Menyoal Lagi ISBN dan Data Perbukuan Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menyoal Lagi ISBN dan Data Perbukuan Kita

Kamis, 09 Jun 2022 15:10 WIB
Bambang Trimansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Basement mal Blok M Square terkenal sebagai sentra buku cukup populer di Jakarta. Berbagai buku menarik untuk anak-anak hingga dewasa tersedia di sana.
Foto ilustrasi: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Sejak Indonesia mendapat kehormatan menjadi guest of honor dalam perhelatan Frankfurt Book Fair 2015, persoalan data perbukuan sudah mengemuka. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) berinisiatif menerbitkan buku bertajuk Industri Penerbitan Buku Indonesia: Dalam Data dan Fakta dalam dua bahasa. Buku ini lantas menjadi rujukan banyak orang dan lembaga di Indonesia, termasuk lembaga internasional.

Di dalam buku itu disebutkan bahwa rata-rata jumlah buku terbit per tahun adalah 30.000 judul dan potensi pasar buku di Indonesia mencapai Rp 14,1 T. Saya sebagai orang yang ikut menyusun hasil riset perbukuan "seadanya" tersebut masih belum puas karena minimnya basis data yang diperoleh.

Sebenarnya basis data primer dari jumlah buku terbit dapat diselisik dari ISBN (Internasional Standard Book Number). Namun, karena keterbatasan waktu dan akses, pengolahan data dari ISBN tidak sempat dilakukan.Lalu, pada Mei 2022 tiba-tiba perbincangan tentang ISBN menghangat. Saya sendiri diundang dalam rapat khusus tentang ISBN oleh Perpusnas RI. Pasalnya, Perpusnas sebagai otoritas pengelola ISBN di Indonesia mendapat peringatan dari lembaga ISBN Internasional.

Perpusnas mengeluarkan kebijakan menunda ISBN ribuan buku karena terjadinya ketidakwajaran pengajuan ISBN. Lalu, secara resmi pada 18 Mei, sehari setelah perayaan Hari Buku Nasional, Perpusnas mengadakan Sosialisasi Layanan ISBN yang memberi informasi terkini terkait pengajuan ISBN.

Saya tertarik pada dua artikel yang terbit di media arus utama terkait fenomena yang saling berhubungan, yaitu jumlah buku terbit di Indonesia, pengajuan ISBN, dan fakta perbukuan Indonesia sendiri. Artikel pertama ditulis oleh Sidik Nugroho (Kompas, 16/5) bertajuk Guru dan Buku-Buku Tak Perlu dan artikel kedua ditulis oleh Anggun Gunawan (detikcom, 25/5) bertajuk ISBN, Penerbit Indie, dan Regulasi Kemendikbud.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena yang diungkap Sidik dalam opini Kompas menyiratkan fenomena "mendadak menulis buku" yang menjangkiti para guru, termasuk juga dosen. Hal ini ditengarai buah dari gerakan literasi yang masif dilakukan sejak 2015 dan karya tulis sebagai syarat kenaikan pangkat. Guru dan dosen berlomba-lomba menghasilkan buku untuk tujuan pragmatis memperoleh angka kredit dan tujuan idelis turut bergiat dalam kemajuan literasi.

Istilah literasi dalam satu dekade ini di Indonesia sering diucapkan seperti layaknya sebuah mantra di tengah berbagai klaim survei internasional bahwa Indonesia negara yang kurang literat. Semua pendidik berbicara soal literasi, beramai-ramai mengikuti pelatihan menulis, dan juga beramai-ramai mengikuti lomba/sayembara menulis buku. Pada ujungnya mereka juga beramai-ramai menulis dan menerbitkan buku meskipun pada saluran penerbit berbayar (vanity publisher).

ADVERTISEMENT

Euforia ini pula yang ditengarai menjadi salah satu "biang kerok" membeludaknya pengajuan ISBN. Sidik menyebut terjadi penulisan dan penerbitan buku-buku yang tidak perlu karena mutunya diragukan. Soal mutu ini terungkap juga dari penilaian buku nonteks (sebutan untuk buku di luar buku teks) di Pusat Perbukuan. Pada 2019 hanya 31,77% buku yang lulus dari 3.909 buku yang diajukan dan pada 2020 hanya 24,18% buku yang lulus dari 3.334 judul yang diajukan.

Buku ber-ISBN untuk saat ini dengan fenomena yang melatarinya dapat diasumsikan tidak selalu buku yang bermutu. Perpusnas RI dalam pengajuan ISBN tidak mensyaratkan mutu buku dan tidak pula memiliki kewenangan atau sumber daya untuk menilai mutu buku. Penilaian itu harus dilakukan oleh lembaga penerbit yang mengajukan ISBN. Jika ada buku-buku tidak bermutu diajukan ISBN, tentu kredibilitas lembaga pengajunya yang patut dipertanyakan.

Karena itu, usul Anggun dalam artikelnya agar pengajuan ISBN diikuti dengan pengiriman berkas digital buku secara lengkap tidak relevan dan bakal menimbulkan masalah tersendiri. Bagaimanapun berkas digital itu merupakan aset digital penerbit yang harus dipertanggungjawabkan Perpusnas jika dipersyaratkan. Perpusnas harus menjamin aset digital itu tidak bocor atau dibajak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini menjadi PR tersendiri.

Banyak Buku, Minus Pertumbuhan

Indonesia menjadi tampak luar biasa dengan jumlah terbitan mencapai yang terbesar pada 2020 yakni 144.793 judul yang justru terjadi pada masa pandemi. Sampai kemudian antiklimaks terjadi ketika lembaga ISBN Internasional yang berpusat di London menghentikan sementara pemberian nomor ISBN kepada Indonesia. Soal ini yang diungkap Anggun sebagai "ketidakwajaran" yang harus dipertanyakan.

Sebagaimana beberapa opini senada, jumlah terbitan 140 ribuan buku itu akan dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 275 juta jiwa. Anggun menyodorkan perbandingan dengan China dan AS. Pada 2014, China menggunakan ISBN tahunan terbanyak di dunia dengan 444,000 nomor. Diikuti oleh AS sebanyak 304,912 nomor dan Inggris dengan jumlah 184,000 nomor. Inggris dengan populasi penduduk 67 juta jiwa saja sudah mencapai angka 184.000, tentu semestinya Indonesia boleh lebih dari itu.

Namun, membandingkan antara jumlah buku dan jumlah penduduk dalam kasus ISBN ini tidaklah sesederhana itu. Ketidakwajaran yang ditangkap oleh ISBN internasional berdasarkan konfirmasi dari Perpusnas karena ada terbitan yang semestinya tidak perlu diberi ISBN malah di-ISBN-kan. Dapat disebutkan terbitan yang dianggap seolah-olah buku, padahal bukan, di antaranya laporan lembaga pemerintah, laporan KKN mahasiswa, makalah dalam bentuk policy brief, prosiding seminar berkala, dan buku antologi yang diterbitkan secara internal serta disebarkan secara terbatas pula.

Lebih jauh lagi ketidakwajaran yang nyata adalah tidak sinkron antara buku yang diterbitkan dan fakta penjualan buku di Indonesia. Berdasarkan data Ikapi melalui Toko Buku Gramedia (2020) terjadi penurunan pertumbuhan penjualan yang signifikan. Pada 2019 terjadi pertumbuhan 4,20 %, turun dari 2018 pada angka 7,38 %. Angka ini merosot tajam akibat pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi -17,27 % (Q1) dan -72,47 % (Q2).

Kesimpulannya, pertumbuhan bisnis buku cetak dan buku digital mengalami kemerosotan sejak 2017 dan lebih parah lagi pada masa pandemi 2020. Ikapi sendiri menyatakan ketidaksinkronan antara buku yang dijual dan buku yang diterbitkan dalam versi ISBN Perpusnas. Padahal, ISBN sangat berhubungan dengan aktivitas rantai pasok buku dalam bisnis perbukuan. Artinya, jika buku-buku ber-ISBN itu tidak djual maka muncul pertanyaan relevan: Untuk apa buku-buku tersebut di-ISBN-kan?

Misteri Data Perbukuan

Sejatinya data bisnis perbukuan nasional, terutama potensi pasar dan pendapatan, masih menjadi misteri. Penerbit di Indonesia tidak terbuka soal revenue penjualan buku dan pertumbuhan bisnisnya. Ikapi sendiri mendasarkan data risetnya pada penjualan di Toko Buku Gramedia, bukan dari anggotanya. Dalam hal ini penjualan dan pertumbuhan bisnis buku di Indonesia memang tidak sepenuhnya terdeteksi, terutama penjualan ritel penerbit-penerbit mandiri (self publisher) dan penjualan melalui mekanisme penggunaan dana proyek seperti DAK (sebelum pembelian buku dihapuskan) dan dana BOS.

Jika hendak menakar kemajuan industri perbukuan kita sejatinya, ada momentum penting pada 2022 ini. Indonesia, tepatnya Jakarta, akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres International Publishers Association (IPA) yang ke-33. Ikapi sebagai anggota IPA dapat menyajikan presentasi terkait kemajuan perbukuan Indonesiaβ€”atau kemunduran akibat pandemi COVID-19.

Walaupun waktunya tinggal sedikit, semestinya pada momentum ini dapat dimunculkan data yang komprehensif dan akurat tentang industri perbukuan kita dengan memanfaatkan sinergi antara Ikapi, Pusat Perbukuan (Kemdikbudristek), Perpusnas RI, Kemenparekraf, serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Harus terjadi sinkronisasi data antarlembaga yang mengurusi perbukuan atau berkepentingan terhadap perbukuan di negeri ini.

Data itu melalui perhelatan ini dapat memberi pesan kepada lembaga ISBN internasional apakah Indonesia wajar mengajukan ISBN dalam angka 140 ribuan judul per tahun. Atau sebaliknya, mengonfirmasi bahwa perbukuan Indonesia tidak "semeriah" pengajuan ISBN yang membeludak.

Sekali lagi data berbicara. Tanpa data, semuanya tetap misteri, termasuk soal literasi dan minat baca di negeri ini.

Bambang Trimansyah Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional (Penpro)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads