksud memudahkan bisnisnya.

Dengan adanya PW berarti penyediaan ketenagalistrikan menjadi Multi Buyer's Multi Seller's (MBMS) dan produser ketenagalistrikan swasta tidak perlu investasi besar untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi. Pihak yang berbeda menyatakan bahwa kondisi over supply ketenagalistrikan tidak ada kaitannya dengan implementasi PW, lantaran kelebihan ketenagalistrikan saat ini berasal dari pembangkit eksisting yang didominasi PLTU batu bara. Sedangkan suplai listrik PW hanya berasal dari sumber energi terbarukan.

Keempat, kemungkinan tambahan beban APBN. Haruslah dicermati adanya kemungkinan tambahan beban APBN setelah berlakunya UU EBET, karena adanya pembahasan untuk memberikan wewenang bagi pemerintah pusat menetapkan harga energi baru dan energi terbarukan jika tidak tercapai kesepakatan para pihak/badan usaha (dalam hal ini PLN dan pengembang). Dalam hal ini tentunya akan berkaitan dengan pemberian dana insentif dan kompensasi pada energi baru atau energi terbarukan akibat penetapan harga oleh pemerintah pusat.

Sebaiknya Panja RUU EBET DPR mendalami secara khusus empat) isu penting di atas. Terhadap isu penting terkait RUU EBET diperlukan harmonisasi dengan UU lain. PW, over supply ketenagalistrikan dan kemungkinan tambahan beban APBN sebagaimana tersebut di atas, disarankan supaya Panja RUU EBET di DPR dengan pemerintah melakukan pendalaman lanjut serta menggali berbagai kemungkinan agar pengaturan di dalam RUU EBET memberikan manfaat bersih terbesar bagi Indonesia, antara lain sebagai berikut:

Pertama, telaah lanjut harmonisasi RUU-EBET dengan tujuh UU lainnya terkait; energi, ketenagalistrikan, sumber daya dengan kemungkinan memasukkan materi EBET pada UU yang ada saja, misalnya pada UU Ketenagalistrikan atau kemungkinan RUU EBET dan tujuh UU lainnya digabungkan menjadi satu Omnibus Law.

Kedua, pro dan kontra tentang pengaturan over supply tidak berdasar informasi ataupun pengetahuan yang sama, sehingga tidak diketahui dengan pasti berapa lama dan bagaimana solusi atas over supply yang ada. Pada intinya adalah bagaimana menyelesaikan over supply dan bagaimana solusi keuangannya. Untuk itu perlu ditetapkan kebijakan pemerintah atas penyelesaian over supply yang sudah pasti akan dipengaruhi dengan berlakunya UU EBET.

Jika UU EBET tidak mengatur cara penyelesaian over supply, karena berbagai alasan, sebaiknya tetap membuat "cantelan" pasal penyelesaiaannya. Misalnya "masalah over supply dari energi tak terbarukan akan diatur lebih lanjut dengan PP."

Ketiga, PW tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, namun juga di banyak negara. Sebaiknya dipelajari best practice dari negara-negara tersebut serta lakukan kajian yang mendalam dampak PW dari sisi: kedaulatan, keadilan, kelayakan dan dampak pada perekonomian.

Keempat, perhitungan ulang secara luas dan teliti apakah UU EBET akan menimbulkan beban baru APBN. Jika benar, maka perlu dihitung besaran tambahan bebannya serta tambahan manfaatnya. Sehingga dapat diyakini bahwa UU EBET memang memberikan manfaat bersih terbesar bagi Indonesia. Jika tidak, maka tentu harus diatur ulang pasal-pasal terkait dengan dampak biaya.

Kelima, mengingat besarnya masalah ketenagalistrikan serta dampak luasnya bagi kesejahteraan dan perekonomian nasional, diperlukan suatu badan yang secara nasional menangani kebijakan tentang ketenagalistrikan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan merestrukturisasi Dewan Energi Nasional (DEN) agar dapat berfungsi lebih efektif dan efisien dalam mendorong terjadinya transisi energi atau membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET), sehingga target-target yang diharapkan dengan adanya EBT dapat dicapai lebih cepat dan lebih baik.

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork