Pintu gerbang kontestasi politik Pilpres 2024 sudah di depan mata. Hal ini terkait dengan momen satu hari menjelang Idul Fitri 1444 Hijriah, saat PDI Perjuangan melalui Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri mengambil inisiatif mengusung Ganjar Pranowo sebagai kandidat Presiden 2024.
Tidak lama setelahnya, PPP pada 26 April 2023 mengikuti arus politik yang telah digulirkan oleh PDI Perjuangan dengan menyatakan pula mengusung Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden 2024. Apabila kita melihat catatan sejarah, aliansi PDI Perjuangan dan PPP atau bisa disebut aliansi Banteng Bintang bukanlah sesuatu yang baru, namun preseden historisnya berlangsung sejak lama. Adalah menarik mempertimbangkan apa makna dari koalisi tersebut, lalu motif politik apa yang melatarinya, serta apakah koalisi tersebut mampu berperan sebagai game changers bagi arah politik Indonesia ke depan?
Preseden Historis
Apabila kita melihat kembali lembaran sejarah dan peristiwa politik lalu, aliansi Banteng-Bintang terjadi setidaknya empat kali yang memberikan pengaruh penting dalam dinamika politik di Indonesia. Koalisi Banteng-Bintang 1.0 bermula pada peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) saat rezim Suharto berhasil mengeluarkan Megawati secara formal dari PDI, dan meneruskan perlawanannya melalui jalan perjuangan PDI pro-Megawati, koalisi Mega-Bintang antara PDI Pro-Megawati dengan Ketua PPP Cabang Solo yakni Moedrick Sangidoe berhasil membangun poros kekuatan politik signifikan sebagai oposisi konkret atas Suharto pada Pemilu 1997.
Selanjutnya koalisi Banteng-Bintang 2.0 tumbuh pada tahun 2000 ketika Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan) menjadi Presiden bersanding dengan Hamzah Haz (tokoh elite) PPP menjadi Wakil Presiden. Momen koalisi politik Banteng-Bintang 3.0 hadir dalam politik elektoral di tingkat lokal aliansi Banteng-Bintang terjadi saat PDI Perjuangan dan PPP bersama dengan partai-partai politik lainnya berhasil memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen kader politik PPP yang juga putra ulama kharismatik mendiang Mbah KH Maimoen Zubair sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah dalam Pilkada 2018.
Sepertinya formula Banteng-Bintang ini akan berlanjut dan menggelinding dengan kesamaan sikap baik PDI Perjuangan maupun PPP sama-sama mengusung Ganjar Pranowo dalam Pilpres 2024 mendatang. Apalagi momen aliansi Banteng-Bintang 3.0 berhasil memenangkan Ganjar-Yasin dalam Pilkada Jateng 2018. Momen politik yang menjadi milestone bagi Ganjar Pranowo dipilih sebagai kandidat Presiden baik oleh PDI Perjuangan maupun PPP sebagai proses awal bagi terbentuknya koalisi Banteng-Bintang 4.0.
Kalkulasi Elektoral
Pertanyaan selanjutnya adalah apa tujuan politik yang ada dalam pikiran PDI Perjuangan, PPP dan yang tak dapat dilepaskan adalah Presiden Joko Widodo (yang hadir dalam penentuan keputusan kandidat Presiden oleh PDI Perjuangan di Istana Batu Tulis Bogor), baik dalam kesepakatan mengusung Ganjar Pranowo sebagai presiden selanjutnya maupun dalam langkah untuk membangun koalisi bersama.
Secara normatif sepertinya baik PDI Perjuangan, Presiden Joko Widodo dan PPP sebagai bagian dari partai koalisi pemerintah menghendaki bahwa program pembangunan yang telah dijalankan oleh Presiden Joko Widodo seperti realisasi IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara di Kalimantan Timur, penguatan infrastruktur maupun program penghapusan kemiskinan ekstrem 0% terus berlanjut pada periode selanjutnya.
Dalam konteks perluasan dukungan politik menuju kontestasi Pilpres 2024, baik PDI Perjuangan maupun PPP sama-sama memiliki kepentingan memperluas basis konstituen pemilihnya. Inisiatif politik seperti ini misalnya terbaca pada pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menegaskan aliansi nasionalis religius dalam Pilpres 2024 dengan bahasa simbolik mengenakan peci kepada Ganjar Pranowo.
Dalam pertimbangan kalkulasi politik, Ganjar Pranowo sebagai kader PDI Perjuangan yang memiliki modal elektabilitas tinggi dalam berbagai survei, perlu diperkuat dengan dukungan partai politik religius berbasis Islam, yaitu PPP agar PDI Perjuangan semakin dekat dengan tujuan mencapai hattrick kemenangan, baik dalam Pilpres maupun Pileg 2024. Apalagi kalau kita mempertimbangkan komposisi suara, tujuan perluasan dukungan politik cukup masuk akal melihat basis afiliasi pemilih dari PPP tidak bertabrakan dengan PDI Perjuangan.
Terkait kalkulasi politik PPP, langkah cepat untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai kandidat Presiden 2024 berangkat dari pertimbangan untuk menjadi partai pertama yang mengusung Ganjar Pranowo setelah PDI Perjuangan. Sehingga langkah tersebut akan memperkuat saham politiknya apabila koalisi tersebut menang. Dengan jalan itu apabila kemenangan diraih, maka PPP memiliki daya tawar politik yang kuat dalam kekuasaan mendatang.
Dalam kalkulasi politik elektoral, Ganjar Pranowo dipandang akan memberikan efek ekor jas terhadap perolehan PPP dalam Pileg 2024. Apabila kita melihat perolehan PPP dalam Pileg 2019 lalu hanya berkisar 4,53 persen atau turun dari 6,53 persen pada Pileg 2014, maka dukungan atas Ganjar Pranowo adalah usaha untuk menggeret suara PPP untuk melampaui Pileg 2019 lalu.
Pilihan atas Ganjar Pranowo oleh PPP juga dapat dipahami, mengingat bahwa dalam pengalaman Pilkada Jawa Tengah 2018, Ganjar Pranowo juga diusung oleh PPP sebagai kandidat Gubernur dan terbukti menang. Artinya Ganjar Pranowo adalah figur yang juga dekat dengan partai berlambang Ka'bah dan tidak mendapatkan penolakan dari konstituen politiknya.
Di luar kalkulasi politik diatas, apabila baik PDI Perjuangan, PPP maupun Presiden Joko Widodo hendak menjadi game changers (pengubah jalannya permainan politik), maka koalisi ini juga harus mampu mengubah corak politik elektoral di Indonesia yang selama beberapa tahun belakangan ini menunjukkan tendensi antagonisme politik berbasis identitas.
Koalisi Banteng-Bintang 4.0 akan memberikan makna progresif bagi politik di Indonesia apabila mampu mengubah kontestasi politik dari orientasi identitas menuju orientasi politik programatik. Sehingga momen Pilpres tidak selalu menghasilkan wilayah echo-chamber, dimana masing-masing kutub politik dan pendukungnya, hanya mendengarkan dan selalu berseteru dengan kutub identitas politik yang lain.
Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, namun itu bisa dimulai misalnya dengan memperluas basis koalisis sosial-politik, dengan menarik kekuatan sosial moderat yang selama ini berada pada kutub yang berseberangan dengan kutub politik Jokowi atau misalnya dengan menyandingkan figur yang dekat dengan kutub politik oposisi atau relatif diterima oleh berbagai pihak seperti Salahuddin Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa atau Mahfud MD sebagai Kandidat Wakil Presiden.
Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
(akn/ega)