Kolom

Publikasi Sebagai Syarat Lulus

Muhammad Husein Heikal - detikNews
Jumat, 02 Jun 2023 14:00 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Persyaratan publikasi sebagai syarat lulus mahasiswa pascasarjana sepatutnya diperbincangkan kembali dalam ranah akademis yang lebih komprehensif. Aturan yang mulai berlaku beberapa tahun terakhir di Indonesia ini cukup menuai problem dan kontroversi.

Di satu sisi pihak universitas berupaya menggenjot masa studi mahasiswa magister (dari 4 menjadi 3 semester) dan doktoral (dari 6 menjadi 5 semester). Namun persyaratan publikasi menjadi beban yang memberatkan mahasiswa doktoral maupun magister untuk lulus tepat waktu apalagi lebih cepat. Ini disebabkan tidak mudahnya proses publikasi artikel ilmiah. Mulai dari pemilihan tema riset, pengumpulan data, pengerjaan artikel, pencarian jurnal, submit dan revisi hingga artikel ilmiah tersebut terpublikasi.

Tujuan dari tulisan ini berupaya menyuarakan keresahan mahasiswa pascasarjana yang tidak diperbolehkan lulus atau belum boleh menyandang status kelulusan apabila belum melakukan publikasi artikel ilmiah. Tentu ada pihak yang mendukung dan ada yang menentang aturan ini. Prof. Arief Anshory Yusuf dalam penyambutan mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran 2023 menyampaikan bahwa kewajiban publikasi sebagai syarat lulus mahasiswa pascasarjana patut ditilik kembali. Menurutnya tugas penelitian dan publikasi dibebankan kepada para peneliti, akademisi, dan juga dosen.

Lantas mengapa universitas justru membebankan tanggung jawab kepada para mahasiswa? Itu sama saja dengan menjadikan mahasiswa sebagai perpanjangan tangan tugas tersebut. Saat diwajibkan melakukan publikasi, mahasiswa dengan terpaksa melakukan penelitian untuk dipublikasikan sebagai persyaratan lulus. Artinya bukan karena keinginan atau curiousity mahasiswa itu sendiri.

Secara pribadi saya tak sepakat atas kewajiban publikasi sebagai syarat lulus mahasiswa pascasarjana. Logikanya begini. Tesis atau disertasi yang dikerjakan mahasiswa pascasarjana sudah dipresentasikan di seminar proposal dan telah dilakukan pengujian lewat sidang. Maka ini seharusnya menjadikan penelitian yang dilakukan mahasiswa sudah teruji dan terverifikasi.

Mewajibkan mahasiswa pascasarjana untuk melakukan publikasi atas tesis atau disertasinya ke jurnal ilmiah sama saja dengan meragukan kredibilitas dan keilmuan para penguji sidang tesis atau disertasi tersebut. Kita harus kembali kepada makna dan tujuan sidang itu sendiri. Bukankah sidang dilakukan untuk menguji keabsahan dari tesis atau disertasi yang diajukan?

Jika sudah dilakukan pengujian, apakah hasil akhir tesis atau disertasi tersebut masih diragukan, sehingga disyaratkan harus melalui proses peer-review lagi oleh reviewer jurnal ilmiah? Ini artinya sama saja dengan merendahkan dewan sidang yang menguji tesis atau disertasi tersebut, yang notabene merupakan doktor dan profesor.

Program pascasarjana bagi mahasiswa magister di Indonesia umumnya bukan program master by research (MRes) melainkan program master by coursework. Mahasiswa dianggap lulus apabila telah menyelesaikan mata kuliah yang diwajibkan ditambah harus membuat karya ilmiah berupa tesis yang kemudian di uji lewat sidang. Begitu pula dengan status mahasiswa doktoral di Indonesia bukan dimaksudkan untuk mengejar gelar Doctor of Philosophy (PhD/DPhil).

Di samping itu persyaratan publikasi sebagai syarat lulus mahasiswa pascasarjana justru menambah amburadul pengelolaan jurnal ilmiah. Bermunculan jurnal ilmiah predator dan abal-abal. Tak pelak ada yang menyebut Indonesia sebagai juara publikasi di jurnal ilmiah abal-abal.

Fry, et al (2023) menyebut peneliti di Indonesia sedang melakukan "gaming the system" (mempermainkan sistem). Istilah ini muncul dari fenomena meroketnya peringkat Indonesia dari negara terburuk kedua menjadi penghasil artikel jurnal ilmiah terbanyak di Asia Tenggara. Ke depannya, jika produktivitas penelitian dan publikasi Indonesia masih tetap seperti ini, jangan heran Indonesia bakal menduduki puncak penghasil jurnal ilmiah terbanyak di Asia.

Namun, perlu dicatat bahwa publikasi dilakukan dengan asal jadi demi mengejar insentif (bagi dosen) dan mengejar kelulusan (bagi mahasiswa pascasarjana). Selain itu juga penelitian dipublikasikan di jurnal bereputasi rendah, bahkan jurnal abal-abal, sebagaimana gelar yang sudah ditabalkan pada Indonesia saat ini.

Sudah saatnya dan alangkah baik apabila Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi dan pihak universitas mengevaluasi serta mempertimbangkan persyaratan publikasi sebagai syarat lulus mahasiswa pascasarjana. Sudah bukan zamannya kredo "membuat sulit yang mudah" atau "kalau bisa dibikin sulit kenapa harus dipermudah" dipertahankan.

Sebaliknya, marilah kita mempermudah segala urusan paling sulit sekalipun. Toh, buat apa kita punya penelitian dan publikasi yang menggunung tapi tak memberi manfaat sedikitpun bagi masyarakat yang seringkali menjadi subjek penelitian itu sendiri.

Muhammad Husein Heikal mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork