Misi bersejarah Presiden Jokowi ke Kiev dan Moscow mendorong pemulihan rantai pasok bahan pangan dan energi berikut peta jalan perdamaian, saatnya disambut bersama menjadi opsi tunggal jalan keluar dari para menlu G20 7-8 Juli ini.
Presiden RI Jokowi telah memotong dan melompati lebih dari separuh langkah nyata, yang tidak dilakukan pihak manapun, termasuk Presiden Biden.
Inisiatif Presiden RI Jokowi ini adalah satu-satunya pilihan politik yang sudah tersaji saat ini agar ruang dialog, gencatan senjata dan situasi damai bisa diupayakan. Sementara pemulihan kestabilan dunia, termasuk rantai pasok energi dan pangan mulai dipulihkan.
Oleh sebab itu sesungguhnya, para Menlu G20 di Bali tidak perlu lagi repot berdalih mencari justifikasi agenda lain untuk menghindari tindak lanjut gagasan yang tinggal dijalankan itu. Mudah, dunia hanya perlu kata sepakat apa yang kita maksud dengan perdamaian itu.
Maka tidak mengejutkan, sekalipun Menlu AS Anthony Bliken hadir di sidang para Menlu G20, bila tidak memboikotnya, ia pun tidak ingin berdialog dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov. AS sepertinya berbeda dan tidak ingin membangun narasi seperti solusi kita tawarkan, makna dibukanya pintu dialog bagi perdamaian.
Menlu AS, tak peduli tuan rumah, tetap gunakan forum G20 ini untuk menggeser medan laga perang Rusia-Ukraina ini ke Bali, tetap mengobarkan permusuhan dan ancaman menekan Rusia dengan caranya sendiri.
Tidak ada agenda lain, kecuali bertemu dengan Menlu China, Wang Yi, untuk menegaskan agar China tidak membantu Rusia. Menlu AS Bliken hanya akan mengulang pesan Biden, agar China tidak menyerang Taiwan, sekalipun one china policy mengakui Taiwan sebagai bagian dari provinsi China.
Maka kita harus selalu ingat bahwa para Menlu G20 dalam kutub pro AS itu lah justru mereka bagian dari rantai kerumitan persoalan dan mereka sesungguhnya bukan aktor politik yang memberi jalan keluar.
Berbeda dengan kita. Proposal Jokowi ke Kiev dan Moscow mengusung posisi netral, hanya dengan mediasi dan dibukanya dialog, semua kerumitan dan kompleksitas persoalan bisa dihentikan eskalasinya dan dicarikan jalan tengahnya.
Prof Jeffrey Sachs, pakar pembangunan yang diundang untuk memberi kuliah para menlu G20 di Bali ini menyakini hal itu. Kita sependapat. Hanya melalui pintu perdamaian ini, syarat bisa memperbaiki disrupsi di segala hal bisa berlangsung, termasuk utamanya menghentikan konflik bersenjata.
Kita berada di depan. Panggilan moral upaya berani Presiden RI sebagai pemegang mandat Presidensi G20 membuka rantai perdamaian itu, menempatkan posisi Indonesia memiliki momen dan peran kunci.
Peran sentral meletakkan paradigma baru. Melihat perang ini, bukan sekadar lagi gagalnya fakta menemukan jalan diplomasi, tapi lebih dari itu gagal memaknai perdamaian sebagai benar-benar kebutuhan bersama untuk menghentikan peperangan dan bukan memaknai perdamaian dalam arti lain.
Coba kita lihat. Dalam episoda perang Rusia-Ukraina ini banyak fakta lucu bahkan menggelikan.
Dalam perang Rusia-Ukraina, AS jelas tidak saja membantu tetapi menyeponsori dengan memasok ribuan jenis senjata, data intelijen dan uang ke Ukraina. Lucunya, AS bisa-bisanya melarang China membantu Rusia.
AS dan Barat menutup komunikasi berupa isolasi total dengan mengusir total 485 diplomat Rusia yang di tempatkan di New York, Wash DC, Toronto, Madrid, Roma, Brussel, hingga baru baru ini 70 diplomat Rusia di Bulgaria. Saat Rusia membalas mengusir balik diplomat dan mengancam menutup kantor perwakilan AS dan Barat, PM Italia marah dan mengecam tindak balasan Rusia tersebut dianggap perbuatan tanpa dasar.
Begitu juga saat AS dan Barat menjatuhkan ribuan sanksi ekonomi dan melarang impor minyak bumi, gas dan hasil pertanian (gandum) Rusia.
Pada saat, harga energi naik berlipat menjadi mahal, stok komoditi pangan gandum dan sejenis menjadi langka, maka AS dan Barat menuding Rusia biang keroknya.
Saat AS dan Barat boleh melarang impor dan memblokade apapun, Rusia dilarang melakukan balasan. Aset oligarki, bilyuner Rusia dipersekusi, tidak hanya dibekukan tapi mau dirampas dengan segala cara. Dan tindakan balasan dari Rusia dianggap ilegal.
Lebih dari 250 perusahan swasta multinasional besar yang berbisnis bagus di Rusia, yang tidak ada hubungan apapun dengan perang ini, dipaksa meninggalkan seluruh aset, menghentikan bisnis dan membuang cuan keuntungan triliunan usaha yang dibangun puluhan tahun, hanya diperintah UU/Keppres dari AS atau Eropa Barat untuk segera turut berperang menyerbu sumber kekuatan Putin. Luar biasa.
Ketika kota kota di Ukraina selama lebih dari 4 bulan diluluhlantakan dalam situasi perang hebat, digempur habis Rusia rata dengan tanah, Rusia diancam dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Rusia terancam dikucilkan secara permanen dan dihabisi untuk membayar ganti rugi pembangunan kembali Ukraina, negara yang menabuh genderang perang dengannya.
Adakah cara mengatur sebuah perang agar tidak menyebabkan kematian dan menentukan skala kerusakan minim serta kemudian memaknai perdamaian tidak hanya bila satu pihak menyerah kalah?
Presiden Meksiko, Obrador, mengambarkan keadaan perang ini sebagai amoral. AS dan Barat memasok senjata dan bantuan uang, sementara Ukraina menyiapkan ribuan tentara untuk menjemput kematiannya.
Dan Kishore Mahbubani menyarankan gencatan senjata. Saya berkeyakinan saat ini situasi belum matang karena proses gencatan senjata tak mungkin bisa dilakukan ketika satu pihak terus memasok senjata, bahkan dengan senjata mutakhir untuk terus melawan. Posisi ini unik, perang yang berlangsung membawa dampak dahsyat bagi dunia, tapi dibiarkan tanpa solusi damai kapan harus berhenti.
AS dan Nato mengembangkan teori baru, solusi pemulihan stabilitas dan perdamaian yang sangat keliru. Ambisi keliru membawa dunia dalam bahaya.
Perdamaian diberi makna baru. Perdamaian berarti memasok dan memperkuat persenjataan Ukraina untuk terus berperang melawan Rusia. Berperang untuk melumpuhkan kekuatan dan mengusir Rusia.
Oleh karenanya tak mengherankan jika gencatan senjata dan perundingan dianggap bagian awal dari sebuah kekalahan besar.
Perdamaian harus dimulai dengan Rusia menarik pasukan, gencatan senjata dan mengembalikan wilayah yang telah dikuasainya dalam perang 5 bulan terakhir ini. Mission impossible. Solusi yang mengunci agar tak ada pilihan lain kecuali terus berperang.
Perdamaian bagi AS dan Nato saat ini adalah membuat Rusia takluk, menyerah dan menarik pasukan dari Ukraina.
Anggota Kongres dari Partai Repubik Amerika Serikat, Marjorie Taylor Greene merasa muak dan mendesak AS untuk segera meninggalkan keanggotaan AS di NATO.
"Rakyat Amerika tidak menginginkan perang dengan Rusia, tetapi NATO dan para pemimpin bodoh kita sendiri menyeret kita menjadi satu," seru Taylor Greene.
"Perang yang tidak akan dimenangkan siapa pun. Eskalasi atas Ukraina, negara non-anggota [NATO], mempertaruhkan perang nuklir adalah permainan kekuatan yang membahayakan seluruh dunia. Kita harus menarik diri dari NATO," ucap Greene lantang.
Persis. Tak kurang, Prof Jeffrey Sachs dan Kishore Mahbubeni menyebutkan bahwa teori itu sangat keliru dan membahayakan, karena perang yang panjang ingin menaklukan Rusia yang memiliki senjata nuklir ini, justru menyulut ancaman global baru yang sangat berbahaya.
Berperang sesungguhnya bukan solusi. Perang adalah persoalan yang harus segera dihentikan dengan membuka ruang dialog, jalan diplomasi, komunikasi dan mediasi.
Proposal Presiden Jokowi saat ini menjadi satu-satunya solusi terbaik untuk dibukanya ruang dialog, jalur diplomasi dan mediasi dengan sasaran utama berhentinya perang Rusia-Ukraina.
Ple Priatna, Direktur Eksekutif Inadis (Indonesia's Institute of Advance International Studies) - Jakarta.
Simak Video 'Rusia Masih Serang Ukraina Usai Kedatangan Jokowi, Apa Kata Pengamat?':
(hri/hri)