Kolom

Peta Jalan Pemenuhan Energi Listrik IKN

Geni Rina Sunaryo - detikNews
Kamis, 09 Jun 2022 10:58 WIB
Geni Rina Sunaryo (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Sudah saatnya nuklir berbicara! Sekaranglah, saat "opsi terakhir" jika kita bicara energi nuklir sebagai salah satu sumber pembangkit listrik di negeri ini. Mengapa? Negeri ini telah berjanji di Paris Agreement, berperan serta dalam mensukseskan Net Zero Emission Carbon. Sementara, tidak ada opsi lain yang masuk dalam "green energy" yang berskala besar (ribuan MW) dan "base load" --dapat dioperasikan 24 jam tanpa jeda.

Janji adalah komitmen; seyogianya harus dipenuhi, jika bersikeras menegakkan Indonesia sebagai bangsa yang dapat dipercaya. Peta jalan yang sudah digaungkan, pada 2060 Indonesia sudah bebas polusi karbon. Hal ini memaksa sederet pembangkit raksasa berbasis batu bara, yang menyokong 60% pembangkit listrik di negeri nyiur hijau ini, harus ditidurkan secara bertahap. Dan, pada 2045 nuklir sudah harus berdiri megah menjadi salah satu simbol kebangsaan.

Bukan hanya simbol pemenuhan energi hijau untuk mendampingi pergantian batu bara, tetapi juga mengangkat martabat bangsa. Mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berarti memperkokoh rasa kebangsaan. Makanya diperlukan komitmen pimpinan tertinggi negeri.

Kalimantan adalah pulau tertua yang bebas dari ancaman gempa bumi. Maka menjadi kandidat tercantik untuk PLTN. Apalagi digandengkan dengan proyek besar membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berkonsep hijau menjadi sangat tepat. Selain hijau, juga diproyeksikan menjadi kota acuan yang futuristik dari segala sisi, termasuk teknologi.

Dua hal besar yang harus dipersiapkan di dalam memecah telur pembangunan infrastruktur adalah penyediaan energi dan air dalam kapasitas besar. Dari hasil window shopping etalase energi yang digelar oleh Kedutaan Amerika di Hotel Grand Hyatt, Jakarta dapat tergambarkan satu strategi yang seyogianya diimplementasikan untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Jangka pendek untuk sifat segera dalam pembangunan infrastruktur awal; suplai energinya dapat dicarikan dari sumber energi yang jangka pembangunannya membutuhkan waktu yang relatif singkat, dalam unit satu atau dua tahun, dan power-nya kecil (skala di bawah 10 MW). Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) atau bahkan biji-bijian (biofuel).

Untuk PLTA, diperlukan paling tidak setahun untuk studi kelayakan guna mendapatkan data kederasan aliran angin dan lain sebagainya. Efisiensi pembangkit angin juga hanya sekitar lebih kecil dari 30 persen, disetarakan dengan laju alir angin yang optimal dalam sehari (24 jam). Dan power dari pembangkit ini hanya dalam kisaran lebih kecil dari 10 MW.

PLTA ditargetkan di Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, mengkontribusi 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Dari 255 MW yang dicanangkan pada 2025, hanya 135 MW yang terealisasi pada 2020, dengan perincian 75 MW di daerah Sidrap dan 60 MW di Janeponto. Jadi, pengembangan PLTA juga menghadapi tantangan sendiri. Oleh karena itu, studi kelayakan awal menjadi hal yang penting dan menentukan keberhasilan.

Informasi lapangan ini akan memberikan karakteristik angin seperti kecepatan angin rata-rata, kecepatan maksimum dan minimum, yang dapat dikonversikan menjadi peta rapat daya dan peta energi tahunan (dalam kWh/ atau W/m2). Dan ini menjadi landasan dalam penentuan kelayakan lokasi dan juga pemilihan teknologi turbin yang tepat.

Proyeksi jangka panjang juga seyogianya dimulai bersamaan dengan pembangunan PLT jangka pendek. Karena PLT Hijau ber-power besar, nuklir, memerlukan waktu pembangunan hingga 8 tahun untuk Small Modular Reactor (SMR) yang dikembangkan oleh NuScale Amerika yang saat ini sedang dibangun di Idaho sebagai reference plant. Teknologinya persis sama dengan Pressurize Water Reactor (PWR) yang sudah lebih dari 60 tahun beroperasi secara aman di dunia.

Terlebih lagi, didesain lebih aman dalam mengantisipasi kejadian Fukushima. Jadi, tragedi pelelehan bahan bakar, pasti dijamin tidak akan terjadi. Keunggulan lainnya, pemilihan teknologi ini memberi peluang untuk men desain bersama dengan tujuan aplikasi industri.

Oleh karena itu, peta jalan pembangunan industri yang tergandengkan di dalam pembangunan IKN ini sangat menentukan. Semakin banyak industri yang bisa dikoneksi, akan meningkatkan efisiensi panasnya. Artinya, PLTN ini tidak hanya listriknya saja yang digunakan, tetapi panas yang dihasilkan juga berperan di dalam mensuplai energi penggerak fasilitas industri yang digandeng.

Industri yang dimaksud salah satunya penyuplai air bersih melalui proses desalinasi --mengubah air laut menjadi air bersih. Mulai dari kualitas keperluan industri kimia hingga air minum dan keperluan sehari-hari. Sumber air bakunya berasal dari laut yang berlimpah. Oleh karena itu, PLTN yang diproyeksikan integrasi dengan desalinasi paling tepat dibangun di dekat laut.

Selain desalinasi, panas yang dihasilkan juga dapat diintegrasikan dengan unit kilang minyak (oil refinary) dan juga produksi hidrogen gas yang sedang marak distudikan oleh Pertamina sebagai salah satu energi hijau.

Selain Nuscale, Westing House juga menyajikan teknologi PWR-nya - AP1000 (1000 MW) yang sudah terbukti aman, dan mikro reaktor yang akan dikomersialkan pada 2025. Tipe mikro ini hanya membutuhkan waktu 11 bulan dalam pembangunannya. Meski power-nya di bawah 10 MW dan komersialisasinya masih tiga tahun mendatang, tetapi jenis PLT ini sangat memungkinkan dibangun di IKN yang pada 2024 ditargetkan sudah terbangun fasilitas tempat tinggal untuk Aparatur Sipil Negara.

Karena untuk mendapatkan izin pembangun dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) juga memerlukan waktu, lebih dari setahun. Jadi, sangat tepat jika digandengkan dengan tahun pencanangan komersialisasi mikro reaktor ini. Keunggulan lainnya PLT ini, tidak perlu dibangun fasilitas grid, tinggal koneksi kabel saja. Usia operasi hingga 8 tahun, infonya. Relatif pendek, dibandingkan dengan AP1000 dan Nuscale yang bisa dioperasikan lebih dari 30 tahun atau bahkan 60 tahun.

Window shopping industri energi telah memberikan gambaran, apa yang seyogianya dipetakan dalam pemenuhan energi di IKN yang akan menjadi kebanggaan seluruh negeri. Banyak tantangan dan terkesan proyek ambisius, memang benar, tetapi mimpi yang tinggi sangat diperlukan untuk bangsa ini.

Jangan terpaku pada pertanyaan berapa harga listrik per KWh --jenis pertanyaan yang disukai di negeri ini. Tetapi perlu dicermati, tingkat kepelikan kepentingan di negeri ini sangat tinggi dan terbukti melipatgandakan harga akhir listrik yang terproduksi. Contohnya, energi hijau PLT surya yang dikumandangkan murah, kenyataannya bisa mencapai lebih dari lima kali lipat lebih mahal dari negara asal.

Juga, PLT Diesel yang lebih supermahal dan usia operasinya pendek saja bisa dibangun di negeri ini. Jadi, bandingkanlah harga listrik PLTN dengan PLT Diesel, bukan PLT Batu Bara. Semoga, proyeksi pembangunan IKN dapat menjadi pendongkrak dan mengungkit rasa kebangsaan seluruh penduduk negeri ini.

Dr. Geni Rina Sunaryo alumni University of Tokyo

Simak juga 'Survei CSIS: 58,8% Ahli Tak Yakin IKN Berjalan Sesuai Target':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork