Penanganan penyalahgunaan narkotika tak pernah susut dibahas khususnya tatkala menyangkut publik figur. Sayangnya, yang justru menyusut adalah keberhasilan penanganan penyalahgunaan narkotika di tingkat makro. Survei prevalensi penyalahgunaan narkotika pada 2021 berada pada angka 1,95% atau meningkat 0,15% dari 2019 (BNN, 2021). Hal ini berarti bahwa terdapat total 3,66 juta orang pengguna narkotika secara nasional.
Capain tersebut sesungguhnya masih berada di bawah target RPJMN 2020-2024 dengan angka 1,86%. Apalagi pada 2022-2024, target angka prevalensi penyalahgunaan narkotika yang dicanangkan sebagai salah satu indikator penguatan keamanan dan ketertiban nasional adalah sebesar 1,69%. Alhasil, pemerintah sudah seharusnya menggegas kebijakan nasional dalam bidang narkotika untuk menutup gap tersebut.
Persoalan penyalahgunaan narkotika memang tidak sederhana. Mulai dari target peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika yang meliputi seluruh kelompok masyarakat, khususnya kelompok usia produktif pada usia 17-19 tahun (BNN, 2021; Bappenas, 2021). Belum lagi masalah di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mengalami overcrowded parah hingga 101% (Bappenas, 2021; Ditjenpas, 2021) akibat warga binaan terkait kasus narkotika yang membludak.
Pada sisi yang lain, aksesibilitas layanan rehabilitasi yang terbatas, rendahnya partisipasi penyalahguna pada layanan rehabilitasi, dan tingginya angka relapse menjadi pintu penghalang menuju penanganan penyalahgunaan narkotika yang paripurna.
Saya termasuk yang meyakini bahwa ketika kondisi pemberantasan penyalahgunaan narkotika yang saat ini sudah berjalan baik (supply side), dukungan penuh harus diberikan kepada upaya mengurangi aspek permintaan (demand side) dengan berfokus pada penguatan layanan rehabilitasi dan Tim Asesmen Terpadu.
Dua Fokus
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR; 2021) menyatakan paling tidak ada empat persoalan utama dalam tata kelola narkotika di Indonesia. Pertama, kriminalisasi menjadi pendekatan utama penanganan narkotika. Kedua, kecenderungan pemenjaraan penyalahguna narkotika yang berujung overcrowded lapas. Ketiga, kurangnya penelitian dan pemanfaatan zat narkotika untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Keempat, kebutuhan untuk merevisi UU Narkotika.
Terkait persoalan tersebut, penanganan penyalahgunaan narkotika perlu mengedepankan kepentingan kesehatan dengan titik tekan pada peningkatan kualitas dan aksesibilitas layanan rehabilitasi. Hal ini penting untuk mencegah para korban atau pecandu kembali mengkonsumsi narkoba. Harapannya, sisi permintaan (demand side) terhadap penyalahgunaan narkotika menjadi berkurang.
Kata kunci penguatan layanan rehabilitasi adalah peningkatan kapasitas dan aksesibiltas serta peningkatan sumber daya manusia pada layanan rehabilitasi. Sebagaimana amanat Inpres No. 2 Tahun 2020, penguatan tersebut meliputi banyak aspek khususnya dengan melibatkan dukungan teknologi dan informasi, infrastruktur, serta perencanaan penganggaran yang optimal.
Sayangnya, hingga saat ini tidak semua daerah memiliki layanan rehabilitasi yang berstandar nasional. Pada wilayah tertentu, tatkala seorang pecandu diproses secara hukum pidana, acap harus mendekam di tahanan karena keterbatasan fasilitas untuk diikutsertakan pada layanan rehabilitasi. Persepsi penegak hukum juga cenderung menahan tersangka daripada bebas tanpa adanya pengawasan akibat minimnya layanan tersebut.
Paralel dengan itu, dibutuhkan suatu mekanisme untuk menentukan apakah penyalahguna termasuk ke dalam bandar, korban, dan/atau pecandu. Dua yang disebutkan terakhir seyogianya diarahkan pada layanan rehabilitasi pada setiap tahapan sistem peradilan pidana. Sedangkan untuk bandar sendiri, titik beratnya ada pada pengakuan hukum pidana. Mekanisme penyaringan tersebut saat ini berada pada proses pro justicia dengan melibatkan Tim Asesmen Terpadu berdasarkan Surat Bersama Tujuh K/L Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Tim Asesmen Terpadu sendiri merupakan tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum untuk menilai kapasitas seorang penyalahguna narkotika. Tim hukum akan menganilisis Penilaian tersebut kemudian akan berpengaruh pada apakah penyalahguna tadi diproses secara pro justicia, diberikan layanan rehabilitasi, dan/atau keduanya. Sedangkan tim medis bertugas melakukan asesmen medis dan merekomendasikan rencana rehabilitasi.
Penyaringan ini pada dasarnya dapat menjadi solusi dari kondisi overcrowded Lapas akibat kasus narkotika. Namun demikian, agar berhasil, layanan rehabilitasi sebagai hilirnya juga harus diperkuat.
Upaya penguatan Tim Asesmen Terpadu ini harus dimulai dari menyamakan persepsi di antara para penegak hukum. Persepsi yang harus terbangun adalah masalah narkotika merupakan bagian dari masalah kesehatan sehingga pencegahan dan rehabilitasi harus menjadi ujung tombaknya.
Selanjutnya, perbaikan norma hukum dengan memasukkan Tim Asesmen Terpadu ke dalam Revisi UU Narkotika. Struktur, tugas, dan fungsi perlu diperjelas agar memiliki kekuatan dan keberlakuan hukum yang pasti di antara para penegak hukum. Dukungan teknologi dalam pendataan dan dukung finansial dalam memperkuat infrastruktur Tim Asesmen Terpadu menjadi elemen penting penguatan ini.
Belajar dari Portugal
Portugal dapat menjadi banchmarking yang baik dalam menyusun kebijakan penanganan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan data dari Drug Policy (2017), Portugal berhasil mengurangi kasus overdosis akibat narkotika hingga 80%. Angka prevalensi penyalahguna narkotika yang mengidap HIV/AIDS turun dari 52% menjadi 6% dalam waktu kurang lebih 10 tahun. Penahanan bagi penyalahguna narkotika juga menurun lebih dari 40% dengan mengintensifikasi layanan rehabilitasi.
Apa yang menjadikan Portugal berhasil dalam beberapa indikator penanganan penyalahgunaan narkotika tersebut? Salah satu jawabannya adalah implementasi kebijakan yang berfokus pada individu dan kondisi sosio-ekonominya.
Ketika seorang penyalahguna mendapat penanganan oleh aparat terkait di Portugal, hal yang pertama kali dilakukan adalah asesmen mengenai kondisi rumah tangga, keluarga, ekonomi, pendidikan, dukungan sosial lainnya. Baru kemudian setelah asesmen tersebut dilakukan, aparat terkait akan menilai kondisi penyalahgunaan narkotika dan dampak kesehatannya.
Asesmen tersebut secara dramatis telah mengubah dari stigmatisasi dan kriminalisasi penyalahguna menjadi mempromosikan kesehatan dan bimbingan hidup yang semestinya (Drug Policy, 2017). Pada saat yang sama, Portugal juga secara signifikan meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan rehabilitasi serta pelatihan bagi dokter dan staf medis.
Apabila jalan ini yang hendak ditempuh di Indonesia, maka revisi UU Narkotika, UU Pemasyarakatan, dan RUU KUHAP menjadi krusial untuk memastikan penguatan layanan rehabilitasi dan mekanisme asesmen yang handal. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika akan jauh lebih bermakna ketika pencegahan berhasil dilakukan. Untuk memutus aspek permintaan (demand side) terhadap narkotika, segala daya termasuk perencanaan dan penganggaran perlu digalakkan.
Umar Mubdi tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(mmu/mmu)