Ketahanan ini tidak hanya kecukupan, melainkan bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bergizi. Hal ini mengingat masih tingginya angka angka tengkes (stunting) di sejumlah daerah di negeri ini. Contohnya, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki angka prevalensi tengkes melebihi dua kali lipat standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (Badan Pusat Statistik, 2022).
Pertanyaannya, bagaimana membangun ketahanan pangan berkelanjutan di negeri ini?
Rumah Adat
Bentang geografis Indonesia yang berupa kepulauan memungkinkan negeri ini memiliki keragaman sumber daya. Salah satunya ragam komunitas suku adat beserta budayanya. Produk keragaman budaya yang secara fisik dapat ditemukan adalah rumah adat.
Sesungguhnya, ada interdependensi antara budaya lokal dan ketahanan pangan lokal. Salah satunya sistem pengelolaan pangan di Ume Kbubu, rumah adat masyarakat suku Dawan, NTT, yang kini mulai ditinggalkan. Ume Kbubu yang diwariskan secara turun temurun membawa informasi tentang sistem pangan bagi Suku Timor. Ume Kbubu hanyalah salah satu contoh rumah adat di Nusantara yang lekat dengan sistem pangan lokal.
Di negeri ini, hampir semua rumah adat didesain dengan pola interdependensi budaya dan ketahanan pangan lokal. Sebagai contoh keberadaan lumbung yang dapat ditemukan dalam setiap entitas etnis di Indonesia, mulai dari Wale di Sulawesi Utara hingga Lopo di Papua.
Umumnya, rumah adat Nusantara lahir dari arsitektur vernakular yang merupakan suatu teknologi tepat guna serta tanggap kondisi alam. Arsitektur vernakular adalah desain yang menyesuaikan iklim lokal, menggunakan teknik dan material lokal, dipengaruhi aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat (Mentayani, 2017). Penyesuaian arsitektur vernakular lokal dengan kondisi alam dan iklim lokal salah satunya ditujukan agar terintegrasi sistem pangan masyarakat setempat.
Hal ini dapat dilihat dalam sistem pengolahan, pengawetan, dan pembibitan dengan teknik pengasapan yang dilakukan oleh masyarakat suku Dawan. Masyarakat suku Dawan merujuk pada diri mereka sebagai Atoin Meto yang secara harfiah berarti 'orang dari tanah kering'. Hal ini disebabkan kondisi lahan kering dataran Timor dengan curah hujan rendah. Kondisi tersebut hanya memungkinkan masyarakat suku Dawan memiliki satu kali musim panen dalam setahun, yakni saat musim penghujan. Komoditas utama, seperti jagung, kemudian harus disimpan dan diawetkan agar dapat menjadi cadangan makanan dalam setahun.
Sistem pangan masyarakat suku Dawan tidak lepas keterkaitannya dari arsitektur vernakular Ume Kbubu yang memiliki bentuk kubah tertutup yang minim ventilasi. Alasnya berbentuk lingkaran dan ditandai dengan susunan batu yang menjadi fondasi, dikenal dengan sebutan baki. Atapnya berupa struktur kubah yang terbentuk dari struktur kayu mendatar (tak pani) dan kayu usuk yang melingkar (suaf) kemudian diselubungi dengan alang-alang yang menutupi hingga dinding Ume Kbubu.
Di dalam Ume Kbubu terdapat dua ruangan yang dibagi secara vertikal. Ruang bawah difungsikan sebagai area pengolahan makanan, area untuk istirahat juga menerima tamu. Ruang atas (tetu) berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan, dan juga penyimpanan bibit tanaman untuk musim tanam berikutnya.
Masyarakat suku Dawan mengawetkan pangan mereka dengan cara melakukan pengasapan. Jagung, kacang-kacangan dan daging se'i disimpan di atas loteng (tetu). Sistem rumah yang menempatkan loteng di atas tungku memudahkan pengasapan. Begitu pula dengan bentuk kubah yang responsif ketika cuaca sedang dingin maupun panas di Timor. Bentuk kubah juga membantu mengarahkan asap yang keluar dari tungku menuju loteng. Proses pengasapan pun semakin efektif.
Selain itu, masyarakat juga menyiapkan bibit dari hasil panen tahun ini untuk kembali ditanam tahun depan. Bibit yang telah diawetkan, dipercaya telah mendapatkan berkat atau telah didoakan oleh tiga unsur, yaitu Tuhan, Arwah, dan Alam.
Pemanfaatan Ume Kbubu dan sistem pengasapan suku Dawan juga dapat menjadi acuan pengembangan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan lokal, termasuk benih lokal, dengan pendekatan arsitektur vernakular. Hal ini penting, terutama mengingat pelestarian dan pengembangan berkelanjutan terhadap biodiversitas pangan di Indonesia saat ini tengah menjadi isu krusial.
Keseimbangan ekosistem yang rapuh, hilangnya pengetahuan tradisional, juga lemahnya hubungan interdependensi manusia dan alam telah menyebabkan penurunan berbagai spesies tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu, diperlukan pengenalan budaya dan sistem pangan yang mendalam agar kembali membentuk interdependensi antara manusia dan alam melalui pendekatan arsitektur vernakular. Hal ini dapat diwujudkan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai sumber yang kredibel.
Dengan menetapkan batasan studi yang cukup, masyarakat dapat kembali mengenal praktik-tradisi pengolahan pangan berbasis kearifan lokal yang telah melalui proses trial and error pada masa sebelumnya.
Rekontekstualisasi Lumbung
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan rekontekstualisasi arsitektur vernakular sehingga sesuai dengan nilai-nilai masyarakat modern. Rekontekstualisasi arsitektur vernakular dapat dilakukan dengan menerapkan pengetahuan dan praktik-praktik tradisi lokal dalam upaya menjaga ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya pangan.
Menggunakan arsitektur masa lalu merupakan bagian dari berpikir kembali (rethink), membentuk kembali (reform), membangun kembali (rebuilt), menemukan kembali (reinvent), mendefinisikan ulang (redefine) ataupun mengevaluasi kembali (re-evaluate) entitas masa lalu pada konteks kontemporer (Prajudi, 2012.
Bangunan adat berbasis arsitektur vernakular yang telah direkontekstulisasikan ini dapat difungsikan sebagai lumbung-lumbung pangan tradisional yang penting bagi perwujudan ketahanan pangan lokal. Selain itu, lumbung yang ada juga dapat menjadi pusat informasi dan pengetahuan pangan di tingkat lokal.
Rekontekstualisasi lumbung menjadi sebuah Bale Pangan (bale merujuk pada bahasa daerah suku Dawan yang berarti 'tempat') memiliki struktur yang fleksibel tergantung pada sistem struktur vernakular setempat. Dapat berupa pemanfaatan ruang, pemanfaatan teknik tradisional, penanaman kembali tanaman lokal, pemanfaatan limbah, kolaborasi dengan komunitas, edukasi dan pelatihan, pengenalan varietas lokal, dan konservasi sumber daya alam.
Bale Pangan dapat dimanfaatkan sebagai area publik tempat untuk memperkenalkan kembali praktik-tradisi pengolahan pangan lokal bagi masyarakat. Selain itu, Bale Pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan praktik-tradisi pengolahan, pengawetan, dan pembibitan pangan masyarakat lokal sebagai bentuk kedaulatan pangan masyarakat lokal. Dengan demikian, krisis iklim tidak lagi begitu berpengaruh pada masyarakat, karena adanya ketersediaan pangan sepanjang tahun.
Aktivitas di Bale Pangan dapat menjadi katalis bagi petani lokal untuk kembali menanam tanaman lokal, karena kembalinya interdependensi antara aktivitas masyarakat dan sumber daya pangan lokal. Hal ini juga ikut mengembalikan biodiversitas pangan lokal. Bale Pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai wadah mengkampanyekan pengolahan limbah organik bagi masyarakat, seperti sistem biopori dan eco enzyme, sehingga keberlanjutan dapat terus terjaga.
Bale Pangan dan kolaborasi dengan komunitas menjadi wadah edukasi bagi masyarakat lokal untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan praktik pertanian dan penyimpanan makanan berkelanjutan. Selain itu, balai ini juga sebagai wadah pengembangan produk berbasis lokal, seperti makanan olahan, minuman tradisional, dan rempah-rempah khas daerah yang bernilai tambah ekonomi.
Bale Pangan mencakup komunitas yang menyuarakan kedaulatan pangan, dan setiap masyarakat lokal berdaulat atas apapun yang mereka makan. Tentu pada penerapannya membutuhkan sebuah bangunan fisik yang nyata agar menciptakan tata ruang ruang dan aktivitas yang nyata di dalamnya.
Dengan demikian, Bale Pangan berbasis arsitektur lokal ini dapat menjadi awal hadirnya sistem pertanian berkelanjutan. Sistem ini berbasiskan empat pilar: layak ekonomi, teknologi adaptif, tidak merusak lingkungan dan tahan krisis iklim, serta secara sosial-budaya diterima warga (Yayasan KEHATI, 2020). Caranya, dengan membangun kembali interdependensi antara manusia dan alam melalui revitalisasi dan rekontekstualisasi arsitektur rumah adat Nusantara.
Meryana Agnesta Linome mahasiswa Arsitektur Universitas Cendana, anggota Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI
(mmu/mmu)