Jakarta - Upaya pemulihan perekonomian di Bali yang terpukul akibat pandemi terus diupayakan oleh berbagai pihak. Sejak pandemi Covid-19 melanda, sektor pariwisata sebagai pilar perekonomian di Bali mengalami keruntuhan. Jumlah penduduk miskin Provinsi Bali mengalami pertambahan 1.340 jiwa pada 2020, makin melonjak dengan pertambahan 36.780 jiwa pada 2021 (Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS).
Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, terutama dari sektor perhotelan dan pariwisata, dan terpaksa pulang ke desa tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan untuk tetap bertahan hidup. Untuk itu, masyarakat desa harus bersiap untuk melirik sektor pertanian sebagai sumber penghasilan. Hal ini salah satunya dialami oleh masyarakat di Desa Kerobokan, Kabupaten Buleleng. Namun demikian, untuk kembali menjadi petani ternyata tidak mudah, dikarenakan kondisi lahan di Kerobokan pada umumnya merupakan lahan tandus yang bergantung pada irigasi bergilir. Khususnya untuk komoditas cabai, yang terbilang susah-susah gampang untuk dibudidayakan.
Bagi petani, menanam cabai di musim penghujan diibaratkan seperti menantang musim. Cabai yang ditanam pada musim hujan umumnya rentan mengalami berbagai penyakit tanaman. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan tanaman berisiko mengalami kebusukan, mulai dari akar sampai ke batangnya. Hal itu tentu akan menyebabkan kegagalan panen yang berujung pada kerugian petani.
Lain halnya dengan petani di Desa Kerobokan. Kegagalan dalam bertanam cabai tidak lagi dialami sejak mereka berinteraksi dengan Komunitas 05.30. Komunitas yang diinisiasi oleh Kisman Ali, Penggerak Swadaya Masyarakat pada Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, melakukan gerakan road show ke desa-desa di beberapa kabupaten di Bali. Gerakan tersebut didorong oleh rasa empati akan kondisi masyarakat yang terpukul akibat pandemi.
Model Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu tantangan. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk mendukung upaya-upaya pemerintah, salah satunya melalui kegiatan pendampingan langsung kepada masyarakat, dengan tujuan agar lebih mengenal apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan berbekal ilmu pertanian organik, Kisman menggandeng salah seorang Pendamping Desa setempat, Agung, yang lebih memahami karakteristik desa dampingannya di wilayah Kabupaten Buleleng, salah satunya adalah Desa Kerobokan. Desa inilah yang menjadi sasaran pertama dalam kegiatan Komunitas 05.30.
Dengan keterbatasan yang ada, mereka berusaha memberikan pengetahuan kepada masyarakat, bahwa budi daya pertanian tanpa penggunaan zat kimia merupakan salah satu solusi atas kesulitan yang dihadapi. Bruce Tuckman (1965) mengemukakan sebuah konsep tentang proses pembentukan kelompok yang diawali dengan forming (pembentukan), storming (pertentangan), norming (penetapan aturan), performing (unjuk kerja), dan adjourning (pelepasan pendampingan saat misi kelompok telah selesai). Demikian pula proses yang harus dihadapi oleh komunitas 05.30, harus diawali dengan mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat yang tak mudah.
Apalagi jika sebelumnya tidak bergerak pada sektor pertanian. Beberapa cara yang ditempuh oleh untuk dapat meyakinkan masyarakat adalah dengan melakukan pendekatan multipihak, baik kepada Pemerintah Desa maupun dengan langsung berinteraksi dengan kelompok tani. Pada umumnya Pemerintah Desa menyambut baik, namun resistensi dari kelompok sasaran pun tidak terelakkan.
Dibandingkan dengan pertanian kimiawi yang hasilnya dapat terlihat dalam waktu singkat, pertanian organik cenderung membutuhkan waktu yang lama, sedangkan petani tentu mengharapkan hasil panen dalam waktu yang secepat mungkin. Hal ini menggambarkan fase storming, di mana terdapat perbedaan pendapat sesuai dengan karakteristik masing-masing anggota kelompok.
Untuk menikmati hasil panen yang sesuai harapan juga dibutuhkan kesabaran dan komitmen dari para petani. Komitmen pada prinsip pertanian organik diwujudkan dengan kesepakatan antara fasilitator Komunitas 05.30 dengan petani yang didampingi. Fasilitator komunitas 05.30 akan menanggung seluruh biaya pertanian, mulai dari penyediaan bibit, mulsa, pupuk dan pestisida, dengan syarat petani harus mengikuti langkah demi langkah proses pertanian organik sesuai dengan arahan fasilitator.
Walaupun mengalami kendala penyakit tanaman, mereka tidak diperbolehkan menggunakan pestisida yang bersifat kimiawi. Pada tahapan inilah kelompok mengalami fase norming di mana pembentukan aturan dan kesepakatan telah ditetapkan.
Keuntungan
Menurut data Kementerian Perdagangan yang dirilis pada 2020, Indonesia memiliki pangsa pasar produk organik sebesar 0,4% dari total pangsa pasar dunia, dengan jumlah produsen produk organik sekitar 17.948 produsen dan luas lahan mencapai 280 ribu hektar. Dengan adanya pandemi, masyarakat pun menjadi lebih memperhatikan pola hidup sehat, salah satunya dengan mengkonsumsi produk pertanian organik, seperti sayur dan buah.
Keuntungan lain yang diperoleh dengan menerapkan pertanian organik adalah mampu menekan biaya produksi. Berbeda dengan pupuk kimia yang membutuhkan biaya cukup mahal, penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian organik hanya memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar yang terbilang cukup murah dan mudah didapat. Sebagai pupuk dasar tanaman cabai, setelah pengolahan tanah dilanjutkan dengan menaburkan sekam bekas kandang ayam atau kotoran ternak.
Setelah itu, dibantu dengan penyemprotan pupuk cair organik (PCO) FMB47. PCO ini mengandung bakteri pembenah tanah yang berfungsi mengurai endapan zat kimia akibat penggunaan pupuk kimia pada lahan secara berkepanjangan. Untuk pestisida, mereka membuat sendiri pestisida dari umbi gadung, tembakau dan mengkudu. Pestisida organik ini efektif mencegah hama ulat maupun penyakit tanaman cabai salah satunya pembusukan buah yang disebabkan jamur antraknosa. Meski prosesnya tidak mudah, pertanian organik memiliki peluang yang sebanding dengan upaya yang dilakukan oleh para petani.
Tantangan
Komunitas 05.30 (dibaca: "Setengah Nem") mengandung makna bahwa kegiatan petani yang sudah dimulai sejak pagi hari. Pada awalnya, sempat terlontar nama tersebut diplesetkan menjadi "Setengah Nyem" (dalam bahasa Bali, "Nyem" berarti gila), yang dikonotasikan sebagai sekelompok orang setengah gila yang berusaha mengubah pola pikir masyarakat petani di desa.
Perlahan tapi pasti, gerakan pemberdayaan yang diinisiasi oleh kesadaran pribadi ini telah menampakkan hasil. Sejak pertama kali berkeliling di awal 2020 kini komunitas ini telah menjangkau setidaknya 4 Kabupaten di Provinsi Bali, yakni Gianyar, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng. Lebih dari 100 orang petani dari 12 desa yang mulai menerapkan sistem pertanian organik dan menikmati hasilnya. Bahkan kini telah meluas ke komoditas holtikultura padi dan jagung, juga ternak ayam, kambing, dan babi. Tahun ini mereka telah memperkuat jejaring dengan NGO untuk memperoleh bantuan program hibah di bidang konservasi alam.
Suasana Bali yang kian padat, ditambah pergeseran wisata ke wilayah Pulau Lombok, menuntut masyarakat untuk mulai melirik pertanian organik sebagai sumber penghasilan. Komunitas 05.30 terus bergerak dari satu desa ke desa lain, sesuai dengan hasil penjajagan untuk mendampingi masyarakat yang tertarik dengan pertanian organik. Model pendampingan masyarakat secara langsung ini terbukti berdampak baik pada masyarakat desa. Namun kembali lagi, diperlukan sinergitas lintas pemangku kepentingan untuk mewujudkan cita-cita desa untuk kembali bangkit dari pandemi, menuju desa Indonesia yang maju, mandiri, dan berkelanjutan.
(mmu/mmu)
Kolom
Bali Bangkit dengan Pertanian Organik
Senin, 18 Apr 2022 14:10 WIB
BAGIKAN
BAGIKAN