Polemik soal ISBN kembali mengemuka. Pasalnya, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sebagai satu-satunya agensi pengelola ISBN di negeri ini mengeluarkan surat edaran baru tanggal 30 Maret 2023. Per tanggal 1 April 2023 berlaku ketentuan baru dari Perpusnas bahwa pengajuan ISBN harus melampirkan berkas PDF dumi buku tanpa markah bayangan (watermark).
Waduh! Sontak muncul keriuhan baru dalam jagat perbukuan meskipun tidak menjadi trending topic nasional di media sosial. Saya coba melihat hal ini dari kacamata kanan dan kiri. Dari kanan ada Perpusnas sendiri dan dari kiri ada industri perbukuan dan pelaku perbukuan.
Keriuhan ISBNβuntuk tidak menyebut kegaduhan atau kekisruhanβseperti yang pernah saya tulis sebelumnya di detikcom telah mengundang banyak komentar. Ada satu hal yang ditanyakan kepada saya. Mungkinkah ISBN tidak hanya dikelola oleh Perpusnas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agensi Pengelola ISBN
Mari kita cermati apa yang berlaku di negara tempat Agensi ISBN Internasional berada. Di Kerajaan Inggris (UK) agensi ISBN diberikan kepada lembaga swasta. British Library sebagai Perpunas-nya UK hanya mengelola ISSN. Dalam situs web resminya, lembaga ini mengarahkan pengurusan ISBN ke Nielsen ISBN Agency.
Nielsen BookData tercatat sebagai agensi resmi ISBN di UK. Nielsen BookData telah berdiri sejak 1858 sebagai organisasi penyedia layanan data publikasi dan analisis pasar buku. Lembaga ini tentu sudah berpengalaman panjang mengurus data perbukuan di UK sebagai negeri "kiblat" industri perbukuan dunia.
Nielsen sebagai lembaga bisnis mengelola ISBN secara komersial alias berbayar. Konsentrasi Nielsen adalah penerbitan ISBN untuk para penerbit swasta. Penerbit harus menjadi anggota Nielsen UK ISBN Agency terlebih dahulu untuk didata. Untuk setiap buku yang diajukan penerbit harus melampirkan informasi detail tentang bukuβminus berkas PDF atau dumi buku.
Di AS lembaga RR Bowker LLC ditunjuk sebagai pengelola tunggal ISBN untuk buku-buku yang diterbitkan secara umum oleh penerbit swasta. RR Bowker merupakan lembaga swasta yang didirikan pada 1868 dan saat ini beroperasi sebagai divisi dari ProQuest LLC. Sama halnya dengan Nielsen BookData, RR Bowker juga menjadi penyedia layanan data publikasi dan analisis pasar buku.
Bagaimana dengan publikasi pemerintah di AS? Pengelolaannya dilakukan oleh US Government Publishing Office (GPO). Lembaga ini menangani publikasi dari pemerintah federal Amerika Serikat meliputi berbagai departemen. Publikasi yang disediakan ada yang gratis dan ada pula yang berbayar.
Jadi, pertanyaan yang dilontarkan kepada saya sudah terjawab. Eksklusivitas dalam pemberian nomor ISBN oleh Agensi ISBN Internasional di suatu negara memang diperlukan untuk mengontrol pemberian ISBN pada buku-buku yang diterbitkan. Adapun jika terdapat dua agensi ISBN di suatu negara, biasanya terkait dengan publikasi khusus, misalnya publikasi resmi pemerintah yang tidak dapat dicampur dengan publikasi umum.
Ada usulan yang pernah saya dengar sebaiknya Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) mengajukan diri sebagai agensi ISBN. Besar kemungkinan pengajuan ini ditolak karena tidak ada alasan signifikan bagi Ikapi mengelola ISBN setelah diberikan kepada Perpusnas di Indonesia.
Kecuali, Ikapi "berdamai" dengan Perpusnas untuk berbagi kapling. Biarkan pengelolaan ISBN penerbit swasta/komersial diserahkan ke Ikapi dan Perpusnas menjadi pengelola ISBN buku-buku terbitan resmi pemerintah (DPR-MPR, kementerian/lembaga, dan sebagainya). Namun, saya kira peralihan ini juga tidak mudah karena menyangkut mahadata.
Tidak dapat dikesampingkan pula peran Pusat Perbukuan di Kemendikbudristek. Jelas sekali bahwa Pusat Perbukuan merupakan lembaga resmi perbukuan yang dibentuk atas amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019.
Boleh saja otoritas pengelolaan ISBN ini dibagi antara Pusat Perbukuan dan Perpusnas. Pusat Perbukuan mengelola ISBN penerbit secara umum dan Perpusnas mengelola ISBN penerbit pemerintah atau malah sebaliknya.
Solusi ini mungkin sebuah jalan tengah, kecuali Perpusnas dapat segera membenahi "keriuhan" terkait permasalahan ISBN yang kadang dituding menjadi penghambat industri perbukuan. Sebaiknya memang, antara Perpusnas, Pusat Perbukuan, dan Ikapi duduk bersama dalam forum tingkat tinggi.
Karena itu, harus ada pejabat setingkat menteri atau eselon 1 yang hadir untuk mencari jalan keluar permasalahan ini secara tuntas. Harus ada dukungan signifikan terhadap bagian yang mengelola ISBN di Perpusnas, baik dukungan SDM maupun dukungan teknologi untuk memverifikasi dan mempercepat pengeluaran ISBN.
Ambiguitas Publikasi
Hal ini juga yang mengemuka dalam diskusi ISBN secara terbatas yang pernah saya hadiri di Perpusnas. Publikasi dari pemerintah sering kali memunculkan ambigu. Sifat publikasi pemerintah secara umum adalah domain publik atau secara elektronik disebut open access meskipun tidak menutup kemungkinan sebagai objek berbayarβdianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Contohnya, dahulu LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN) menjual buku-buku dari hasil penelitian kepada masyarakat sebagai PNBP. Lalu, ada kebijakan baru buku-buku itu tidak lagi dicetak dan disediakan secara open access dalam bentuk PDF. Buku-buku itu tetap ber-ISBN.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga menyediakan buku-buku kebahasaan dan buku bacaan literasi ber-ISBN. Buku-buku itu ada yang dicetak dan ada yang disediakan dalam bentuk elektronik. Buku-buku itu tidak dijual, tetapi tersedia secara gratis.
Dua lembaga pemerintah itu jelas menerbitkan buku sebenar-benar buku. Dalam konteks ini tak sulit bagi Perpusnas mengeluarkan ISBN setiap kali buku itu akan terbit. Namun, di luar itu ada banyak publikasi dari lembaga pemerintah yang terkesan sebagai "buku yang bukan buku".
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh pemerintah mungkin diragukan sebagai sebuah buku. Mengapa? Sebabnya, publikasi itu tidak memenuhi ciri sebuah buku. Kepelikan seperti ini yang kerap dihadapi verifikator ISBN di Perpusnas.
Di sisi lain, bukan hanya publikasi pemerintah yang menimbulkan ambiguitas buku, melainkan juga datang dari buku-buku perguruan tinggi. Ada buku yang dikonversi dari karya kesarjanaan (skripsi, tesis, dan disertasi) serta laporan hasil penelitian, tetapi setelah dikonversi tidak ada perbedaan dengan karya sumbernya. Begitu pula yang saya dengar tentang laporan KKN mahasiswa, sering kali "dipaksakan" menjadi buku untuk mendapatkan ISBN.
Tampaknya atas dasar hal ini Perpusnas memberlakukan kebijakan melampirkan "dumi buku" untuk setiap buku yang diajukan ISBN-nya dalam bentuk elektronik. Verifikator di Perpusnas ingin memeriksa secara menyeluruh apakah itu buku atau bukan.
Hal ini bakal menimbulkan pertanyaan turunan. Pertama, apakah verifaktor mengecek dumi buku secara manual atau secara digital (dengan bantuan aplikasi). Jika dilakukan secara manual, tentu akan berdampak pada waktu, apalagi jika jumlah verifikatornya sangat minim.
Kedua, yang bakal dipertanyakan adalah kapasitas verifikator untuk menetapkan suatu publikasi itu layak disebut buku atau tidak layak. Saya mengetahui sebagian besar verifikator berlatar belakang ilmu perpustakaan yang notabene sudah belajar tentang anatomi buku dan hal-hal yang melatari ciri publikasi sebuah buku.
Definisi jadul dari UNESCO masih digunakan, yaitu buku adalah publikasi tidak berkala, memiliki kover yang tebal, dan memiliki ketebalan lebih dari 49 halaman. Karena itu, verifikator Perpusnas dapat diandalkan untuk mengecek kelayakan sebuah buku dari segi format atau anatominya.
Ketiga, jika dumi buku dimaksudkan untuk mengecek keaslian sebuah karya, apakah verifikator menggunakan aplikasi pengecekan kemiripan (similarity) untuk memastikan buku legal dan tidak melanggar hak cipta? Tetapi, hal ini sejatinya bukan domain kewenangan Perpusnas. Begitupun dalam soal mutu buku, Perpusnas tidak memiliki sumber daya untuk menilai buku bermutu sebagaimana halnya Pusat Perbukuan.
Jika buku ber-ISBN ternyata merupakan hasil plagiat, hal itu dapat dilaporkan oleh penulis/penerbit yang merasa dirugikan. Jelas urusan legalitas dan urusan mutu buku bukan menjadi kepentingan bagi agensi ISBN.
Jadi, apa kepentingan sebenarnya "dumi buku" dilampirkan? Saya lebih menduga soal verifikasi buku untuk menapis "buku yang bukan buku" mendapatkan ISBN. Maka dari itu, kalau hal ini yang menjadi alasan, sebenarnya dari daftar isi buku dan satu bab buku dapat menjadi alasan bagi verifikator untuk menetapkan bahwa yang diajukan itu tidak layak disebut buku. Sebagai jalan tengah, Perpusnas dapat meminta berkas elektronik (PDF) bagian awal buku (preliminaries), hanya bab awal/bab satu buku, dan bagian akhir buku (postliminaries).
Markah bayangan pada berkas elektronik tersebut pun tidak akan menggangu verifikasi buku. Hal ini untuk meyakinkan penerbit bahwa berkas tersebut terproteksi, bahkan terenskripsi. Hanya petugas ISBN Perpusnas yang mengetahuinya dan dapat membukanya.
Lain halnya dengan toko buku elektronik (e-book store). Mereka dapat meyakinkan penerbit dengan pemberlakukan manajemen hak cipta digital (digital right management). DRM menegaskan perlindungan yang dilakukan oleh toko buku elektronik terhadap berkas elektronik buku yang diserahkan oleh penerbit.
Menjadi Perkara Serius
J.J. Rizal, sejarawan sekaligus Direktur Penerbit Komunitas Bambu, bereaksi terhadap kebijakan baru dari Perpusnas soal lampiran dumi buku tanpa markah bayangan. Adapun sebelumnya, penerbit hanya menyerahkan PDF kover buku dan bagian awal buku (preliminaries). Selain itu, telah ditambahkan syarat untuk menyertakan surat keaslian karya dari penulis.
Penyerahan dumi buku kepada pihak lain bagi penerbit adalah suatu perkara khusus karena dumi buku dalam bentuk berkas PDF bagian dari kekayaan intelektual yang harus dilindungi. Dalam konteks bisnis, hal ini menjadi perkara serius.
Pusat Perbukuan juga memberlakukan pengiriman berkas PDF buku untuk penilaian buku karena Pusat Perbukuan telah menggunakan aplikasi penilaian secara daring. Berkas PDF dan buku fisik harus diserahkan untuk penilaian. Namun, berkas PDF itu ditetapkan boleh dikirim dalam format resolusi rendah (low rest) dan dibubuhi markah bayangan.
Saya ingin meluruskan dulu soal makna dumi buku. Secara etimologi, kata dumi berasal dari dummy dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris, dummy bermakna 'tiruan' atau 'palsu'. Ia berasal dari bahasa Inggris kuno dumm yang bermakna 'bisu' atau 'tidak dapat berbicara'.
Kata dummy mulai dipakai pada abad ke-16. Makna dan penggunaannya meluas ke bidang industri, termasuk industri penerbitan. Dummy digunakan untuk menyebut model/prototipe produk sebelum diproduksi secara massal. Itu sebabnya dumi produk, termasuk dumi sistem/model selalu dijaga dan dirahasiakan oleh sebuah perusahaan.
Di dalam buku Printing & Publishing Terms, Martin H. Manser (1988) mendefinisikan dummy sebagai 'suatu sampel (contoh) tawaran pekerjaan yang disertai dengan bahan (material) nyata dan dipotong sesuai dengan ukuran sebenarnya untuk memperlihatkan berapa besarnya, gaya penjilidan, dan sebagainya'. Artinya, dumi merupakan prototipe buku secara fisik sebagai acuan percetakan untuk produksi massal.
Lain lagi dengan yang tercantum di KBBI edisi V, padanan 'dumi' kurang tepat. Ia ditulis nomina dari bidang grafika yang dipadankan dengan kata 'cetak coba'. Istilah 'cetak coba' sudah jamak digunakan dalam dunia penerbitan dan grafika di Indonesia sebagai padanan galley proof bukan dummy. Istilah ini berkorelasi dengan pekerjaan proof reader atau korektor yang tugasnya memeriksa cetak coba.
Cetak coba jelas berbeda dengan dumi buku. Bentuk cetak coba ialah lembaran-lembaran halaman yang belum tersusun. Kata galley yang bermakna 'dapur' merujuk pada sejarah pencetakan lampau. Dapur cetak dahulu menyediakan penampan/baki logam panjang yang digunakan untuk membuat huruf. Cetak coba digunakan untuk memeriksa bagian-bagian naskah yang salah dari hasil susun huruf.
Jika saat ini istilah dumi buku malah meluas bukan lagi pada bentuk fisik atau sebuah prototipe, dumi elektronik sejatinya bukan lagi sebentuk prototipe. Dumi elektronik menjadi bentuk asli dari buku elektronik. Karena itu, penyerahannya ke pihak lain memang berisiko, apalagi hanya untuk urusan pemberian ISBN.
Agensi ISBN di negara lain tidak memberlakukan persyaratan semacam ini sehingga untuk kasus Perpusnas menjadi suatu yang pelik karena dikhawatirkan berkas elektronik itu "bocor" atau dibobol orang lain. Jika hal ini terjadi, Perpusnas bakal dimintai tanggung jawab terkait dengan pelindungan hak cipta terhadap karya cipta penerbit/penulis buku.
Dapat Dihindari
Intinya penyerahan dumi buku secara lengkap untuk verifikasi pemberian ISBN dapat dihindari dengan meminimalkan bagian buku yang diserahkan, bukan merupakan keseluruhan. Demikian pula masihlah relevan menyerahkan berkas elektronik yang beresolusi rendah dan bermarkah bayangan untuk verifikasi karena tidak terkait dengan verifikasi mutu kegrafikaan. Berkas elektronik itu masih dapat terbaca.
Namun, saya kira ada satu hal lagi yang juga pelik. Dumi buku alih-alih berkas lengkap buku itu semata demi meyakinkan Perpusnas bahwa buku itu benar-benar dibuat oleh penerbit bukan akal-akalan. Soal akal-mengakali atau dunia tipu-tipu ini memang spesialisasinya warga +62βya, tentu tak semua begitu, hanya segelintir.
Jika diminta kover dan bagian awal buku, hal itu dapat diakali dalam hitungan menit menggunakan Word dan Canva. Jika diminta titik akses berupa situs web penerbit dan bukti adanya penjualan buku di dunia maya, soal ini juga dengan mudah diakali. Lalu, jika diminta dumi buku, ini mungkin yang agak susah untuk diakali meskipun masih akan ada yang coba mengakali.
Niat cuma meminta ISBN tanpa bermaksud menyebarluaskan buku atau mencetak buku secara massal, inilah yang diwaspadai oleh Perpusnas demi membendung "air bah" ISBN yang sempat menjadi perhatian Agensi ISBN Internasional yang berpusat di London. Lalu, marilah bersama kita renungkan kembali untuk apa sebenarnya ISBN itu dicantumkan pada buku.
Bambang Trim praktisi dan akademisi bidang perbukuan, anggota Komite Penilaian Buku Teks Pusat Perbukuan Kemendikbudristek