Analisis Zuhairi Misrawi

Diskursus Membumikan al-Quran di Tunisia

Zuhairi Misrawi - detikNews
Jumat, 17 Jun 2022 15:30 WIB
Zuhairi Misrawi (Foto: istimewa)
Jakarta -

Minggu lalu, saya membaca Harian al-Shabah, dan menemukan informasi tentang simposium nasional tafsir al-Quran dan implementasinya dalam realitas sosial, yang akan digelar oleh Pusat Internasional Zaitunah untuk Perdamaian dan Dialog Peradaban, Universitas Zaitunah bekerja sama dengan Asosiasi Nasional al-Quran, Tunisia. Seperti biasa, saya langsung mencari informasi perihal kegiatan tersebut untuk menghadiri dan berjumpa para ulama tafsir. Momen terindah adalah berjumpa para ulama, menimba ilmu dari mereka, sembari mengenalkan studi al-Quran, ilmu al-Quran, dan tafsir di Indonesia.

Setiap kegiatan saya di Tunisia selalu mempunyai makna kolaborasi, kerja sama, dan gotong-royong. Saya mempunyai misi untuk melanjutkan gotong-royong dalam konteks global yang sudah dikukuhkan fondasinya oleh Bung Karno dan Habib Bourgaiba, antara Indonesia dan Tunisia. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperkuat hubungan bilateral di antara kedua negara, karena kedua mempunyai sejarah yang sangat indah dan kokoh di masa lampau, yang dapat dijadikan sebagai modal mempererat persahabatan kedua negara yang secara jarak berjauhan, tapi secara visi dan ideologi berdekatan. Kedua-duanya dikenal sebagai nasionalis sejati.

Sejak tahun 50-an, kedua Bapak Proklamator ini telah memancangkan persahabatan untuk melawan para kolonial. Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Bandung menjadi khazanah yang terus dan sekarang kita harus memperluas horison persahabatan untuk kemaslahatan kedua negara. Dan persahabatan tersebut tidak hanya pada ranah politik dan ekonomi, melainkan juga pada ranah kebudayaan dan pemikiran.

Dalam konteks studi al-Quran, Tunisia menjadi salah satu negeri yang subur bagi studi ilmu al-Quran dan tafsir. Beberapa ulama tafsir yang dikenal luas, dan karyanya masih dijadikan rujukan di dunia Islam, yaitu Yahya bin Salam, Muhammad bin 'Arafah dan Muhammad Thahir bin 'Asyur. Pengaruh ketiga ulama tafsir di dunia Islam sangat luar biasa, termasuk pengaruhnya di Tanah Air.

Yang paling terkenal adalah kitab tafsir al-Tanwir wa al-Tahrir karya Muhammad Thahir bin 'Asyur. Kitab ini dengan mudah ditemukan di perpustakaan, baik daring maupun luring. Kajian tentang pemikiran dan tafsir Muhammad Thahir bin 'Asyur dengan mudah ditemukan di berbagai perguruan tinggi di seantero Tanah Air. Di antaranya, para kiai Nahdlatul Ulama sudah sangat familiar dengan magnum opus ulama ensiklopedis Tunisia ini.

Salah satu keistimewaan studi al-Quran di Tunisia, karena ada upaya sungguh-sungguh untuk menghadirkan al-Quran dalam konteks dan realitas kekinian. Bahkan, setelah saya cermati dan teliti, hampir seluruh studi Islam di Tunisia mempunyai orientasi pada dimensi implementasi khazanah Islam dalam konteks dan realitas kekinian.

Pada tahun 90-an, kita semua dibangunkan oleh 'Allamah Quraish Shihab melalui magnum opus-nya, Membumikan al-Quran. Karya ini telah memantik tumbuhnya studi al-Quran di pesantren dan perguruan tinggi Islam. Saat karya ini terbit, saya masih mondok di Pesantren al-Amien, Prenduan. Sontak, saat itu saya langsung mempunyai minat yang tinggi pada studi al-Quran. Saya memancangkan cita-cita ingin menjadi mufasir.

Saat melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar, saya ingin memilih jurusan Tafsir di Fakultas Ushuluddin. Maklum, 'Allamah Quraish Shihab adalah lulusan terbaik di jurusan ini. Dan saya kira, sebagian besar mahasiswa yang kuliah di al-Azhar pada tahun 90-an mempunyai mimpi dan cita-cita yang sama, ingin menjadi mufasir, sebagaimana Quraish Shihab.

Intinya, diskursus membumikan al-Quran merupakan wacana yang mengemuka sejak tahun 90-an hingga sekarang ini. Ada upaya sungguh-sungguh untuk menghadirkan nilai-nilai al-Quran dalam konteks keindonesiaan. Hal tersebut dimulai dengan munculnya studi intensif atas tafsir Nusantara untuk memahami genealogi tafsir dan perkembangannya hingga zaman kontemporer.

Nah, dalam konteks tersebut, Tunisia mempunyai keistimewaan yang luar biasa, yang dapat dijadikan mata air untuk diskursus membumikan al-Quran. Dalam simposium nasional Tafsir al-Quran dan Membumikannya, yang digelar di Auditorium Ibnu Khaldun, Universitas Zaitunah saya merasakan upaya sungguh-sungguh dari para ulama tafsir untuk kontekstualisasi al-Quran.

Secara paradigmatik, Muhammad Syithiwi, Direktur Pusat Studi dan Kajan Dialog Peradaban dan Agama-Agama, Sousse, Tunisia, memberikan pandangan yang sangat menarik perihal paradigma al-Tanzil dan al-Tanazzul. Dalam al-Tanzil, al-Quran merupakan kalam Tuhan yang hadir dalam konteks zamannya dengan makna transenden yang tertera di dalamnya. Namun dalam al-Tanazzul, makna al-Quran harus terus dihadirkan dalam konteks kekinian. Sebab al-Quran tidak hanya mempunyai makna masa lalu, melainkan juga mempunyai makna masa kini.

Maka dari itu, diperlukan sebuah metodologi dalam membumikan al-Quran, terutama dalam rangka menjadikan al-Quran sebagai infrastruktur transformasi sosial dan pembebasan. Menurut Syithiwi, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan: Pertama, perlunya pemahaman al-Quran dengan cermat, khususnya kandungan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Kedua, perlunya pemahaman yang mendalam terhadap realitas sosial dan tantangan yang dihadapi umat dalam konteks kekinian. Ketiga, perlunya implementasi nilai-nilai al-Quran dengan menggunakan perspektif al-hikmah.

Salah satu yang harus mendapatkan perhatian serius umat Islam, yaitu membangun peradaban adiluhung. Dalam konteks tersebut, menurut Syithiwi, surat Quraisy di dalam al-Quran dapat menjadi salah satu perspektif dalam membangun peradaban. Di masa lampau, Quraisy merupakan salah satu prototipe peradaban besar. Tiga hal yang dimiliki Quraisy dalam membangun peradaban, yaitu tradisi dan kearifan (ilaf), ekonomi (rihlatasy syita' wa al-shayf), dan moralitas ('ibadah).

Sebenarnya umat Islam mampu menjadikan al-Quran sebagai infrastruktur untuk membangun peradaban. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menggali makna sebaik-baiknya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat dan dunia. Intinya, al-Quran harus dapat membangun solidaritas. Dan para ulama studi al-Quran di Tunisia mengusulkan agar kajian tematik al-Quran (al-tafsir al-mawdhu'i) dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam membumikan al-Quran, membangun persaudaraan, dan peradaban adiluhung.

Zuhairi Misrawi Duta Besar RI untuk Tunisia




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork