Kolom

Tak Ada Milenial dalam Politik 2024

Sabiq Mubarok - detikNews
Kamis, 13 Apr 2023 11:00 WIB
Caleg milenial (Ilustrasi: Luthfy Syahban)
Jakarta - Ketiadaan dimaksud dalam judul kolom ini bermakna ketiadaan program pembangunan dan prioritas kepentingan nasional untuk milenial (dan gen Z yang akan segera memasuki usia produktif).

Milenial adalah kelompok usia kelahiran 1980-1994 atau berusia 29-43 pada 2023. Di Indonesia saat ini jumlahnya sebanyak 69.38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia. Sementara generasi Z dalam sekitar tujuh tahun lagi seluruhnya akan masuk usia produktif. Kelompok gen Z saat ini menempati posisi paling banyak yaitu terdapat 74,93 juta atau 27,94% dari keseluruhan populasi.

Sebelum memvonis ketiadaan tersebut, pertama harus disadari absurditas makna milenial dalam konteks politik-demokrasi di Indonesia. Apa sebab? Pertama, jika pun milenial memiliki "makna" dalam ruang politik-demokrasi, realitas aktualnya baru sebatas peristilahan bahasa; milenial masih merupakan 'parole' alih-alih 'langue' (meminjam istilah strukturalisme Ferdinand de Saussure).

Dalam ruang ekonomi-politik dan demokrasi, hal itu berarti milenial masih sebatas label bagi tujuan pangsa pasar. Dalam mafhum demikian milenial hanya berarti 'target audiens' yang disifati dalam beragam kategori yang basis penilainnya—tak ubahnya trend dalam perkembangan masyarakat digital seperti 'hype', popular, trending, kekinian atau 'ramai dibincangkan'—suatu rumusan realitas tanpa substansi, tanpa makna, dan tak cukup berdaya.

Singkatnya milenial masih sebatas tren bahasa tanpa bobot makna strukturalis yang merujuk pada suatu realitas historis dan tujuan politis masa depan. Mudah mencontohkan hal aktualnya: tidak ada nomenklatur mengatur misalnya kementerian milenial alih-alih tetap kementerian "pemuda" dan olahraga. Paling maju hanya "staf ahli milenial" (?) yang juga sama tidak jelasnya. Tetapi tentu perbincangannya bukan pada bentuk-bentuk ruang, tetapi substansi tujuan politik nasional atas kelompok milenial ini.

Kedua, pembelahan milenial dengan non milenial tidak sama bobot dengan generasi tua-muda, atau senior-junior yang dalam risalah sosio-politik Indonesia merujuk pada suatu konstruksi historis yang jelas dan berdampak (langue).

Merujuk konteks masyarakat Indonesia yang patron dan kuat relasi klan, pemaksaan terminologi milenial dalam agenda politik-demokrasi 2024 bisa bermakna nonsens bahkan suatu pengabaian (ignorance). Bukankah tidak cukup terlihat wakil dari kelas milenial cukup vokal menyuarakan kepentingan kelompoknya? Juga masih amat sedikit wakil dari kelompok ini di parlemen?

Sampai hal itu jelas dan menguat, sepertinya generasi milenial dan gen Z harus menegaskan kepentingannya dalam terminologi bahasa dan kepentingan politik yang lebih klasik dan aktual, yaitu kesejahteraan generasi muda.

Ketiga, fakta bahwa belum ada satu partai politik peserta Pemilu 2024 yang merilis program kesejahteraan milenial bersifat actual dan strategis—entah karena sulit menyusun rumusannya atau sekali lagi milenial dalam kamus politik demokrasi Indonesia tidak lebih dari "target audiens" dari pasar politik.

Kepentingan Nasional

Kelompok muda-milenial ini harus mengetengahkan diri dalam kepentingan nasionalnya jika ingin mencatatkan diri dalam sejarah Indonesia hari ini. Jika tidak, label kemasyhuran milenial dalam wacana abad ini hanya akan tercatat sebagai subjek pasar (baik ekonomi mau pun politik) alih-alih aktor sejarah seperti ditinggikan Sukarno pada zaman revolusi lalu.

Indonesianis Benedict Anderson pernah menulis buku monumental Revolusi Pemuda, dan dengan materi sejarah mana pemikir hari ini akan menulis misalnya buku "Revolusi Milenial"? Rumusan abstraksnya bisa dimulai paling tidak dengan mengetengahkan kepentingan nasional generasi muda-milenial Indonesia yang bisa dipangku proses politiknya dalam Pemilu 2024 ini.

Pertama, representasi politik kaum muda-milenial dalam politik praktis. Jumlah pemuda-milenial duduk di legislatif masih terlalu sedikit. Itu menandai kesempatan diberikan oleh partai politik masih minim—sekaligus belum adanya perspektif dan strategi prioritas oleh partai politik Indonesia terkait ruang lebih besar bagi milenial Indonesia sebagai representasi dalam percaturan politik.

Pada 2019 lalu terdapat 21 persen caleg DPR berusia milenial, mayoritas berusia produktif atau sekitar 68%. Tetapi itu baru daftar calon dan belum ada data persis milenial yang duduk di parlemen. Apalagi jika dirilis lebih mendalam ke berapa caleg milenial-perempuan berhasil duduk di parlemen?

Kedua, porsi lebih besar untuk milenial-perempuan. Kenapa? Khusus untuk Asia, populasi milenial merupakan yang terbanyak—selain fakta bahwa pertama dalam sejarah kelompok milenial-perempuan saat ini mengakses pendidikan terbesar lebih dari populasi milenial laki-laki. Tetapi dalam politik praktis perkembangannya cenderung lambat; di Asia tercatat hanya 12 dari 532 anggota legislatif berasal dari milenial-perempuan. (World Economic Forum, 2021)

Ketiga, infrastruktur digital harus menjadi kepentingan nasional sehingga pengarusutamaan program pembangunan infrastruktur digital sampai ke desa-desa yang memungkinkan keadilan akses bagi milenial di Kawasan perdesaan tercapai. Agregat infrastruktur digital penting untuk menjembatani dinamika kerja di era revolusi teknologi informasi saat ini. Di mana milenilal dianggap sebagai kelompok paling aktif memanfaatkan perkembangan teknologi.

Keempat, perjuangan atas hak ekologis dan keterlibatan dalam penangan dampak perubahan iklim. Mengingat masa depan bumi sebagai ruang keberlanjutan hidup generasi, kelompok muda-milenial baik laki-laki dan perempuan mestinya paling berkepentingan dengan isu keberlangsungan ekologi dan krisis iklim. Setiap upaya atas nama iklim dan lingkungan dari program, aktor sampai pendanaan harus dapat dipastikan menempatkan kelompok milenial di posisi utama.

Kelima, tidak kalah penting adalah menggagas koalisi global milenial Asia-Afrika untuk menempatkan posisi penting dan membuat perbedaan berdasarkan kepentingan regionalnya dibanding milenial Amerika dan Eropa. Hal itu lebih dari sekadar romantisme, melainkan fakta dari 1,8 miliar milenial di muka bumi ini atau 23% dari total populasi di seluruh dunia.

Populasi Asia (24% atau 1,1 miliar) dan Afrika (23% atau 278 juta) merupakan yang terbesar pertama dan kedua. Meski demikian, Asia dan Afrika menempati posisi bawah dalam tingkat akses pada Pendidikan dan kesetaraan gender yang rendah. Kedua isu tersebut harus menjadi prioritas kepentingan regional milenial Asia-Afrika. Jadi sebagai jalan refleksi kita mesti kritis bertanya: masih adakah milenial dalam Pemilu 2024 nanti?

Sabiq Carebesth Direktur Graha Inovasi Milenial Indonesia




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork