Berbarengan dengan dilantiknya Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) muncul masalah pasokan dan harga pangan yang kompleks dan berulang setiap tahun. Setidaknya harga tiga komoditas serentak naik dua bulan ini. Paling awal minyak goreng. Meski coba diurai dengan kebijakan satu harga Rp 14.000/kg dan kemudian penyesuaian HET, namun masih menyisakan persoalan kelangkaan.
Belum usai polemik minyak goreng, harga kedelai mengalami nasib serupa akibat kurangnya pasokan di pasar internasional. Ketergantungan impor yang tinggi memaksa harga kedelai ikut melonjak di Rp 11.500/kg. Alasan ini memicu aksi mogok pengrajin tempe dan tahu. Terbaru kenaikan harga daging sapi sempat memicu pedagang daging sapi enggan berjualan. Rentetan permasalahan ini menjadi tantangan bagi NFA yang memiliki tugas utama terkait stabilisasi pangan sesuai Perpres 66 Tahun 2021.
Pertama, melakukan koordinasi, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan. Kedua, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui BUMN di bidang pangan. Pemusatan kewenangan ini diharapkan dapat mempermudah proses koordinasi lintas sektor dalam mengatasi persoalan stabilitas pasokan dan harga pangan.
Gerak cepat dilakukan NFA untuk memastikan stabilisasi pasokan dan harga pangan terutama dalam persiapan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2022 dengan bersinergi dengan kementerian/instansi terkait, asosiasi produsen, asosiasi importir, dan pelaku usaha pangan lainnya.
Sinergi dan Kolaborasi
Dalam kesempatan pertama setelah dilantik, Kepala NFA menyebutkan bahwa penyelesaian masalah pangan harus bersinergi dan berkolaborasi dengan seluruh kementerian, lembaga, dan stakeholder pangan yang ada. Di antaranya Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, asosiasi peternak, nelayan, dan petani.
Kebijakan stabilisasi pangan selama ini belum terintegrasi karena belum ada lembaga pangan pemerintah seperti NFA yang dapat mengkoordinasi dan mengharmonisasikan semua kebijakan pangan mulai dari hulu (produksi) sampai dengan hilir. Harmonisasi kebijakan penting sebab sering terjadi pertentangan dan tumpang tindih kebijakan.
Upaya menurunkan ketergantungan impor kedelai misalnya dihadapkan dengan kebijakan non larangan terbatas sehingga harga kedelai lokal semakin kalah bersaing dengan impor. Harga kedelai lokal lebih mahal daripada kedelai impor. Tak pelak guncangan pasokan dan harga internasional serta merta memukul UMKM pengrajin tahu-tempe dan masyarakat konsumen.
Berikutnya sinergi dalam penyediaan data dan informasi pangan. Data dan informasi menjadi faktor penting dalam menyamakan dan menyelaraskan pengambilan kebijakan pangan. Sinergi integrasi data dan informasi pangan diperlukan agar transformasi data pangan dapat segera dilakukan di era digitalisasi saat ini. Transformasi terintegrasi dalam suatu platform memuat data proyeksi panen, produksi, stok, dan kebutuhan.
Digitalisasi ekosistem pangan menyajikan data valid di tingkat produsen dan konsumen yang digunakan untuk mitigasi resiko kelangkaan bahan pangan yang memicu kenaikan harga seperti pada periode HBKN dengan akurasi prediksi ketepatan volume dan waktu penugasan Bulog dan ID Food.
Kesamaan informasi dan persepsi juga akan mendorong terjalin kerjasama kemitraan antara produsen, pelaku usaha perseorangan, badan usaha pangan secara business to business dalam memperkuat ekosistem pangan. Demikian pula kepatuhan pelaku pangan terhadap harga acuan niscaya meningkat akibat transparansi data dan pengawasan yang akuntabel.
Belajar dari kasus minyak goreng, NFA-Satgas Pangan dan KPPU harus kerja sama sinergis dalam hal pengawasan dan memperkuat mekanisme kontrol pasar yang lebih baik terhadap lonjakan harga dan indikasi pasar pangan yang cenderung oligopolis dan monopsoni.
Tak kalah penting adalah sinergi dan kolaborasi antara pusat dan daerah. Kelembagaan pangan yang ada di provinsi dan kabupaten/kota dapat menjadi perpanjangan tangan NFA di daerah. Ekosistem pangan daerah diperkuat melalui sinergi pemerintah pusat-daerah dan pelibatan petani, peternak, nelayan, asosiasi, dan BUMD Pangan sebagai operator kebijakan pangan di daerah.
Penguatan ekosistem dan rantai pasok pangan dari hulu ke hilir diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak produsen dan menjaga stabilitas harga pangan di tingkat konsumen.
Peran Bulog dan ID Food
NFA sebagai regulator dalam tata kelola kebijakan stabilisasi pangan mendapat kuasa dari Kementerian BUMN untuk menugaskan Perum Bulog dan ID Food sebagai operator pangan. Hal ini memudahkan lembaga parastatal pangan dalam menjalankan penugasan yang diembannya, karena proses koordinasi lintas sektoral yang tadinya panjang melibatkan beberapa kementerian dapat dipangkas menjadi lebih sederhana.
Bulog/ID Food dalam hal ini berperan sebagai operator yang mengeksekusi kebijakan yang dirumuskan NFA. Bulog/ID Food sebagai operator untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi komoditas pangan pokok yang ditetapkan, baik dalam rangka PSO maupun kegiatan komersial.
Memang tantangannya adalah bagaimana alokasi dan mekanisme anggaran paling efisien dapat disepakati. Status Bulog dan ID Food dihadapkan pada dilema tugas dan fungsi, di satu sisi menjalankan tugas publik, namun di sisi lain juga dituntut untuk mengejar keuntungan (fungsi bisnis), yang tentu akan menghambat efektifitas tugas dan fungsi Bulog sebagai penyangga pangan nasional. Mekanisme penggantian biaya PSO Cadangan Pangan Pemerintah dan Cadangan Stabilisasi Harga Pangan (CSHP) yang membutuhkan waktu relatif lama menjadi titik kritis dan dapat mengganggu kinerja keuangan Bulog dan ID Food.
Operasionalisasi Bulog juga harus didukung supply chain dan fasilitas kelengkapan terutama untuk komoditas selain beras. Dalam hal ini kolaborasi komersial antara Bulog/ID Food dan badan usaha pangan swasta juga diperlukan untuk mengoptimalkan volume psikologis cadangan pangan PSO yang tentunya terbatas mengingat keterbatasan alokasi anggaran.
Pengelolaan cadangan pangan mempertimbangkan mekanisme anggaran, volume statis, volume dinamis, revolving, dan kebutuhan yang tentunya bertujuan untuk memperkuat kemampuan pemerintah dalam intervensi operasi stabilitas pasokan dan harga pangan. Di sisi penyaluran, captive market Bulog harus jelas agar tidak terjadi penurunan mutu produk yang selama ini menjadi beban anggaran. Salah satunya adalah kuota bansos dari cadangan pangan untuk penanganan kerawanan pangan yang menjadi tugas NFA.
Keuntungan Bulog dan ID Food berada di bawah NFA antara lain: sistem tata kelola pangan terkoordinasi di satu kelembagaan (NFA), pengambilan keputusan dan eksekusi lebih cepat karena NFA sebagai KPA, sehingga tidak diperlukan koordinasi lintas K/L, tata kelola lebih baik dan meminimalisasi konflik kepentingan karena terdapat pemisahan fungsi regulator dan operator, pertanggungjawaban operasional dan keuangan melalui satu pintu langsung ke NFA.
Untuk itu dibutuhkan segera kajian komprehensif antara lain mengenai anggaran, harga, bisnis model, dan tantangan dalam melakukan implementasi penugasan dan segera menerbitkan regulasi yang memayungi dan harmonisasi kebijakan dalam bentuk Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional agar sinergi stabilisasi pangan di era NFA dapat segera dilakukan mengingat HBKN Bulan Ramadhan tinggal dalam hitungan hari.
Jan Piter Sinaga analis ketahanan pangan
(mmu/mmu)