Ada yang berbeda dari wajah Polri hari ini. Selama ini Polri dikenal sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan penegak hukum.
Namun, di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri tampil sebagai garda terdepan dalam urusan pangan. Melalui program pangan yang diluncurkan Kapolri, mulai dari gerakan pekarangan bergizi; pemanfaatan lahan tidur; rekrutmen Bakomsus pertanian, peternakan, perikanan, gizi, dan kesehatan masyarakat; gerakan penanaman 1 juta hektar jagung; program pangan murah, program MBG dan pengawasan distribusi melalui Satgas Pangan, membuat banyak orang bertanya apakah polisi keluar jalur, atau justru sedang menemukan makna baru dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri?
Kita tahu, lapar adalah ancaman keamanan paling dasar. Sejarah menunjukkan, gejolak sosial dan kriminalitas kerap dipicu oleh kelangkaan atau mahalnya harga pangan. Ketika perut kosong, pelanggaran hukum bisa meningkat, dari pencurian hingga kerusuhan massal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Helland (2014) menyebutkan bahwa kenaikan dan gejolak pangan dapat menyebabkan secara langsung terjadinya gejolak sosial, sebagaimana yang terjadi di berbagai negara seperti Tunisia, Aljazair, Bahrain, Yaman, Yordania, dan Mesir, yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan secara luas.
Dalam kerangka itu, keterlibatan Polri di sektor pangan bukanlah keluar jalur, tetapi bagian dari strategi mencegah ancaman dari hulu.
Ancaman Pangan
Dalam upacara perayaan HUT ke-79 Bhayangkara, Presiden Prabowo Subianto menitip pesan penting kepada Polri agar berperan dalam menjaga kekayaan negara, kepercayaan rakyat dan membantu ketahanan pangan guna mendukung terwujudnya Asta Cita. Hal ini didasari pada kondisi lingkungan strategis global yang tengah mengalami guncangan serius krisis pangan sehingga menuntut seluruh elemen bangsa bergandengan tangan mendukung program ketahanan pangan nasional.
Global Report on Food Crises tahun 2024 menyebut 282 juta orang di 59 negara mengalami kerawanan pangan, bahkan 1,9 juta di antaranya dalam kelaparan akut. Di sisi lain, Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 127 negara dalam Indeks Kelaparan Global 2024.
Posisi ini menjadikan Indonesia berada pada titik rentan pangan. Sementara itu, risiko bencana membuat posisi Indonesia juga masih memiliki risiko tinggi.
Tahun 2024, kita bahkan disebut sebagai negara paling rawan bencana kedua di dunia, dengan jutaan orang terdampak cuaca ekstrem dan gagal panen. Ini menjadi catatan serius sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, program pangan yang digerakkan oleh Polri menjadi sangat penting. Dengan infrastruktur organisasi yang matang, dari pusat hingga desa, keberadaan Polri dalam program pangan menemukan urgensinya.
Hal ini semakin diperkuat melalui Satgas Pangan Polri yang mampu membongkar kasus beras oplosan dan beras tak sesuai standar mutu dengan kerugian masyarakat mencapai Rp99,35 triliun. Angka fantastis ini mencerminkan betapa seriusnya kejahatan pangan yang selama ini merugikan rakyat.
Langkah Polri ini patut diapresiasi sebagai terobosan penting yang menjadikan Polisi sebagai penjaga hukum dan kehidupan rakyat.
Berbagai langkah strategis ini memperlihatkan bahwa Polri berusaha membaca dinamika ancaman secara lebih luas, mendalami akar persoalan, dan juga faktor-faktor sosial yang berpotensi mengguncang stabilitas nasional. Di sisi lain, keterlibatan Polri di sektor pangan juga menuntut konsolidasi internal guna memperkuat konsistensi, kapasitas, dan integritas.
Tanpa konsolidasi internal yang kuat, program pangan bisa saja berhenti sebagai seremonial prosedural, bahkan berisiko membuka celah baru bagi penyalahgunaan kewenangan. Maka, di sinilah reformasi Polri harus diarahkan untuk memperkuat fungsi dan perannya.
Memperkuat Peran Polri
Keterlibatan Polri dalam memperkuat sektor pangan sejalan dengan praktik di berbagai negara. Banyak negara menempatkan Kepolisian dalam mendukung keamanan pangan. Di Italia misalnya, memiliki Carabinieri NAS (Nuclei Antisofisticazione e SanitΓ ), unit kepolisian khusus yang menyelidiki pemalsuan dan penyimpangan pangan.
Di Inggris, ada National Food Crime Unit (NFCU) yang diberi kewenangan investigasi untuk mencegah dan mengungkap kejahatan pangan. Di Amerika Serikat, Office of Criminal Investigations (OCI) menjadi lengan penegakan hukum untuk produk pangan.
Namun di tengah penguatan fungsi ini, dinamika politik nasional justru memunculkan arus yang mencoba menggoyang institusi Polri. Pasca demonstrasi 25-29 Agustus, wacana reformasi Polri kembali mencuat yang menyasar pada pembongkaran struktur Polri. Permasalahan yang dihadapi internal Polri memang nyata, dan untuk itu kritik harus tetap hidup. Akan tetapi membongkar struktur justru hanya menguras energi tanpa menyentuh akar masalah.
Pembongkaran struktur internal Polri tidak dapat dilihat dengan kacamata sempit, karena kebijakan tersebut tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan, "Jangan setiap ada kasus terus muncul ide membongkar struktur. Bahwa harus ada yang dibenahi itu lebih pada fungsinya, lebih baik semua dikonsolidasikan, tidak asal membongkar struktur yang sudah ada."
Untuk itu, yang dibutuhkan saat ini adalah dukungan terhadap transformasi Polri agar dapat menjalankan konsolidasi terhadap penguatan fungsi, profesionalisme, dan integritas. Di tengah kompleksitas tantangan global dan agenda pembangunan nasional, negara membutuhkan Polri yang solid dan kuat.
Oleh karena itu, publik seharusnya mengarahkan energi pada dukungan terhadap agenda reformasi Presisi yang digagas Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Reformasi yang berbasis prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan adalah jalan tengah untuk memperbaiki kelemahan tanpa merusak fondasi institusi.
Kini saatnya publik menempatkan energi yang lebih konstruktif dengan mendorong penguatan pada peran Polri. Di saat Polri berani masuk ke sektor pangan untuk mengantisipasi ancaman krisis, dukungan publik menjadi penting agar upaya ini tidak terhenti di tengah jalan.
Membongkar struktur tanpa arah hanya akan menguras energi bangsa, melemahkan institusi, memperlambat daya gerak, dan membuka celah baru lahirnya krisis. Sebaliknya, menguatkan fungsi dan mendukung konsolidasi internal adalah cara paling nyata untuk memastikan Polri semakin Presisi dalam mengemban tugas.
Dari pada memperdebatkan perlu tidaknya struktur Polri dirombak, lebih baik fokus pada bagaimana kita mendukung fungsi Polri dijalankan secara Presisi. Jika fungsi diperkuat, Polri dapat memperbaiki citra sekaligus memberi kontribusi nyata bagi pembangunan nasional termasuk pada ketahanan pangan. Dengan dukungan publik, transformasi Polri dapat bergerak lebih agresif dan presisi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Dr Endang Tirtana. Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
(zap/zap)