Kolom

Kondisi Baru Ancaman Ekonomi Global

Syarifah Huswatun Miswar - detikNews
Rabu, 15 Jun 2022 15:34 WIB
Foto ilustrasi: DW (News)
Jakarta - Hingga saat ini, kondisi global masih dalam fase pemulihan ekonomi dari imbas Covid-19. Bahkan di negara asal munculnya wabah, negara masih berjuang melawan wabah. Belum selesai dengan wabah, awal 2022 dunia kembali dikejutkan dengan invasi Rusia ke Ukraina. Meskipun pada awalnya alasan invasi itu bukanlah permasalahan yang kompleks, namun hingga saat ini perang yang telah berlangsung menjelang empat bulan tersebut telah menjadi permasalahan fokus baru dunia yang menimbulkan banyak risiko baik dalam hal keamanan manusiawi secara nyata maupun tidak.

Pandemi dan perang Rusia-Ukraina hanyalah dua masalah besar yang dialami pemerintahan global saat ini; kita belum menghitung perang-perang kecil di perbatasan, invasi Yahudi Israel di Palestina, wabah-wabah baru yang berpotensi mengancam kehidupan manusia, masalah iklim dan energi.

Mengapa wabah dan perang antara Rusia-Ukraina dihitung sebagai masalah dan tantangan besar saat ini adalah karena mengancam aliran distribusi barang-barang logistik dan energi. Hal ini jika ditelaah lebih jauh bisa dikarenakan negara-negara yang menjadi pemain utama saat ini adalah negara-negara yang memiliki power besar.

Keterlibatan power-power besar akan menjadi magnet untuk negara-negara lainnya, dan dampaknya juga akan dirasakan oleh banyak negara dan juga aktor-aktor negara yang terlibat. Adapun dampak yang paling besar secara global saat ini wabah dan perang telah mengancam kestabilan ekonomi global. Setidaknya, ada sekitar 10 negara di dunia yang telah mengalami inflasi dan terancam resesi pada kuartal kedua 2022 ini.

Ancaman Ekonomi

Beberapa negara besar di dunia saat ini telah mengalami inflasi dalam angka yang tinggi, bahkan sedang mengalami masa resesi. Sebelum jauh membahas inflasi perlu diingat kembali beberapa istilah dalam ancaman lingkungan ekonomi. Setidaknya ada empat istilah yang dipakai ekonom untuk menjelaskan ancaman ekonomi, yaitu:

Resesi

Resesi merupakan saat ketika pertumbuhan ekonomi suatu negara yang mengalami penurunan dalam dua kuartal berturut-turut. Resesi biasanya ditandai dengan turunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka pengangguran. Bedanya resesi dengan krisis, dampak dari resesi lebih merata di seluruh sektor ekonomi.

Adapun hal-hal yang menjadi penyebab resesi misalnya guncangan ekonomi akibat pandemi, utang yang terlalu berlebihan, serta investasi yang kurang efisien. Selain itu, deflasi yang tak terkendali juga bisa menjadi penyebab resesi. Deflasi sendiri memiliki arti harga yang turun dari waktu ke waktu yang menyebabkan upah berkontraksi berlanjut ke penekanan harga. Ini membuat aktivitas perbelanjaan terhenti.

Krisis

Krisis merupakan situasi terjadinya penurunan beberapa indikator ekonomi secara drastis di sebuah negara. Hal ini disebabkan oleh fundamental ekonomi yang rapuh, terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang macet.

Tanda terjadinya krisis ekonomi biasanya terlihat dari penurunan kemampuan belanja pemerintah, daya beli masyarakat yang rendah, dan kenaikan harga bahan pokok. Bedanya resesi dengan krisis adalah dampaknya, yaitu resesi bisa jadi lebih besar dan luas dalam rentang waktu yang lebih panjang dibanding krisis.

Inflasi

Inflasi adalah kondisi terjadinya kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi disebabkan oleh bertambahnya peredaran uang di masyarakat, biaya produksi yang meningkat serta adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Dampak inflasi dapat membuat daya beli masyarakat menurun. Jika daya beli menurun dalam kurun waktu tertentu, otomatis menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun yang dapat berujung pada resesi. Adanya inflasi dapat berpotensi pula menjadi penyebab terjadinya krisis, bahkan resesi.

Depresi Ekonomi

Sementara itu, yang paling ditakutkan terjadi jika resesi tak kunjung berakhir adalah depresi ekonomi. Depresi ekonomi dapat disebut juga sebagai resesi ekstrem yang berlangsung hingga dua tahun berturut-turut. Artinya, jika sudah sampai terjadi depresi ekonomi, berarti masalah perekonomian belum dapat teratasi. Hal ini membawa dampak yang kian memburuk, seperti angka pengangguran yang lebih tinggi dan berdampak secara global.

Tsunami inflasi menyapu berbagai negara di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara lain. Setidaknya 60% negara memiliki tingkat inflasi tahunan di atas 5%. Pada negara berkembang, inflasi bisa berada di atas 7%. Menurut data dari Trading Economic pada April 2022, setidaknya ada 10 negara dengan inflasi tertinggi dengan urutan pertama diduduki oleh Venezuela dengan tinggi inflasi mencapai 222%, kemudian disusul oleh Zimbabwe (96,40%), dan kemudian Turki yang hampir mencapai 70%.

Pertumbuhan ekonomi yang tak menentu menyebabkan terjadinya resesi dan krisis. Konsensus global sekarang untuk pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata hanya 3,3% tahun ini, turun dari 4,1% diharapkan pada Januari lalu, sebelum perang meletus. Inflasi global diperkirakan sebesar 6,2%, atau 2,25% lebih tinggi daripada perkiraan Januari lalu. IMF menurunkan perkiraannya untuk 143 negara tahun ini yang menyumbang 86% dari produk domestik bruto (PDB) global.

Ancaman Baru

Kenyataan yang harus diperhitungkan banyak negara-negara yang ada di dunia saat ini ialah inflasi lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kini dunia dihadapkan pada kondisi baru ancaman ekonomi global, yaitu "stagflasi" yang sudah di depan mata.

Stagflasi merupakan laju inflasi melampaui ekspektasi, sementara perkiraan pertumbuhan dengan cepat menurun. Dalam uraian lain stagflasi dijelaskan dengan ciri di mana harga barang terus tinggi sementara penghasilan tidak naik.

Stagflasi mencerminkan masa-masa ketika sekeras apapun usaha mencari uang, namun uang yang dikumpulkan nilainya tidak bisa mencukupi angka tukar barang, sementara itu tidak ada usaha yang bernilai ekonomis yang dapat dilakukan karena kelangkaan bahan yang kemudian lebih jauh berimbas pada peningkatan jumlah pengangguran.

Stagflasi juga diartikan sebagai kondisi pengangguran yang disertai inflasi. Stagflasi memberikan pilihan sulit bagi pembuat kebijakan --cara, taktik, dan waktu yang tepat. Hingga saat ini, harga kebutuhan pokok di pasaran makin bertambah naik, sementara nilai tukar masih lemah. Adapun lapangan pekerjaan semakin sulit, gaji dan upah tidak bertambah naik, sementara kebutuhan pokok terus meroket.

Risiko Paling Buruk

Kekuatan ekonomi adalah salah satu bagian dari soft power yang dimiliki sebuah negara --meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini sangat sulit mengelakkan keadaan dari perang nyata (militer). Kedua jenis power (soft dan hard) sangat transparan dan mudah dirasakan, bahkan informasi menyebar ke seluruh dunia begitu cepat. Keadaan di mana dominasi kedua kekuatan ini di saat yang bersamaan menjadi ciri khas pola tatanan negara global saat ini.

Kita melihat bahwa bertahun-tahun Amerika memegang posisi teratas untuk kekuasaan dunia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II terjadi pergeseran pola kekuasaan ke Amerika; Amerika yang memimpin dan juga yang menguasai global baik dari segi budaya, pendidikan, ekonomi, bahkan persenjataan, sehingga tidak ada pilihan lain selain ikut mengekor Amerika atau tidak memiliki tempat apa pun di dunia ini.

Namun, saat ini keadaan mulai berubah. Pelemahan dolar AS dan penguatan rubel Rusia mencerminkan ciri power dalam bentuk soft saat ini. Ternyata, sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia tidaklah membuat negara itu terpuruk. Kebijakan ekonomi Rusia yang menaikkan harga gas dan minyak dan mewajibkan pembelian menggunakan rubel memaksa negara-negara pemberi sanksi untuk berpikir kembali menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, karena Rusia adalah negara pengekspor energi terbesar batu bara dan gas alam yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, terutama di musim dingin yang mematikan.

Perang yang berlangsung lama antara Rusia-Ukraina akan bisa membawa dunia pada risiko ekonomi paling buruk yang belum pernah terbayangkan. Tidak hanya negara yang berperang, dampak dari pergeseran saat ini juga dirasakan oleh negara-negara lainnya. Mau tidak mau para aktor negara harus pandai-pandai mengambil keputusan keberpihakan dengan segala risiko yang ditanggung.

Sangat sulit untuk bersikap netral bagi negara yang berkembang; jika pro salah satu akan menerima risikonya, namun jika bersikap netral akan dituduh pengkhianat oleh kedua belah pihak. Namun, bersikap menarik diri seutuhnya adalah hal yang mustahil, karena negara-negara yang tidak terlibat perang membutuhkan pasokan energi dari negara yang sedang bertikai baik itu berupa energi ataupun pangan, sehingga tidak ada yang namanya musuh abadi ataupun teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Apa yang perlu dilakukan adalah jangan menjadi ketergantungan terlalu banyak pada orang lain. Pada level negara, sudah saatnya mengurangi ketergantungan barang-barang dan energi dari luar, menciptakan terobosan baru, meminimalkan ekspor. Adapun tingkat individu, yang perlu dilakukan adalah mengurangi perilaku konsumtif dan membiasakan sederhana pada pola dan gaya hidup, serta mengurangi ketergantungan kepada pemerintah dan pihak-pihak tertentu.




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork