Bagi Anda yang melihat big match antara Juventus dan AC Milan (8/10) via layar kaca, pasti melihat adegan seorang Milanisti yang merayakan kemenangan dengan merangkul Juventini, sambil seolah-olah mengatakan, "Sabar ya." Potongan foto dan video kedua suporter ini viral di media Italia.
Tidak hanya itu, di pertandingan tersebut sorot kamera juga menangkap pasangan suporter yang satu berkaos Juve dan yang lain berkaos Milan. Mereka duduk mesra sekali. Sorot kamera lalu bergerak lagi menyambar salah satu sudut tribun stadion yang diisi banyak fan Juve dan fan Milan yang berbaur tanpa sekat alias bersebelahan.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya melihat kerukunan antarsuporter sepak bola di pertandingan Eropa. Saat menonton pertandingan Liga Inggris atau Liga Champion, misalnya, saya pernah menyaksikan suporter tim tamu dan tuan rumah saling berbaur di tribun.
Saya yakin di antara Anda ada yang bertanya, "Kok bisa sih suporter bola rukun begitu? Kapan ya di Indonesia ada suporter bola yang seperti itu?"
Ya, sebenarnya kita tidak usah meremehkan bangsa sendiri dulu. Sebab saya menduga jumlah suporter yang rukun di pertandingan sepak bola Eropa itu juga tidak banyak. Kalaupun ada, itu adalah suporter yang duduk di zona tribun netral. Dan, barangkali, kita juga sudah punya suporter seperti itu, hanya tidak pernah disorot kamera saja.
Dua Kategori
Secara umum, tribun stadion di Eropa bisa dibagi dalam dua kategori besar, yaitu tribun belakang gawang, dan tribun sisi stadion yang memanjang. Masing-masing tribun diisi oleh jenis fan yang berbeda.
Lazimnya, tribun belakang gawang adalah sarangnya fan garis keras tim tuan rumah. Di Allianz Stadium Juventus misalnya, fan garis keras (ultras) biasanya duduk di area belakang gawang (curva sud). Aturan tradisional ini juga di Stadion San Siro Milan. Semua suporter sudah tahu kalau area belakang gawang (curva sud milano) adalah hak eksklusif fan garis keras Milan.
Nah, di luar area khusus itulah yang biasa disebut zona suporter netral. Tentu saja tidak murni netral. Sebab faktanya di zona ini masih ditemui fan tim tamu dan tuan rumah. Namun paling tidak, penonton yang duduk di zona ini fanatismenya biasa saja. Atau, kalau ternyata dia mengaku fan fanatik, dia tetap harus menurunkan tensi kegarangannya karena ia duduk di area non suporter garis keras.
Jadi, tata letak pengaturan tribun penonton inilah yang melahirkan situasi psiko-geografis yang pada gilirannya memungkinkan munculnya zona netral, tempat para suporter bisa saling berbaur. Adegan Milanisti yang merangkul Juventini diduga kuat terjadi di zona netral ini. Dan, inilah tempat kamera sering menyorot adegan kerukunan antarsuporter dan mengabarkannya ke seluruh dunia.
Apakah di stadion Indonesia ada tribun netral seperti itu? Jawabnya ada, walaupun agak sedikit berbeda. Sebab, fan garis keras klub Indonesia tidak hanya berkumpul di belakang gawang, melainkan memanjang hampir di seluruh tribun stadion. Nah, pembauran antarsuporter biasanya ini terjadi di tribun VIP atau VVIP. Inilah zona netral stadion di Indonesia. Bagi Anda yang pernah menonton sepak bola di stadion pasti mengamini pendapat saya.
Beda cerita kalau Anda seorang fan layar kaca. Hampir dapat dipastikan Anda jarang melihat adegan kerukunan antarsuporter. Sekali lagi, itu bukan karena tidak ada barangnya. Namun karena kameramen teve Liga Indonesia tidak pernah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang perlu disiarkan ke seluruh masyarakat. Slogan bad news is good news berlaku di sini.
Politik Media
Minimnya adegan kerukunan dalam layar kaca sepak bola Indonesia ini sesungguhnya hanyalah potongan puzzle dari gambar besar politik media kita: cenderung memberitakan antagonisme daripada kerukunan dan keakraban dalam masyarakat.
Dilihat dalam kacamata kajian politik media, imaji tawuran dan kekerasan yang terpampang dalam layar kaca sepak bola bukanlah kenyataan sesungguhnya. Melainkan ia adalah realitas yang telah disaring oleh ideologi pemilik media, wartawan, bahkan budaya tempat media itu eksis.
Sekali lagi, absennya imaji kerukunan dan keakraban itu tidak hanya terjadi dalam konteks sepak bola. Dalam dunia politik misalnya, media sering memberitakan bagaimana rivalitas antaraktor atau kubu politik. Namun sama sekali kita tidak diperlihatkan bagaimana mereka membangun koalisi yang, besar kemungkinan, dilakukan dengan cara yang sangat akrab sambil ngeteh, ngopi, merokok, dan ketawa-ketiwi.
Contohnya, pada 2019 lalu, rivalitas Jokowi dan Prabowo begitu kuat, namun ketika Jokowi memenangkan pemilu, tiba-tiba Prabowo masuk ke dalam kabinet. Di situ jelas ada sesuatu yang bolong yang tidak diberitakan di media, bukan? Yaitu, bagaimana pertemuan intens antara Jokowi dan Prabowo persis sebelum susunan kabinet diumumkan, yang mungkin saja berlangsung dalam situasi yang sangat akrab, sambil ngeteh, dan saling melemparkan joke untuk mencairkan suasana.
Sangat mungkin, bukan? Sebab, kalau mereka bertemu sambil ngotot-ngototan, kesepakatan politik tidak akan tercapai. Ideologi antagonisme dalam politik media inilah yang juga mempengaruhi kamera stadion lebih suka menyorot pertandingan sepak bolanya daripada susah-susah mencari keakraban antarsuporter.
Pertandingan sepak bola di layar kaca Indonesia juga jarang sekali menyorot aktivitas antarpemain di lorong ruang ganti, sesaat sebelum memasuki stadion. Padahal di situ sering terjadi pemain lawan-kawan saling berpelukan, ngobrol santai, saling tertawa. Penonton layar kaca Indonesia seringnya langsung diperlihatkan pemain masuk lapangan.
Ini berbeda dengan kamera-kamera yang merekam pertandingan sepak bola Eropa. Sorot kamera menyiarkan aktivitas para pemain di lorong stadion. Di situ kita bisa melihat betapa para pemain dan wasit membangun keakraban.
Selain itu, mereka juga sering menyorot peristiwa keakraban suporter. Walaupun suporter yang bisa rukun mungkin tidak banyak, namun sorotan kamera memunculkan kesan bahwa suasana akrab mengisi penuh stadion.
Cuplikan ini, walaupun hanya sebentar, mampu mengirimkan pesan pada masyarakat bahwa suporter Eropa itu tidak hanya fanatik tapi lucu, unik, dan bisa berbagi keceriaan dan cinta kasih. Maka ketika ada fan yang masuk lapangan (pitch invader), ia tidak langsung digebuk aparat stadion (steward). Sebab, semua orang tahu kalau fan itu palingan cuma ingin memeluk, meminta kaos pemain, atau cuma cari perhatian.
Nasib ini kontras dengan fan sepak bola Indonesia, yang kerukunannya jarang disorot kamera. Citra suporter pun menjadi negatif: dianggap biang kerusuhan, emosian, sumbu pendek, pelaku kekerasan, pokoknya tidak ada bagus-bagusnya.
Maka, ketika ada fan fanatik yang melakukan pitch invader, ia langsung dituduh ingin mencelakai atau melukai pemain sepak bola. Walhasil, fan itu akan langsung dibogem, dipentung, ditendang oleh polisi atau tentara. Dan, dalam kaitannya dengan Tragedi Kanjuruhan, aksi kasar aparat inilah yang memicu bentrok suporter dengan polisi.
(mmu/mmu)