Dalam banyak tinjauan disebut bahwa keadaan status gizi masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi. Kondisi yang terlibat yaitu kemiskinan, kurang persediaan pangan, kurangnya kualitas lingkungan, serta rendahnya pemahaman masyarakat. Stabilitas keluarga, pemberdayaan wanita/keluarga, masalah pemberdayaan, pengangguran dan inflasi juga faktor sangat menentukan tingkat konsumsi. Dari sinilah persoalan capacity building (mengembangkan kemampuan) dalam integrasi masalah gizi masyarakat terus ditekankan. Semua sektor, pihak terkait, dan masyarakat memahami peran masing-masing.
Prioritas sasaran negara kita dalam persoalan gizi adalah pada balita. Disadari bahwa sumber daya manusia (SDM) masa depan Indonesia yang berkualitas mesti disiapkan sekarang. SDM yang unggul, produktif, dan kompetitif untuk kemajuan bangsa. Terdapat periode emas hingga usia balita dengan tingkat konsumsi yang memenuhi kebutuhan dasarnya. Profil status gizi pada balita menjadi indikator penting dalam masalah gizi nasional. Terlihat posisi stunted 24,4%, wasted 7%, dan underweight 17 % (SSGI, 2021). WHO menyatakan status gizi dikategorikan memenuhi standar jika stunting di bawah 20% dan wasting di bawah 5%.
Indonesia punya tiga permasalahan gizi yaitu stunting, wasting, dan overweight. Secara perkembangan ekonomi dan sosial Indonesia menjadi negara berkembang ke arah kemajuan. Beberapa indikator pembangunan mengalami peningkatan. Namun yang terjadi menimbulkan ancaman pada status gizi masyarakatnya. Di semua tingkat ekonomi dan sosial pola makan belum sesuai kesehatan, belum teratur, dan tren gaya hidup. Tekanan kehidupan, pemahaman dan implementasi pola makan sehat masih rendah. Semua menimbulkan ancaman penyakit infeksi, degeneratif, dan penyakit tidak menular serius.
Kompleks
Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode kehidupan yang kritis. Pertumbuhan berbagai organ, syaraf, dan otak sangat menentukan. HPK terjadi sejak kehamilan, melahirkan, hingga bayi usia dua tahun. Indonesia fokus menggarap periode HPH yang menentukan kualitas kehidupan. Program kesehatan menjamin dalam periode emas ini gizi bayi/balita memenuhi kebutuhan, pelayanan kesehatan standar, dan mendapatkan pola asuh yang benar. Jika terjadi masalah pemenuhan standar yang diperlukan, maka dampak buruk yang terjadi bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi.
Dampak buruk dari masalah gizi, kesehatan, dan pola asuh dalam periode HPK cukup mencemaskan bagi pertumbuhan seorang anak. Dalam jangka pendek pertumbuhan otak terganggu, kecerdasan rendah, gangguan fisik, dan gangguan metabolisme. Dalam jangka panjang rendahnya kemampuan kognitif, rentan penyakit infeksi, dan penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke, diabetes, dan penyakit degeneratif lainnya. Orang menjadi tidak kompetitif dan terganggu produktivitas ekonomi dalam kehidupan masa depan.
HPK tidak berdiri sendiri karena terkait dengan kondisi kesehatan orangtuanya. Kualitas kesehatan ibu menentukan penanggulangan masalah gizi di Tanah Air. Status gizi dan kesehatan ibu sangat berperan baik pada masa pra hamil, saat kehamilan, dan saat menyusui merupakan masa-masa yang kritis. Bahkan di sini status gizi remaja putri dan pra nikah memiliki kontribusi penting dalam masa kehamilan dan kelahiran kelak. Mengharapkan generasi muda yang sehat dan berkualitas persoalan hulu dan hilir mesti mendapat perhatian yang sama pentingnya.
Berbagai program penanganan masalah gizi dalam pelayanan primer telah dilaksanakan Kemenkes dan implementasi di puskesmas. Program kesehatan ibu dan anak melaksanakan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak balita dan pra sekolah, kesehatan anak sekolah dan remaja, termasuk keluarga berencana. Dalam program gizi masyarakat terdapat kegiatan pelayanan gizi masyarakat, penanggulangan gangguan gizi, dan pemantauan gizi melalui posyandu. Berbagai program esensial Kemenkes lainnya dilaksanakan secara integratif dan saling mendukung. Misalnya upaya pengendalian penyakit, kesehatan lingkungan dan upaya promosi kesehatan secara luas.
Kompleksitas dalam menuntaskan masalah gizi masyarakat terlihat jika kita meninjau ke dalam masalah stunting. Diketahui penyebab stunting karena praktik pengasuhan kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses ke makanan bergizi dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Jika semua yang direncanakan dan diupayakan pelayanan Kemenkes dapat berjalan sesuai rencana seharusnya stunting lebih awal dapat dicegah. Berbagai program KIA dan gizi secara rutin tiap tahun dilaksanakan. Indikator keluarga sehat juga berkontribusi, demikian juga dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan (SPM). Kelemahan berbagai upaya telah membuat stunting dan wasting jadi persoalan.
Dalam penanggulangan dan pencegahannya dilakukan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif yang mempengaruhi status gizi. Kegiatannya semuanya merupakan upaya pencegahan stunting dan kesehatan sumber daya manusia. Berbagai kegiatan lintas program dan lintas sektor demikian menunjukkan integrasi dan konvergensi yang tidak mudah dari masalah gizi. Para ahli juga menyatakan kontribusi intervensi spesifik hanya 30 persen, dan intervensi sensitif mencapai 70 persen. Sebuah kompleksitas masalah gizi yang merupakan kompleksitas masalah kehidupan manusia/ masyarakat itu sendiri. Butuh perjuangan dalam menuntaskannya.
Sentral
Sasaran prioritas intervensi spesifik dan sensitif secara khusus remaja putri, ibu hamil, bayi, dan balita. Secara umum adalah keluarga, kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia pendidikan, industri makanan, dan masyarakat luas. Gerakan penanggulangan pencegahan dan penurunan stunting bukan sekedar wacana namun harus menyentuh kegiatan lapangan sebagai aksi nyata. Maka diperlukan koordinasi, ketersediaan operasional, dan sarana prasarana. Tanpa ketersediaan yang diperlukan, kegiatan menjadi kelihatan terencana dan strategis di tingkat atas tapi tidak efektif di lapangan.
Garda paling depan adalah camat, kepala desa, puskesmas, tenaga kesehatan, bidan desa, ahli gizi, kader posyandu, sanitarian, tim penggerak PKK, kader pembangunan, pendamping desa, karang taruna, dan penyuluh keluarga berencana. Merekalah yang menjalankan aksi nyata intervensi spesifik dan sensitif. Pelaksanaan yang berlangsung secara konvergen, holistik, terintegrasi serta berkualitas menuju target prevalensi stunting 14 persen pada 2024. Dalam menuntaskan masalah gizi masyarakat aksi nyata sangat menentukan karena menimbulkan efek positif pada peningkatan status gizi secara umum.
Pemerintah sendiri telah menetapkan indikator kinerja dalam penanganan gizi masyarakat di Indonesia. Indikator percepatan perbaikan gizi masyarakat meliputi persentase kabupaten/kota melaksanakan surveilans gizi, persentase puskesmas melaksanakan tata laksana gizi buruk balita, dan persentase bayi kurang 6 bulan mendapat ASI eksklusif. Kemudian dalam arah kebijakan Kemenkes 2020-2024 ditetapkan upaya perbaikan gizi masyarakat dengan indikator prevalensi stunting dan wasting balita. Hal yang bersifat operasional telah terlaksana, namun indikator status gizi membutuhkan gradasi dan waktu dalam peningkatannya.
Hari Gizi Nasional 2023 tanggal 25 Januari lalu mengambil tema "Protein Hewani Cegah Stunting". Di sini kita melihat peran sentral keluarga dalam perbaikan status gizi masyarakat di Indonesia. Di ranah keluargalah gizi seimbang dengan konsep isi piringku dijalankan. Edukasi tingkat keluarga tentang pentingnya protein hewani oleh fasyankes primer perlu terus dilakukan. Terlebih ternyata sekarang konsumsi protein hewani Indonesia jauh dibanding global. Konsumsi dunia daging sapi mencapai 6,4 kg, daging ayam 14 kg, dan 1,7 kg daging kambing. Sedang masyarakat Indonesia konsumsi rata-rata daging sapi 1,8 kg, daging ayam 7 kg, dan daging kambing 0,4 kg. Peran bersama mendorong ketertinggalan tersebut karena terbukti konsumsi protein hewani berkontribusi 60 persen pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Peran sentral keluarga tak bisa tidak juga menentukan dalam pencapaian intervensi spesifik dan intervensi sensitif penanggulangan stunting yang sekarang prioritas. Pendekatan peran keluarga perlu dikedepankan dan faktor keluarga sangat menentukan keberhasilan intervensi yang dilaksanakan. Kompleksitas masalah gizi masyarakat kita kembalikan dengan pendekatan keluarga di masyarakat. Keluarga yang paham gizi seimbang, mempunyai akses kesehatan, dan pola asuh balita yang baik sesuai perkembangannya. Pada akhirnya jika penanggulangan stunting dan wasting dapat dikerjakan dengan baik, konvergen, holistik, terintegrasi, berkualitas, dengan pendekatan keluarga, maka status gizi masyarakat juga dipastikan akan meningkat.
Noerolandra Dwi S Surveior FKTP Kemenkes, alumnus Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan Unair
(mmu/mmu)