Kolom

Mempersiapkan SDM Transisi Energi

Daffa Batubara - detikNews
Jumat, 05 Mei 2023 15:16 WIB
Daffa Batubara (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Pembahasan transisi energi di Indonesia dari waktu ke waktu semakin ramai. Terutama selepas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada 2022 di Bali. KTT G-20 lalu menghasilkan kucuran dana untuk Indonesia melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP). Boleh jadi, JETP adalah satu dari sedikit hal yang bisa kita syukuri dari pertemuan negara G-20 tersebut.

Meski program kerja sama tersebut memiliki rekam jejak yang buruk pada Afrika Selatan, tidak menutup kemungkinan hal yang terjadi di Afrika Selatan menimpa Indonesia. Namun tidak ada salahnya Indonesia mencoba peruntungan transisi energi dari JETP. Asalkan sedari awal perjanjian dan bentuk pendanaan tidak berpotensi merugikan negara.

Terlepas dari persoalan JETP, ada sebuah masalah yang harus kita semua hadapi terkait transisi energi. Masalah tersebut ialah sumber daya manusia (SDM) yang kiranya belum siap melaksanakannya. Sekali pun sudah ada yang bisa melaksanakan, jumlahnya tak sesuai dari apa yang diharapkan. International Energy Agency (IEA) membuat laporan yang sepertinya membuat kita sedikit berbahagia.

Organisasi yang berkutat pada energi tersebut menyebut transisi energi akan melahirkan 14 juta lapangan pekerjaan baru. Timbul dan tenggelamnya lapangan pekerjaan menjadi hal lumrah di tengah perkembangan dunia beserta tambahan masalahnya. Namun bagaimana persiapan SDM transisi energi di Indonesia?

Pemerintah wajib bertanggung jawab atas pendidikan transisi energi. Ada dua jalan yang dapat ditempu; pendidikan formal dapat dimasifkan, begitu juga dengan pendidikan informal. Keduanya dapat dilakukan seiringan tanpa ada satu pun individu atau kelompok yang menunggangi.

Pendidikan transisi energi tidak boleh dibajak dengan tujuan membenarkan apa yang salah. Konsep transisi energi harus diedarkan secara terbuka. Keadilan yang terkandung dalam transisi energi wajib dikedepankan supaya energi bersih nanti tidak dikuasai oleh segelintir orang saja, layaknya yang terjadi pada energi Indonesia selama ini.

Seperti yang kita semua ketahui, pendidikan formal hadir pada ruang-ruang sekolah atau kampus. Waktu yang dibutuhkan pada pembelajaran relatif panjang, namun bahasan cenderung menyeluruh. Pemerintah bisa menciptakan mata pelajaran yang menyinggung persoalan lingkungan hidup dan di dalamnya terdapat pembahasan transisi energi atau energi bersih.

Pastinya tidak semua peserta didik berkeinginan memiliki karier di lingkungan energi. Tetapi soal lingkungan hidup peserta didik wajib menguasainya. Menurut teori behavioristik dari Gagne dan Berliner, perubahan tingkah lalu peserta didik berasal dari proses pembelajaran. Mata pelajaran yang tadi disebut bertujuan untuk menciptakan kepedulian warga negara akan lingkungan hidup.

Setelah membuat mata pelajaran pada setiap tingkat pendidikan, pemerintah bisa fokus menciptakan praktisi transisi energi melalui prodi energi bersih. Tetapi sebelum lebih jauh, pemerintah harus berani menghapus batubara dari prodi yang berkaitan dengan energi. Sangat sedih melihat situs resmi Institut Teknologi Bandung (ITB) masih mencantumkan batu bara pada penjabaran prodi teknik pertambangan.

Kita dapat menganggap bahwa ternyata Indonesia, dalam hal ini dunia pendidikan, masih setengah hati mengeluarkan batu bara dari energi kita. Jika Menteri Pendidikan mendukung transisi energi, ia bisa saja dengan mudah mengumpulkan para dekan atau bahkan rektor untuk mengubah semua itu.

Kemudian pendidikan transisi energi harus mampu menjadi bagian revolusi pendidikan. Sampai saat ini pendidikan Indonesia terkesan berada pada jurang ketimpangan. Dalam ruang lingkup transisi energi, ketimpangan itu sudah terjadi.

Pada Februari lalu, Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta PT Saran Multi Infrastruktur membuat kompetisi riset energi baru terbarukan (EBT) dan transisi energi yang hanya boleh diikuti 15 perguruan tinggi. Masalahnya ada di pembatasan peserta dan perguruan tinggi yang berhak mengikuti sudah beken. Entah apa alasan kedua lembaga tersebut. Apakah karena perguruan tinggi lain tidak memiliki kedekatan dengan pejabat publik, terutama di Kementerian Keuangan?

Selanjutnya pendidikan informal juga penting dalam membangun ekosistem energi bersih. Target peserta pendidikan ini adalah masyarakat yang mempunyai potensi energi bersih di wilayahnya. Mari kita ambil contoh masyarakat pedesaan yang kiranya memiliki potensi energi mikro-hidro. Masyarakat tersebut dididik untuk menciptakan suatu energi sampai dengan pengelolaannya.

Untuk itu pendidikan informal bagi masyarakat desa tersebut tidak hanya terpaut pada teknik menciptakan energi, namun juga soal entrepreneurship. Didik masyarakat menciptakan bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan begitu, lapangan kerja di wilayah desa tercipta dan masyarakatnya tidak perlu melakukan urbanisasi untuk menjalani hidup.

Perguruan tinggi dapat dijadikan pelaksana lapangan pendidikan informal tersebut. Mahasiswa juga dosen prodi energi bersih dan bisnis atau manajemen bisa berkolaborasi dalam mendidik masyarakat desa. Segala beban biaya pendidikan ditanggung pemerintah, bahkan sampai kebutuhan hidup eksekutor. Bagi mahasiswa proyek ini dapat dijadikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan dan bagi dosen poin pengabdian masyarakat. Teramat sinkron jika program ini terlaksana, mengingat pendidikan informal tidak membutuhkan waktu sepanjang pendidikan formal. Selain itu kelompok kecil seperti masyarakat desa juga cocok menjadi pesertanya.

Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya ialah mengatasi pekerja energi kotor yang akan kehilangan pekerjaan. Masih dalam laporan IEA, 5 juta lapangan pekerjaan energi kotor akan lenyap. Pemerintah tidak punya pilihan lain selain membuat program re-skilling. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah ini akan berdampak pada lonjakan jumlah pengangguran. Pekerja energi kotor harus diajak bicara soal masa depannya.

Pemerintah wajib menjelaskan bagaimana nasib pekerjaannya ke depan. Idealnya pemerintah harus melakukan survei tentang minat profesi pengganti para pekerja tersebut. Profesi pengganti tidak mesti soal energi. Masih banyak profesi lain yang memiliki prospek bagus dan tugas pemerintah menjelaskan itu.

Laporan IEA terkait potensi tenggelamnya lapangan pekerjaan harus kita khawatirkan. Walaupun begitu, kita juga harus siap menyambut lapangan pekerjaan yang akan timbul. Keduanya hal yang lumrah di tengah keadaan dunia yang terus menerus mengalami perubahan. Kecepatan dan ketepatan pemerintah membuat proyeksi dunia kerja sebuah kunci keberhasilan Indonesia menyikapi perubahan dunia. Tentunya masyarakat sangat membutuhkan pekerjaan setelah digempur pandemi Covid-19 yang begitu dahsyat meluluhlantakkan ekonomi.

Saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat Indonesia mendorong dan mengawal persiapan SDM sektor transisi energi. Jangan sampai ketidaksiapan SDM dijadikan satu alasan gagalnya Indonesia menggunakan energi bersih. Transisi energi tidak bisa ditawar, termasuk aktor yang terlibat. Manfaat ekonomi dari transisi energi harus dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar pembangkit listrik.

Untuk itu pemerintah Indonesia juga perlahan wajib meninggalkan kegemaran menggunakan tenaga kerja asing (TKA). Transfer teknologi yang selama ini menjadi iming-iming kedatangan TKA tidak terlihat keberadaannya. Buktinya teknologi Indonesia masih tertinggal sampai kita harus impor barang dan tenaga kerja, bahkan di tingkat pekerja kasar sekali pun. Kita harus berubah!

Daffa Batubara peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Simak juga 'Butuh USD 1 T untuk Transisi Energi, Jokowi Rayu Investor Jerman':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork