Siapapun pengelola perguruan tinggi di Indonesia rasanya tidak akan mengabaikan beragam versi pemeringkatan dari berbagai lembaga karena dapat dianggap sebagai cermin kualitas institusi pendidikan tinggi. Di lain sisi juga wujud pertanggungjawaban kampus kepada pemangku kepentingan mengenai aktivitas yang sudah dijalankan.
Pemeringkatan di Indonesia versi Kemendikbudristek baru dilakukan pada 2015. Jelas tidak dapat dibandingkan dengan sejarah pemeringkatan universitas di negara yang menjadi kiblat pendidikan tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Pada waktu itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 492.A/M/Kp/Viii/2015 tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi, Dirjen Dikti melakukan pemeringkatan terhadap 3.320 perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan empat kriteria yaitu kualitas sumber daya manusia, manajemen, kegiatan kemahasiswaan serta penelitian dan publikasi ilmiah.
Jika mengilas balik ke belakang, praktik memeringkatkan universitas dimulai pada 1925 ketika Profesor Donald Hughes mengklasifikasi program pasca sarjana di Amerika Serikat berdasarkan reputasi sejawat (Shin dan Toutkoushian, 2011). Praktik ini menjadi lazim dilakukan dan terus berlanjut hingga tahun 1980-an sejalan dengan tumbuhnya pasar pendidikan tinggi yang tercermin dari jumlah pelajar yang mencari perguruan tinggi.
Pada 1983, untuk pertama kalinya pemeringkatan perguruan tinggi secara nasional dipublikasikan di Amerika Serikat. Seiring dengan tuntutan yang berkembang, sejumlah institusi akademik, lembaga independen, dan organisasi media melakukan pemeringkatan yang selanjutnya mendorong pengembangan dan publikasi peringkat nasional dan internasional.
Dapat disebut, pemeringkatan terkemuka meliputi banyak versi seperti Academic Ranking of World Universities (ARWU) yang dikembangkan oleh Shanghai Jiao Tong University, The Times Higher Education, The QS World University Ranking, The U-Multirank dari European Commission, the CHE Excellence Ranking oleh Centre for Higher Education Development di Jerman, SCImago Institutions Rankings (SIR) dan Leiden Ranking yang dikembangkan Centre for Science and Technology Studies of Leiden University (Berbegal-Mirabent & Ribeiro-Soriano, 2014).
Belakangan juga ada Webometrics, UI Green Metrics yang nasional dan juga sejumlah media terkemuka yang membuat pemeringkatan sendiri. Pemeringkatan dari Kemendikbudristek tentu menjadi salah satu acuan utama bagi perguruan tinggi di Indonesia.
Pemeringkatan yang dilakukan sejumlah institusi menggunakan sejumlah indikator yang dipandang dapat merepresentasikan lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas. Riset dan pengajaran menjadi tulang punggung dari banyak penilaian. Selain aspek lain yang menyangkut pelayanan administrasi kepada mahasiswa dan orangtua turut menjadi perhatian.
Sejumlah Pandangan
Sejumlah pandangan mengemuka mengenai layak tidaknya sejumlah indikator untuk mengukur kualitas suatu perguruan tinggi. Pertama, aspek budaya menjadi pusat perhatian karena setiap perguruan tinggi dari berbagai negara memiliki budaya yang beraneka ragam. Ketika dinilai, dibandingkan, dan diperingkatkan, aspek budaya menjadi tidak diperhitungkan lagi.
Aspek budaya mestinya menjadi bagian dari penilaian, tetapi tidak mudah juga untuk diterapkan. Pemeringkatan cenderung menilai dengan standar tertentu yang sama. Keanekaragaman bisa jadi diabaikan. Langkah Kemendikbudristek yang memasukkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka menjadi bagian dari penilaian khas Indonesia dalam pemeringkatan nasional, tentu menjadi langkah terobosan yang patut didukung.
Kedua, kualitas pengajaran yang dinilai berdasarkan input mahasiswa yang mendaftar menjadi bahan perdebatan yang tidak berujung. Bagi sebagian perguruan tinggi yang bukan "papan atas" kualitas input yang masuk tentu tidak sepadan dengan perguruan tinggi terkemuka. Bahkan mungkin calon mahasiswa diterima tanpa seleksi lagi. Keberlangsungan hidup perguruan tinggi menjadi lebih penting daripada sekadar mengejar kualitas.
Kehebatan proses pengajaran dan pembelajaran sebuah perguruan tinggi tercermin jika kualitas input mahasiswa yang biasa-biasa saja atau bahkan di bawah rata-rata, menjadi bagus atau berkembang lebih baik setelah lulus. Kualitas mahasiswa yang dari awal sudah bagus, tentu tidak luar biasa jika berkualitas baik pula ketika lulus.
Ketiga, kualitas penelitian ditentukan dengan publikasi terindeks internasional seperti Scopus dan Web of Science, yang sebagian besar mengharuskan penggunaan bahasa Inggris. Ini tentu tidak menguntungkan bagi perguruan tinggi yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Kendala bahasa ketika publikasi penelitian masih menjadi momok, meski jasa penerjemahan atau software yang membantu proses penerjemahan telah banyak beredar.
Keempat, penilaian reputasi perguruan tinggi dari pandangan sebagian pemangku kepentingan seperti rekan sejawat dan mitra eksternal menjadi sangat subjektif karena berdasarkan persepsi dan kedekatan hubungan.
Kelima, belum ada indikator penilaian sebagai bahan pemeringkatan yang telah diakui dapat diterima semua kalangan. Masih terdapat bias di sana-sini. Diperlukan kehati-hatian untuk memaknainya.
Dijadikan Acuan
Mengingat pentingnya peringkat perguruan tinggi, tidak heran pula jika peringkat menjadi pusat perhatian sebagian pengelola, bahkan dijadikan acuan ketika merumuskan program kerja dan langkah strategis. Sebagian lagi malah "mengakali" agar dapat mendongkrak peringkat. Bahkan, di negara-negara Skandinavia terjadi tren merger dan akuisisi untuk memperbaiki peringkat universitas (Czarniawska, 2019).
Sistem dibentuk untuk mendorong dosen dan mahasiswa beraktivitas sesuai dengan yang distandarkan dalam pemeringkatan. Misalnya ada perguruan tinggi yang mewajibkan dosen untuk mengikuti seminar dan call for paper, dengan publikasi minimal prosiding terindeks Scopus. Jika tidak maka tidak diperkenankan mengikuti seminar.
Mahasiswa juga diwajibkan terlibat dalam pelayanan kepada masyarakat dengan minimal jumlah jam tertentu sebagai syarat kelulusan. Semua aktivitas dilaksanakan untuk mendukung pemeringkatan.
Bagi pengelola, peringkat yang bagus akan membangun reputasi akademik sehingga diharapkan dapat menarik calon mahasiswa dalam jumlah besar. Walau, belum ada bukti empiris yang memperlihatkan hubungan antara peringkat perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa yang terjaring.
Masih Ada Pekerjaan
Ketika pengelola perguruan tinggi sibuk berbenah diri dengan peringkat, ternyata masih ada pekerjaan rumah menanti yaitu memberikan edukasi tentang arti peringkat sebagai salah satu acuan bagi masyarakat terutama calon mahasiswa dan orangtua ketika menilai kualitas perguruan tinggi.
Walau, sekali lagi, banyak bias dalam indikator ketika perguruan tinggi diperingkatkan, peringkat tetap diperlukan. Sifat jasa yang tidak berwujud (intangible) dalam dunia pendidikan coba "diwujudkan" dalam bentuk angka yaitu peringkat. Suka atau tidak suka, pengelola perguruan tinggi tidak bisa lagi menghindar.
Kalau sekarang masih banyak mahasiswa tidak terlalu peduli dengan peringkat, lain waktu pasti menjadi hal yang wajib diketahui. Peringkat buncit tentu tidak "keren", begitu mereka biasa berseloroh. Peringkat berapa perguruan tinggimu?
(mmu/mmu)