Judul buku: Sapiens di Ujung Tanduk; Penulis: Iqbal Aji Daryono; Penerbit: Bentang, 2022; Tebal: 176 halaman
Saat ini, kita dan dunia digital seakan telah menjadi satu kesatuan yang nyaris tak terpisahkan. Dan Iqbal Aji Daryono (IAD) mampu mengulasnya secara apik dalam buku terbarunya, Sapiens di Ujung Tanduk. Buku ini adalah potret manusia dalam ruang digital.
Kovernya lumayan mewakili isi buku, didominasi warna hijau dengan detail sapiens berjejer dan di paling ujung terpampang visualisasi makhluk berjambul sedang asyik ber-selfie ditemani segelas kopi di tangannya, menggambarkan lompatan peradaban dari abad lampau hingga era digital. Tatkala mengeja judul buku ini, mustahil jika tak langsung teringat Sapiens milik Yuval Noah Harari dan Negeri di Ujung Tanduk-nya Tere Liye.
Tidak jauh berbeda dengan beberapa buku yang telah dirilis sebelumnya, buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Damar Juniarto ini pun merupakan kumpulan esai pilihan yang juga sebelumnya tayang di media nasional. Dan seperti yang pernah diungkap penulisnya, benang merahnya jelas yaitu tentang dunia digital dan dinamika sikap-sikap manusia ketika gagap menghadapi alam digital. Apalagi di situ ada cangkang tema yang ditata manis, dan dirangkai dalam satu jaringan makna. Tak ayal, pemahaman akan dunia digital pun menjadi semakin paripurna.
Ada yang berpendapat bahwa pencantuman kembali tulisan yang pernah dimuat di media ke dalam sebuah buku merupakan pengkhianatan bagi pembaca. Sebab buku adalah 'anak biologis' penulis yang seharusnya orisinal untuk disebarluaskan. Meskipun demikian, saya lebih sepakat dengan IAD yang justru beranggapan bahwa tidak ada ruginya memiliki buku kumpulan tulisan yang pernah terbit di media.
Buku-buku sejenis itu masih sangat penting sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengakses kedalaman, agar kita bisa menyantap sajian ide yang komprehensif serta memahami konstruksi gagasan yang utuh, bukan semata remah-remah.
Barangkali itu pula yang membuat IAD lebih paham banyak hal. Hidupnya yang selalu bergelimang buku, menjadi penyempurna luas lingkar pergaulannya. Sehingga ide-ide segar dan logika yang diekspresikannya ke dalam tulisan, dan diperkuatnya dengan struktur argumen yang tertata rapi, selalu mampu memperkaya perspektif sekaligus melipatgandakan tabungan referensi di kepala pembaca.
***
Masih terkait soal ide, di salah satu esainya yang berjudul Sang Perampas Kemerdekaan, IAD memaparkan bahwa berkumpulnya orang-orang dengan pemikiran yang sama akan menumpulkan kreativitas, juga berpotensi melenyapkan peluang munculnya ide-ide jenius dan cemerlang. Sementara di tengah hiruk-pikuk informasi, kita malah cenderung berkumpul hanya dengan orang-orang yang berpendapat sama.
Kondisi itu membawa kita kepada akses sumber-sumber informasi yang juga sama, sudut pandang yang selalu sama, serta imajinasi-imajinasi yang sama pula. Pada situasi beginilah harmoni tidak selalu membawa hasil yang gemah ripah. Menurutnya, media sosial tidak pernah menghasilkan dialog apa-apa. Sebab dialog di antara kumpulan-kumpulan yang seragam, rasanya tak akan beda dari sekadar monolog yang dimassalkan.
Hal tersebut senada dengan pandangan psikolog Irving Janis: saat orang-orang dengan latar belakang yang sama berkumpul dan tidak mengenal perbedaan pendapat, maka yang ada hanyalah upaya untuk saling menyenangkan satu sama lain. Hasilnya sangat mudah ditebak, yakni konsensus pada langkah-langkah yang disukai bersama, bahkan meski konsensus itu salah sekalipun.
***
Dengan popularitasnya yang kian melesat, tak ayal, lulusan sastra Jepang UGM ini menjadi salah satu tokoh idola di dunia kepenulisan non fiksi. Sebenarnya, di era media sosial menguasai segenap sendi kehidupan kita seperti sekarang ini, jika ingin mencari sosok hebat yang pantas diidolakan itu gampang banget. Orang-orang smart berjibun, manusia-manusia lucu juga berserakan di mana-mana.
Tapi untuk yang paket komplit: yang pintar sekaligus jago nulis dan jenaka, yang narsis dan tidak terlalu jaim, yang terkadang songong, sok kritis, jahil dan nyebelin namun tetap terkesan ramah dan menghibur, rasa-rasanya agak sulit ditemukan. Sepertinya IAD termasuk salah satu dari yang agak sulit ditemukan itu.
Bisa jadi karena sosok uniknya itulah yang membuat esai-esai IAD di buku ini makin enak dibaca, tanpa mengesampingkan kualitas tentunya. Biasanya sebuah karya yang pada dasarnya sudah berkualitas memang akan terasa lebih memikat jika penciptanya adalah sosok yang unik dan populer, seakan mengandung magnet ganda.
Bahkan Abdul Gaffar Karim, pengamat politik Universitas Gajah Mada juga mengakui bahwa tulisan IAD itu membuat orang yang malas baca pun, jadi mau membaca. "Dia seperti pengasuh yang bisa membujuk anak yang malas makan agar mau makan. Buku ini membuktikan hal itu sekali lagi," tuturnya.
Tentu saja saya sepakat. Di dunia literasi, IAD memang mirip-mirip pengasuh yang penuh daya pikat. Saat baru menjelajah di lembar-lembar awal buku ini saja, daya pikat itu pun telah terekspos dengan vulgarnya. Coba saja simak Dari Angkringan ke Medsos, IAD begitu jeli menangkap media sosial sebagai model angkringan di era digital, dan meraciknya menjadi hidangan pembuka yang begitu menggugah selera baca.
***
Meski teknik dan gaya menulis sangat mungkin bisa diadopsi, namun soal kepekaan dan kepiawaian dalam berolah rasa tidaklah gampang diimitasi. IAD tetap juaranya. Esai-esainya yang dikemas cantik dalam buku ini, di samping perspektifnya yang tidak common sense, kekuatan tulisannya terletak pada kecerdasan bahasa dan kemampuannya bercerita dengan gaya bertutur yang khas. Khas Iqbal Aji Daryono.
Seperti pada esai yang berjudul Share Loc yang Mengubah Wajah Kita, IAD mampu menyajikan sudut pandang baru yang mungkin selama ini luput dari pengamatan kita. Bahwa kendatipun teknologi datang menawarkan efektivitas dan efisiensi, bersamaan dengan itu ia pun melenyapkan hal-hal lama yang terkadang membuat kita menikmati takdir sebagai manusia.
Share location menghilangkan semua romantika, seperti keterpaksaan sosial untuk sedikit belajar tata krama ketika berjumpa orang asing, misalnya. Peluang konservasi bahasa setempat dan konsep-konsep kearifan lokal semacam mblasukke sebagai social punishment atas kelalaian dalam menerapkan unggah-ungguh saat sedang bertanya alamat, tak lama lagi juga akan sirna.
Di esainya yang lain, yang berjudul Hilangnya Separuh Diri Kita, IAD menegaskan bahwa setelah Google Maps berkuasa, sebagian otak kita pelan-pelan kehilangan fungsinya. Ruang-ruang kecerdasan spasial, kepercayaan diri, dan banyak kemampuan kita sebagai Homo sapiens lenyap. Google Maps telah merampas secuil kemampuan otak kita, dan media sosial merampok separuh kemanusiaan kita.
***
Pendek kata, melalui seratus tujuh puluh enam halaman dalam buku terbitan Bentang ini, dengan ketajaman pisau analisisnya IAD mengupas perubahan pola perilaku manusia akibat serbuan digitalisasi. Bahasanya yang ringan, renyah, dan jenaka benar-benar mampu membangkitkan mood membaca.
Lewat esai-esainya tentang ironi masyarakat digital ini, kita sedang disuguhi hasil olah pikir yang matang. Ia begitu cermat membidik fenomena di sekitarnya, kemudian meramunya menjadi sajian yang begitu sarat makna dengan menambahkan value pada berbagai hal yang bagi banyak orang tadinya cuma dianggap sepele saja.
Sudut pandangnya yang di luar kelaziman itu tidak asal-asalan dibuat sekadar agar terlihat berbeda dengan perspektif publik luas, tetapi memang benar-benar logis. Dan hal itu bisa tercipta bukan hanya karena IAD seorang perenung ulung, melainkan juga berkat cakrawala berpikirnya yang luas. Kata per kata yang digulirkannya, selalu mampu menghasilkan tulisan cerdas, berkelas, dan kerap menyisakan after taste yang satisfying bagi pembaca usai menandaskan esai-esainya.
Konon, di balik cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti diyakini ada kebohongan yang indah. Sedangkan pada kritik sosial yang acap terlontar dalam esai-esai IAD, justru banyak mengandung kejujuran sebab memang bersumber dari realitas yang relate dengan keseharian kita. Ternyata di tangan yang tepat, dua hal yang sangat bertolak belakang yakni kebohongan dan kejujuran itu pun bisa menjadi mahakarya yang sama memukaunya.
Sapiens di Ujung Tanduk adalah sketsa-sketsa kehidupan yang brilian, yang mampu menggelitik nalar. Dan benar saja, kita akan terus disodori bukti-bukti bahwa pada awalnya manusia memang menciptakan teknologi, tapi kemudian teknologilah yang 'menciptakan' manusia. Hingga akhirnya membawa kita sampai pada satu kegelisahan: dengan keterikatan dan ketergantungan kepada teknologi, masihkah kita utuh dalam kemanusiaan kita?
Miki Loro Mayangsari ibu dua anak, tinggal di Surabaya
(mmu/mmu)